Oleh : Tulus Widjanarko

Empat tahun yang dinamis, tapi Timnas Indonesia berada di jalur yang tepat. Tak selalu menang di laga, tapi prestasi sudah mulai terlihat. Para pendukung tak hiraukan para pembenci timnas bermental inlander yang tak bisa menghargai pencapaian bangsa sendiri.
——-

“Ayo gaes berdoa, tinggal 240 detik lagi…hhh…230 detik…hhh”

Suara pria itu terengah-engah menahan luapan emosi saat melakukan hitung mundur menjelang berakhirnya laga kesebelasan Kirgistan melawan Oman, Kamis semalam (25/01). Pria yang menyebut dirinya “Abang” ini tak sedang menonton televisi atau bahkan di stadion menyaksikan pertandingan itu. Tapi lewat akun Temu Makna di YouTube dia menggelar livescore untuk memantau pertarungan tersebut. Dan bagai reporter radio ia melaporkan siuasi yang terjadi dengan penuh semangat.

Di layar memang hanya terlihat grafis pertandingan dan penanda skor, yakni 1-1, alias imbang. Tak ada visual pertarungan kedua tim. Jika kedudukan imbang ini bertahan sampai akhir, maka poin akhir kedua kesebelasan tak akan mampu mengejar nilai Indonesia di klasemen 3 terbaik. Dengan kata lain, Indonesialah yang akan maju ke babak 16 besar Piala Asia 2023 ini. Tak heran, Abang terlihat tegang dan emosional pada empat menit terakhir itu. Begitu juga 22 ribu viewer yang memantau livescore tersebut. Itu tampak pada chat yang mereka kirim, rata-rata isinya berdoa semoga hasil imbang tak berubah.

Edan memang, ada 22 ribu pasang mata yang rela dan siaga memandangi layar yang hanya memperlihatkan grafis dan “papan” skor. Apalagi yang berlaga itu bukan tim nasional Indonesia. Apakah yang mendorong mereka bersedia melakukan itu? Tentu saja karena mereka paham nasib tim kesayangan sangat tergantung pada hasil pertandingan tersebut. Mereka rela hadir secara virtual untuk menciptkan vibe agar hasil pertandingan menguntungkan Indonesia.

Dan, 22 ribu pemirsa itu hanyalah bagian kecil dari jutaan orang Indonesia yang saat itu tegang berjamaah menunggu nasib Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan di kompetisi. Jutaan orang yang akan patah hati jika Indonesia harus tersingkir dari perhelatan kasta tertingi di Asia ini.

Malam itu seperti menjadi salah satu puncak pernyataan cinta mereka kepada Timnas Garuda. Rasa cinta yang bersemi pelahan di sanubari publik dalam empat tahun terakhir sejak timnas ditangani Shin Tae-yong, pelatih asal Korea Selatan.

Tentu saja mereka sudah sejak dulu menjadi fans timnas. Hanya saja saat ini mereka merasa ada yang berbeda pada timnas. Dulu, saat menjelang laga, kita selalu merasa khawatir meski para pemain belum memasuki lapangan pertandingan. Apalagi kalau tim harus menghadapi lawan yang setara, dan apalagi, di atas kita. Selalu muncul kecemasan apakah tim bisa bermain bagus? Bakal dibantai? Kita benar-benar gamang pada para punggawa timnas.

Sebab kita tahu para pemain kerap sudah kalah duluan sebelum bertanding. Tentu kepada pers dan publik selalu ada pernyataan mereka siap. Tapi perasaan inferior terhadap lawan saat mereka memasuki lapangan, juga selama bertanding, tak bisa disembunyikan. Jangankan melawan tim elite Asia, bertemu dengan Thailand dan Vietnam saja sudah terasa kegamangan itu.

Apa yang terjadi saat itu mirip dengan apa yang terasakan saat ini terhadap para pemain bulu tangkis kita. Kita selalu pesimis duluan bahwa para penghuni Pelatnas Cipayung dapat berbuat banyak setiap turnamen bergulir. Apakah pretsasi yang telah mereka cetak dalam beberapa bulan terkahir?

Tetapi semua gejala itu tidak terasakan dan terlihat lagi sekarang terhadap Timnas Sepakbola Indonesia. Banyak fans menyaksikan para pemain Garuda hampir selalu memperlihatkan permainan yang terus meningkat. Rasa percaya diri mereka juga makin kuat. Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan selalu memasuki lapangan dengan kesadaran siap tempur siapa pun lawan yang dihadapi. Tak ada lagi sindrom kalah sebelum bertanding.

Sebutlah kesebelasan negara mana saja yang pernah bertanding melawan Indonesia dalam empat tahun terakhir. Mereka semua dihadapi tanpa rasa segan. Mulai dari Curacao, Turkmenistan, Thailand, Vietnam, Libya, Irak, Iran, Jepang hingga Argentina si juara dunia, semua mendapat perlawanan sengit dari Rizky Ridho dan sejawatnya. Tentu saja tak semua dimenangkan Tim Garuda. Tapi ultras PSSI selalu punya cadangan kebanggaan sepanjang tim pujaan memberi perlawanan sepenuh hati.

Dengan roh baru dalam timnas seperti itulah maka ada beberapa peristiwa yang menjadi ikonik dalam empat tahun terkahir. Salah satu adegan yang akan dikenang lama adalah saat Asnawi sukses mengantongi bintang Argentina Alejandro Garnacho dalam matchday FIFA. Sebuah aksi heorik yang menghentikan serangan tim tango di sisi kanan pertahanan Indonesia.

Lalu ada driblling cantik Marselino ketika Indonesia menghantam Vientam di Piala Asia 2023. Dari wilayah sendiri Marselino berlari kencang melewati beberap pemain Vietnam hingga mendekati garis pinalti. Aksi yang mengingatkan pada pergerakan menawan Gareth Balle di Real Madrid itu baru bisa dihentikan dengan jegalan keras khas Vietnam.

Kalau mau ditambah, maka lemparan bola Pratama Arhan yang mengawali gol Indonesia ke gawang Jepang juga bakal memorable. Apalagi fans Indonesia mencatat bahwa sebelum pertandingan kiper Jepang melancarkan psywar dengan mengatakan lemparan “roket” ala Arhan tak mengkhawatirkan dirinya. Gol itu tentu membuat dia harus meralat ucapannya sesegera mungkin.

Kami para fans juga akan senyam-senyum setiap mengenang tiki-taka ciamik timnas di babak pertama melawan Vietnam di Piala Asia. Sepanjang 45 menit pertama itulah para pemain Indonesia mengurung pertahanan Vietnam tanpa ampun. Bola mengalir cepat dari kaki ke kaki dengan cukup akurat. Sebuah “repertoar” indah diperagakan di atas lapangan yang sebelumnya sangat jarang bisa dilakukan kesebelasan kita.

Semangat tinggi, kepercayaan diri pemain yang menguat, dan permainan yang terus berkembang, semua itu bisa dirumuskan dalam satu frasa: Timnas Garuda sangat bisa diharapkan. Apalagi usia para pemain yang jadi pilar utama timnas senior rata-rata masih di bawah 24 tahun. Mereka masih akan lama berkiprah di timnas dan tentu saja kian matang. Kelak, mereka melahirkan prestasi menterang. Harapan semacam inilah yang sebelum-sebelumnya terasa begitu jauh untuk dijangkau para fans.

Indonesia sudah mencicil prestasi itu dengan lolosnya timnas di tiga kelompok umur ke putaran final Piala Asia. Ini pencapaian yang fantastis, mengingat selama belasan tahun tak pernah bisa diraih. Tak hanya berpartisipasi, di level senior target lolos dari fase grup Piala Asia juga sudah dicetak. Inilah torehan sejarah baru karena sebelumnya Indonesia selalu mentok di putaran grup. Data juga menunjukkan sejak ditangani Shin Tae-yong rangking Indonesia di FIFA juga melejit ke posisi 145 dari 175 pada 2019 silam.

Toh, tetap saja ada oknum-oknum yang enggan mengakui pencapaian itu dengan beragam alasan. Mereka, misalnya, menilai lolosnya Indonesia ke fase gugur Piala Asia tak lepas dari banyaknya pemain naturalisasi. Selain itu, menurut mereka, juga karena ada “bantuan” Kirgiztan yang sukses menahan Oman.

Tampaknya mental inlander warisan masa penjajahan masih diidap kaum pembenci ini. Mereka sulit menghargai pencapaian yang diraih bangsa sendiri. Mereka tak bisa melihat hal sederhana bahwa tanpa raihan 3 poin Indonesia tak punya kans lolos–betapa pun Kirgistan main imbang. Bahwa lonjakan sekitar 30 level rangking FIFA bukan jatuh dari langit, tapi karena kerja keras STy dan para pemain.

Dan menyinyir naturalisasi? Di era kepemimpinan PSSI kini, pemain yang dinaturalisasi adalah yang berdarah Indonesia dan punya grade A. Apakah para pembenci itu ingin menutup hak para pemain yang punya darah Indonesia itu untuk membela tanah leluhurnya?

Bahkan legenda Indonesia, Bambang Pamungkas, menyatakan para pemain keturunan ini juga punya hak membela Indonesia. Tampaknya para pembenci timnas itu kurang literasi soal kazanah sepakbola moderen di dunia yang semakin terbuka ini.

Jangan ragukan nasionalisme para pemain naturalisasi ini. Para fans cukup tau bahwa mereka benar-benar tulus ingin membela Indonesia. Informasi tentang itu sangat mudah dilacak di era digital ini.

Saat ini semesta memang seperti mendorong kemajuan Timnas Garuda untuk naik level. Apakah semua sudah sempurna dan tak ada sisi yang bisa dikritik lagi? Tentu saja masih banyak celah kekurangan pada perjalanan timnas Garuda, dan kritik harus terus disampaikan. Kalah tiga kali selama masa periapan menuju Piala Asia jelas menunjukkan tim ini masih memiliki kelemahan.

Komunitas sepakbola Indonesia, mulai dari para penonton setia hingga pundit, tak lelah menyampaikan kritik dan saran pada PSSI dan jajaran pelatih timnas.

Semua itu disampaikan dengan rasa cinta karena percaya saat ini perjalanan timnas ada di jalur yang tepat. Para pendukung tak akan lelah mencintai timnas yang dibangun secara benar ini. Mereka akan selalu datang ke stadion dimana pun setiap timnas Garuda berlaga.

Dengarlah salah satu chant berjudul “Kami Datang Lagi” yang sangat membara berikut ini.

Ooooh oooh ooooh…
Kami datang lagi
Timnas Indonesia
Lantangku bernyanyi
Menangkan kembali
Ooooh oooh ooooh…


#repost

picsource : Kompas.id

Kans Jawara