Oleh : Amin Mudzakkir

Dulu sekolah tinggi-tinggi adalah jaminan naik kelas. Terlebih kalau Anda sekolah hingga S3, di luar negeri pula, karpet merah menuju kehormatan dan pastinya kekuasaan terhampar di hadapan. Sekarang?

Bahkan di kota-kota kecil pun, kita akan menemukan banyak lulusan S2 dan bahkan S3 yang nganggur, setidaknya mereka bekerja di tempat yang kurang pas dengan latar belakang pendidikannya. Rasio antara permintaan dan persediaan terasa jomplang. Namun apa masalahnya?

Tentunya banyak faktor, tetapi saya ingin menyinggung suatu kultur feodal baru yang sedang berkembang. Sementara orang-orang mengkritik kultur feodal lama berbasis agama dan budaya, mereka saat yang sama mengorbitkan kultur feodal baru di dunia pendidikan. Obsesi untuk mendapatkan gelar akademik dan menaruhnya di depan nama dalam surat undangan pernikahan atau baliho caleg misalnya meningkat tajam.

Di dunia akademik formal, gelar akademik memang masih dibutuhkan untuk naik pangkat atau golongan dan semacamnya. Namun sekarang sifatnya hanya syarat administratif, tidak lebih tidak kurang. Implikasinya pada kenaikan pendapatan tidak signifikan.

Jelas kultur feodal menjauhkan pendidikan dari fungsi kritisnya. Di kampus atau lembaga riset tidak ada lagi perbincangan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa, tetapi kesibukan merancang strategi praktis untuk menembus Scopus atau Sinta. Berat negeri ini.

Akan tetapi, kultur feodal yang saya sebut itu lahir dari suatu arus yang lebih besar, yaitu neoliberalisme. Ini adalah formasi terbaru kapitalisme yang membuat manusia modern yang tercerahkan hanya bekerja keras disiplin besi untuk mengejar kepentingan diri sendiri. Tanggung jawab sosial yang dulu menjadi kepedulian kaum intelektual sekarang raib tertelan proyek world class university.

Situasi sudah mencapai tahap krisis, tetapi mengapa revolusi tak kunjung datang?

Kepada apa dan siapa kita berharap adanya perubahan?

Selamat hari pendidikan nasional. 

Berat.

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar