Wawancara Khusus dengan Dr Hendrajit
Pengantar :
Kata perubahan, Change, hampir di setiap negara selalu memiliki daya tarik sendiri sebagai sebuah ikhtiar untuk melakukan sebuah pergeseran. Ada harapan terpatri, ada cara untuk mencapai yang dilandasi oleh sebuah gagasan/wacana yang sudah terinternalisasi dan terdistribusi ke banyak kalangan. Maka proses dialektika dari change memerlukan critic, yakni kemampuan untuk menganalisa keadaan sehingga punya kemampuan memotret realitas secara objektif dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini mensyaratkan adanya pisau ilmu dengan harapan gerakan perubahan “change” memiliki daya tahan kuat karena bergerak dituntun oleh sebuah gagasan, bukan yang lain. Apalagi disuruh pihak lain. Change yang lahir dari sebuah kritik, berlandaskan ilmu, cepat atau lambat akan menuntun kelompok atau individu untuk mengalkulasi.
Berhitung, membuat strategi menentukan pilihan mana yang akan dipakai dan ditinggalkan. Change(c1)-Critic(c2)-Calkulasi(c3) akhirnya bersumbu pada Choice(c4).
Ada prioritas pilihan Isu yang hendak dibangun dan didistribusikan ke elemen-elemen masyarakat. Dan untuk mempermudah 4C adalah kesanggupan untuk Collaboration (c5), menjalin pertukaran gagasan dan ide antar elemen masyarakat. 5C jika lengkap, terpenuhi, perubahan tinggal menunggu waktu saja. Di bawah ini wawancara Pril Huseno dengan Dr Hendrajit, Direktur The Global Future Insititute (GDFI).
Pril Huseno (PH): Situasi politik dalam negeri oleh banyak pihak disebutkan semakin runyam. Oligarki terbaca kuat telah begitu mempengaruhi segala kebijakan. Terakhir, Perppu No 02/2022 yang menjadi kontroversi ditengarai hasil dari intervensi modal. Sementara pihak oposisi menyebutkan, kedaulatan rakyat semakin jauh untuk bisa diwujudkan. Kalangan aktivis gerakan kritis, sampai saat ini dinilai masih sebatas wacana.
Kaum muda kampus juga sepi-sepi saja, tak bereaksi terhadap pengangkangan konstitusi yang berkali-kali dilakukan. Akankah Indonesia jatuh ke jurang otoriterisme tanpa bisa dicegah? Apa yang harus dilakukan kelompok-kelompok kritis?
Hendrajit (HD): Dari gambaran yang disajikan di atas, penyebab utama adalah stagnasi pemikiran dan gagasan baru dari berbagai elemen masyarakat. Sehingga tidak melahirkan ledakan kreativitas dan inovasi.
Ketika oligark merajalela, ya itu akibat, bukan penyebab.
Maka dari itu kalau disebutkan bahwa gerakan kritis baru sebatas wacana, pertanyaannya, apa benar itu memang wacana? Kalau wacana memang terbangun, cepat atau lambar pasti akan jadi gelombang pergerakan.
Kedua, siapa kelompok kritis itu? Belum ada.
Kalau kita menyadari ini, maka kelompok kritis ini akan segera tersusun dan terorganisir.
Kenapa kelompok-kelompok kritis sekarang tidak tersusun dan terorganisir baik antar perorangan, antar kelompok dan antar organ?
Jawabannya, karena aktivis-aktivis sekarang dari berbagai spektrum politik tidak belajar sebuah kiat penting sebagai orang gerakan: Masukilah lingkungan orang-orang baru, dan rangkai pertemanan baru.
PH : Ciri-ciri kelompok kritis kita sepertinya telah ada pada berbagai kelompok intelektual di LP3ES, Paramadina, INDEF, juga pada gerakan para aktivis di Prodem, ARM, JALA dan lain-lain. Kemarin aksi protes oleh elemen KSPSI Jumhur Hidayat di depan DPR RI juga melibatkan Haris Azhar dan Refly Harun. Begitu penggambaran terakhir, kira-kira, apakah perlu pendalaman dan perluasan, atau bagaimana?
HD : Orang-orang gerakan kalau tidak sering-sering memasuki lingkungan orang-orang baru dan merangkai pertemanan baru, sulit menemukan dua hal pemantik gelombang gerakan. Apa saja itu?
Yakni, Menemukan “titik temu” dan “titik pusat”. Hal itu tidak mungkin terjadi, ketika sekarang anak-anak HMI dan GMNI tidak pernah duduk “ngopi bareng”. Anak-anak HMI dan PMII jarang nyate bareng. Ketika Sosialisme, Islam dan Nasionalisme dibahas secara intens dengan pikiran dan hati yang terbuka.
PH : Nah, Apakah “Kelompok Cipayung” tidak cukup? Meski banyak suara-suara minor. Ataukah harus dilakukan oleh organ tidak resmi di luar mereka?
HD : Ya, oleh bukan organ resmi. Antar oknum-oknum organ itupun tidak pernah lagi “ngopi bareng” atau “nyate bareng”. Tidak pernah antar oknum itu ngobrol dengan melepas prakonsepsi masing-masing sebagai aktivis berlatar organnya.
Dulu, setidaknya hal seperti itu terjadi. Mar’ie Muhammad, Ekki Syahruddin, dan lain-lain bisa kongkow lepas dengan Rahman Tolleng, Marsilam Simandjuntak atau Arifin Panigoro. Sehingga “titik temu” dan “titik pusat” muncul dengan sendirinya, dan mengilhami satu sama lain.
Kalau sekarang? Banyak elemen gerakan kritis yang bisa jadi contoh. Jangankan dengan lingkungan baru, antar sesamanya saja kalau tidak satu “klik”, tidak pernah menjalin kontak. Bagaimana mungkin oligark tak merajalela ketika berbagai organ mempersempit dirinya seperti sekte?
Titik temu itu bukan cuma sintesa. Tapi menemukan sebuah cara pandang baru, kesadaran baru, yang kemudian menjadi terobosan.
Menemukan “titik pusat”, artinya menemukan rangkaian-rangkaian menjadi suatu jalinan. Nah dari situlah wacana terbangun yang kemudian dapat menjadi arus dan gelombang.
Sekarang itu, Wacana belum ada.
PH: Sepertinya rangkaian teori dan asumsi di atas perlu diendapkan dulu oleh kalangan gerakan kritis..
HD: Jadi, frase kata “baru wacana” sebetulnya tidak begitu tepat. Hehe… Yang benar, “belum punya wacana…”.
PH: Apa semua sedang mengalami kekurangmampuan membaca peta, strategi sekaligus kurang mengambil hikmah?
HD: Itulah makanya di awal saya bilang penyebabnya : Stagnasi di kita sendiri…
PH: Kalau begini, apa artinya perubahan itu masih jauh? Apalagi jika berniat meminggirkan oligarki.
HD: Tapi kalau kesadaran akan adanya stagnasi muncul di elemen gerakan, bisa cepat bangkit. Ibarat orang sakit, kalau mengingkari akar penyakitnya, ya lama sembuhnya.
PH: Membaca sejarah gerakan perubahan di Indonesia, peran kaum muda apalagi gerakan mahasiswa selalu menjadi Hulu Ledak perubahan. Menjadi motor perubahan sosial. Komentar anda?
HD: Hulu ledak, kalau “titik temu” dan “titik pusat” ditemukan, tidak hanya kampus. Semua segmen bisa jadi ledakan politik. Justru karena wataknya sebagai gerakan moral, akan mampu jadi ledakan politik karena punya wacana. Gerakan Moral, akan mampu membuat ledakan politik, kalau punya wacana…
Selama ini yang bikin keblinger, seakan wacana itu teori. Maka muncul istilah yang keblinger juga: “Cuma Wacana”, atau “Baru Wacana”.
Tanpa sadar itu berfungsi sebagai “blocking psikologis” terhadap elemen-elemen kritis. Alhasil, ya menguntungkan rezim. Karena di mindset gerakan, sama saja bilang : “Ah, cuma teori.”
Coba telaah gerakan-gerakan di luar negeri. Jarang ada frase : “Ah, it is just a discourse”. Karena ketika konsep diskursus dinyatakan, di mind mereka itu soal praksis.
PH: Jika dibandingkan dengan gerakan 98 : Kala itu, semua kelompok diskusi aktif di setiap kota progresif, Yogya, Bandung, Jakarta, Mataram, Makasar, dan lain-lain. Elemen-elemen kritis Pijar, Aldera, Prodem, dan banyak lagi, mampu menggalang aksi-aksi di banyak kota dengan tema beragam, pembelaan petani, tanah, buruh, HAM dan lain-lain. Sehingga sedikit banyak memunculkan ketidakpercayaan rezim saat itu, dan kemudian kombinasi dari banyak faktor bisa berujung pada kejatuhan orde baru. Barangkali seperti itu contoh yang dimaksud?
HD: Iya betul, setidaknya kala itu mereka masuk ke dalam wacana, dan membuahkan suatu gerakan yang awalnya sporadis dan terpisah-pisah, dan akhirnya menggelombang. Mereka menemukan “titik pusat” dan “titik temu”. Dan dulu murni inisiatif lahir dari elemen-elemen itu sendiri dalam menemukan “titik temu” dan “titik pusat.”
Sekarang, elemen-elemen eksponen ‘98 yang mengarahkan adalah “bohir”. Dan celakanya, yang dibajak adalah “lini tengah.”
Jadi agendanya sekarang, “Utamakan operasi pembebasan pesawat dari pembajakan”. Terutama pada lini tengah.
Coba perhatikan omongan senior-senior yang merangkap bohir, “Ah sudahlah, jangan banyak diskusi. Yang penting action.” Alhasil, waktu action, sebetulnya tanpa wacana…
PH: Selain polarisasi gerakan, muncul pula pemikiran bahwa perubahan sebaiknya dilakukan secara struktural dengan mengikuti mekanisme yang ada, untuk memenangkan calon-calon yang dianggap mampu membawa perubahan..
HD: Artinya, mereka sedang menggiring kita untuk meyakini bahwa perubahan tak mungkin “people based”. Seakan mustahil perubahan itu “people centered..”.
PH: Anda tadi berulang mengatakan pentingnya titik temu dan titik pusat bagi aktivis pergerakan. Adakah jalan pintas buat mencapai hal itu?
HD: Ada banyak cara dan pilihan. Mengingat fakta bahwa para eksponen pergerakan berasal dari ragam profesi, keahlian, dan disiplin ilmu, yang paling tepat menemukan titik temu dan titik pusat adalah geopoliitik.
Saat anda kemarin mewawancarai saya, kebetulan lagi asyik baca biografi dan pemikiran Amilcar Cabral. Motor penggerak kemerdekaan nasional salah satu negara di Afrika.
Yang memikat hati saya, Cabral itu kan seorang agronom. Tapi kebayang nggak, tekadnya untuk melawan penjajahan Portugis ketika ia menyadari bahwa sumber kemiskinan dan kekeringan di daerahnya disebabkan erosi tanah. Dan erosi tanah terjadi disebabkan pola sewa tanah yang diberlakukan Portugis. Sebab pola sewa tanah kemudian dipakai buat budidaya tanaman yang selain bukan kebutuhan masyarakat lokal, juga merusak kesuburan tanah.
Nah artinya dari sini Cabral menemukan titik pusat. Tanpa dia sadari, sebagai agronom dia memasuki salah satu aspek penting geopolitik. Yaitu karakteristik geografis.
Lantas bagaimana dengan titik temu? Sebagai agronom yang waktu Cabral kerja buat instansi Portugis, dia ditugasi membuat sensus penduduk. Efek samping hasil ini, dia tahu peta berbagai etnik, tapi ini yang penting, tahu sikap dasar ragam etnik itu terhadap Portugis. Sehingga Cabral tahu kelompok kelompok etnis mana saja yang berpotensi revolusioner.
Nah, di sini titik temu diperoleh Cabral juga lewat penglihatannya yang jeli atas kaitan kondisi fisik lingkungan, karakter kolektif masyarakat dan budaya lokalnya.
Lagi lagi Cabral memperoleh titik temu lewat salah satu aspek geopolitik yaitu karakteristik geografis. Meski lahiriah Cabral seorang agronom.
End–