Reportase : Red.
“Program Makan Siang Gratis/Makanan Bergizi akan punya dampak lumayan berat terhadap anggaran fiskal, berupa peningkatan belanja pemerintah secara signifikan. Program itu juga dikhawatirkan meningkatkan beban Jangka Panjang yang menciptakan jebakan fiskal atau beban berkelanjutan bagi APBN di masa depan,” kata Eisha M Rachbini, ekonom INDEF pada webinar “Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Ekonomi? Prediksi Kebijakan Ekonomi Prabowo’’, kerjasama INDEF dan Universitas Paramadina, Senin (27/05/2024).
Eisha menerangkan, sebenarnya ekonomi domestik tumbuh 5,1% (yoy) pada Q-1 2024. Sebuah capaian tertinggi untuk triwulan pertama dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
‘’Namun, pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh Ramadhan dan konsumsi pemerintah, terutama belanja pemerintah untuk bantuan sosial dan pemilu. Berikut konsumsi rumah tangga selama puasa dan Idul Fitri,” tandasnya.
Eisha juga menyayangkan, ekonomi domestik belum bisa terdorong oleh kegiatan sisi produksi yang maksimal.
Karenanya menurut Eisha lagi, program pemerintahan baru oleh ‘’elected president’’ menjadi fokus penting dari serangkaian program yang dicanangkan oleh pemenang Pilpres 2024. Di antaranya yang penting juga dibahas adalah program makan siang gratis/makanan bergizi.
‘’Evaluasi terhadap rencana program makan siang/makan bergizi, yang jelas akan berdampak terhadap ANGGARAN fiskal berupa peningkatan Belanja. Program ini akan meningkatkan pengeluaran pemerintah secara signifikan. Perkiraan awal menunjukkan kebutuhan anggaran mencapai Rp460 triliun, setara 7,23% dari total belanja negara dalam APBN 2024 (Rp3.325,1 triliun),’’ imbuh Eisha, yang meraih gelar doktoral dalam studi kebijakan ekonomi internasional dari Universitas Waseda, Tokyo, Jepang.
‘’Program makan siang gratis/makanan bergizi juga akan menimbulkan beban Utang dan peningkatan belanja. Berpotensi memperbesar defisit fiskal dan mendorong pemerintah untuk menambah utang,’’ katanya lagi.
Eisha berpandangan, pada tahun 2023, defisit fiskal mencapai 1,65% terhadap PDB, dengan total utang Rp347,6 triliun. Di sisi lain, utang nasional Indonesia sudah mencapai Rp 7.700 triliun per Maret 2024.
‘’Penambahan utang untuk program ini dikhawatirkan akan memperburuk situasi fiskal dan membebani stabilitas ekonomi,’’ tegasnya.
‘’Oleh karena itu dalam jangka Panjang program ini dikhawatirkan menciptakan jebakan fiskal atau beban berkelanjutan bagi APBN di masa depan, yang mana pemerintah terikat pada komitmen jangka panjang sehingga perlu memastikan pendanaan program ini secara berkelanjutan tanpa membebani generasi mendatang,’’ ujar ekonom yang juga kepala Center of Digital Economy and SMEs INDEF ini.
Pada bagian akhir narasinya, Eisha juga mengkhawatirkan dampak terhadap ‘’Fiscal Prudence’’.
“Kekhawatiran pada soal efisiensi dan defisit. Kekhawatiran ini terkait potensi kebocoran dan inefisiensi dalam pelaksanaan program serta kurangnya kejelasan mengenai sumber pendanaan program ini menimbulkan ketidakpastian dalam pengelolaan fiskal,’’ pungkasnya. (p17)
Advertisement