Oleh : Ade Irwansyah
LIBUR akhir pekan yang panjang kali ini saya habiskan di rumah sakit. Rencana liburan ke rumah mertua bareng anak-anak yang sudah kami rencanakan batal.
Meski begitu, berkahnya, mungkin saya jadi bisa istirahat. Dan menonton film yang sesuai selera. Bukan menonton film sebagai pekerjaan… Hehehe..
Film yang paling berkesan yang saya tonton kemarin adalah “Max Havelaar” yang aslinya rilis tahun 1976. Seseorang berbaik hati membagikan filmnya di YouTube.
Generasi kini wajib menonton film ini setidaknya sekali seumur hidup, bila terlalu malas membaca bukunya darimana film itu berasal.
Pada 1976, film itu dilarang beredar di sini oleh rezim Orde Baru Suharto. Filmnya dianggap merendahkan orang Indonesia karena di film itu tidak digambarkan soal kepahlawanan melawan penjajah. Filmnya dianggap tidak nasionalis. Filmnya baru bisa edar di tanah air sebelas tahun kemudian.
Cara pandang nasionalistik Orde Baru terhadap film ini sebenarnya tak tepat. Sejak awal film ini memang bukan film perjuangan. Max Havelaar, asisten residen Lebak, bukan pejuang macam Diponegoro atau bahkan Tjokroaminoto atau juga Eduard Douwes Dekker, cucu Multatuli atau Ernest Douwes Dekker, pengarang asli romannya. Mereka melawan penjajah dengan mengangkat senjata maupun pena. Max Havelaar tidak.
Pada hakikatnya ia bagian dari penjajah Belanda yang ingin melanggengkan kekuasaan kolonial di tanah Hindia. Havelaar adalah semata birokrat jujur di tengah lingkungan yang korup.
Ia seorang birokrat yang memandang rakyat jajahan sebagai manusia seperti dirinya, yang punya hak asasi dan layak diperlakukan adil. Ia menentang kesewenangan, baik dari sesama warga Belanda, sepertinya atau elit pribumi yang terdiri dari bupati, Demang serta prajurit-prajurit mereka.
Havelaar menyaksikan wilayah Lebak yang dipimpinnya terbilang miskin. Padahal alamnya subur. Sawah hijau menghampar. Tapi ia melihat kemiskinan di mana-mana. Rakyat banyak yang mengungsi mencari penghidupan di daerah lain. Ini tidak bagus, pikirnya. Rakyat yang miskin dan menderita pada gilirannya akan memicu pemberontakan. Kekuasaan kolonial bisa terancam. Buah pikiran ini ia sampaikan pada bupati Lebak maupun atasannya, residen di Serang.
Namun, protesnya membentur tembok. Di tengah iklim birokrasi yang korup dan kolutif antara penjajah dan elit pribumi, Havelaar tak bisa berbuat apa-apa.
Kita lihat, residen menerima perempuan yang disodorkan demang korup. Si residen malah meminta Havelaar menarik nota protesnya. Dan ujungnya ia dipindahkan jadi asisten residen Ngawi.
Havelaar lalu memutuskan berhenti. Ia ingin protes langsung pada gubernur jenderal. Sampai di sini, saya merasa Havelaar naif betul. Kita sejak awal sudah tahu, protesnya pasti bakal kembali membentur tembok. Terkunci di ruang tunggu istana gubernur, dengan foto raja Belanda menempel di dinding, Havelaar berteriak menggugat pemerintahnya sendiri dan raja yang dijunjung, yang kaya berkat rakyat jajahan, tapi abai memanusiakan rakyat yang dijajah.
Sekali lagi, roman dan film “Max Havelaar” bukan tentang perlawanan terhadap penjajah. Tapi tentang penjajah yang digugat untuk mengurusi rakyat jajahan. Ini bukan novel yang membuat kekuasaan kolonial berakhir, tapi yang melahirkan Politik Etis.
Kita tahu, politik balas budi Belanda pada tanah jajahan itu tidak dimaksudkan untuk penjajahan berakhir. Hanya sekedar, membuat tanah jajahan sedikit lebih baik berkat program edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Kemerdekaan tetap harus kita rebut dengan perjuangan bersenjata dan diplomasi.
Melihat film tentang birokrat jujur di tengah korupsi yang merajalela, menjelang pemilu 14 Februari 2024, menjadi pengingat saya untuk menggunakan hak pilih dengan benar. Jangan memilih calon presiden atau partai yang ingin berkuasa dengan cara koruptif; dan jangan pilih wakil kita yang punya sifat seperti bupati Lebak di film ini.