Oleh : Habib Jansen Boediantono

Mengacu pada desain ketatanegaraan founding fathers, persoalan paling mendasar mulai dari negara ini dibentuk sampai sekarang adalah kegagalan membangun kontruksi MPR yang benar – benar merefleksikan kedaulatan rakyat. Akibatnya, negara tak pernah berdiri tegak di atas kedaulatan rakyat sehingga tak mampu mengimplementasikan kearifan dan kebijaksanaan sebuah bangsa sebagai suatu sistem nilai yang tetap dan terintegrasi, yang mampu mendorong adanya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Alkisah, suatu hari di tahun 90 an saya terlibat diskusi dengan tokoh – tokoh petisi 50. Ali Sadikin, pimpinan kelompok tersebut berpendapat ada yang salah dalam UUD 45 pasal 2 ayat 1 dimana DPR sebagai lembaga tinggi mengkooptasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal tersebut juga melahirkan otoritarianisme. Seorang ketua umum atau penentu kebijakan partai melalui kadernya ia ada di DPR, ada diutusan golongan dan daerah, kemudian melalui mekanisme MPR mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden. Kejadian ini berlangsung terus sampai era reformasi. Pasal tersebut telah membuat UUD 45 mengalami ‘ semantic error ‘, malfungsi sistem ketatanegaraan pun terjadi.

Di era reformasi sistem ketatanegaraan semakin bertambah parah dengan adanya amandemen pasal 1 ayat 2 UD45. Kedaulatan rakyat yang diperankan dan difungsikan oleh MPR diatur oleh perundang – undangan di bawahnya. Peran dan fungsi MPR pun hilang yang berarti hilang pula kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR direduksi setingkat lembaga tinggi negara. NKRI sebagai negara kebangsaan berubah menjadi negara demokrasi.

Menyisir alur sejarah, bangsa indonesia terlahir lebih dahulu baru kemudian membentuk negara. Alur ini membangun sebuah sistem yang unik dan khas : bangsa Indonesia (rakyat) adalah fondasi NKRI dengan pancasila sebagai filosopische groondslag, batuan segar tempat pondasi tersebut diletakkan agar kokoh menopang beban. Lalu kedaulatan rakyat (MPR) adalah pilarnya dan negara menjadi atap. Penghubung antara wilayah negara (atap) dengan wilayah bangsa (bangunan dibawahnya) kita menamakannnya konstitusi. Inilah sistem NKRI sebagai negara kebangsaan.

Sistem tersebut berubah total setelah adanya amandemen sebagai berikut:

Dalam pasal amandemen, Kedaulatan rakyat diatur oleh Undang – Undang Dasar. Dampaknya, kekuasaan yang dibentuk partai – partai politik menjadi batuan segar, NKRI sebagai pondasi dengan konstitusi sebagai pilarnya. Rakyat dibalik menjadi atapnya. Penghubung antara negara dengan rakyat berupa kepentingan. Inilah yang disebut negara Demokrasi.

Sistem demokrasi ini mengubah pula fungsi negara. Pada negara kebangsaan, negara hanyalah alat bagi rakyat mencapai tujuan bersama. Dalam negara demokrasi, atas nama negara rakyat menjadi alat untuk mencapai kepentingan kekuasaan.

Tulisan ini hendak mengingatkan : pasal 2 ayat 1 UUD 45 yang asli memiliki kekurangan, melegitimasi kekuasaaan yang sentralistik dan cenderung merusak tatanan etika yang berlaku. Tentu saja amandemen pada pasal 1 ayat 2 juga harus ditinjau ulang karena melegitimasi terselenggaranya sistem demokrasi yang bertentangan dengan sistem musyawarah, serta meniadakan peran serta rakyat dalam membangun aturan dasar bernegara.

Jalan kebijaksanaan harus ditempuh dengan menempatkan kembali kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan membatalkan amandemen pasal 1 ayat 2 dan perubahan klausul pada pasal 2 ayat 1 menjadi : MPR adalah wakil rakyat yang terdiri dari perwakilan MPR – MPR di seluruh daerah melalui proses musyawarah rakyat, seperti yang digagas Bung Karno bahwa sejatinya MPR harus ada di seluruh Nusantara.

Bagaimana membangun MPR di seluruh pelosok Nusantara yang memiliki peran dan fungsi sebagai kedaulatan rakyat, serta menjadi ruang kearifan dan kebijaksanaan bangsa Indonesia, akan ditayangkan pada episode lainnya.

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar