Oleh : Ade Irwansyah

MESKI baru tahu lebih detil tentang HBO (Home Box Office) saat menjadi content marketing pay TV Astro di tahun 2007-2009, saya beruntung tumbuh bersama series keluaran HBO pada awal 2000-an saat stasiun TV kita masih menayangkan series barat seperti “Sex and the City”, “Six Feet Under”, dan “The Sopranos”. Berkat buku ini, pengetahuan saya akan HBO jadi lebih dalam lagi.

HBO lahir dari perkawinan teknologi dan seni. Kelahiran HBO di tahun 1970-an bertepatan dengan teknologi satelit yang mampu menyiarkan peristiwa yang terjadi nun jauh di sana ke TV-TV di rumah. Siaran HBO yang pertama kali membuat namanya diperhitungkan adalah ketika menyiarkan pertandingan tinju Muhammad Ali versus George Foreman yang berlangsung di Manila, Filipina.

Filosofi HBO sederhana saja: membawa tontonan yang biasanya didapat dengan membeli tiket–film bioskop, pertandingan olahraga, atau konser musik–ke rumah. Model bisnis yang mereka terapkan pun unik, HBO tak menerima iklan seperti TV jaringan (network TV) macam ABC, CBS, dan NBC. Tapi dari biaya berlangganan. Jadi, kalau Anda dulu berlangganan Indovision tersedia paket film yang menyertakan channel HBO.

Biaya berlangganan ini jadi dasar yang menentukan langkah HBO ke depan. Pengiklan biasanya hanya mau mensponsori program yang tidak akan merusak citra produk mereka, maupun yang populer dan diterima sebanyak mungkin orang. Karena HBO bebas dari kekangan pengiklan, pengelolanya relatif lebih bebas membuat program yang mereka suka tanpa harus direcoki pengiklan.

Itu sebabnya “Sex and the City” bisa dibuat HBO dan bukan TV jaringan. Darren Star, kreatornya telah berpengalaman membuat “Beverly Hills, 90210″ dan *Melrose Place” buat TV jaringan bareng Aaron Spelling, dan menyimpan sakit hati baik pada Spelling maupun stasiun TV. Dia butuh kreativitasnya tak dibatasi. Kemudian ia bertemu Candace Bushnell, penulis New York yang punya kolom Sex and the City buat koran New York Observer. Mereka lantas berkolaborasi, judul kolom Bushnell dipinjam dan Starr menciptakan karakter wanita-wanita New York yang modis, lajang dan bergaya hidup bebas. Cerita model begitu, Starr yakin, takkan diterima TV jaringan. Judulnya pun pasti mereka sarankan ganti. Sedangkan HBO langsung terima konsep cerita Starr.

Jalan berliku juga dialami kreator series “The Sopranos” David Chase. Sebelum ditawarkan ke HBO, series itu sempat di-pitch ke stasiun TV jaringan. Konsepnya memang hendak memanusiakan mafia. Di series itu, seorang bos mafia juga pergi ke psikiater. Tapi oleh bos-bos TV jaringan, itu bikin mafia kurang powerful. Konsepnya ditolak. Ketika disodorkan ke HBO, boss-boss di sana langsung setuju dan bilang ini konsep yang unik. Setelahnya, “The Sopranos” menjadi sejarah. Berkat series itu masa keemasan TV dimulai.

Sedangkan saat hendak menyetujui pembuatan miniseri “Band of Brothers” tentang pasukan penerjun payung saat PD II bareng Steven Spielberg dan Tom Hanks, petinggi HBO yang diutus bertemu keduanya sudah diwanti-wanti kalau bujetnya tak boleh lebih dari 90 juta dollar AS. Namun, setelah meeting, bujet yang disepakati akhirnya 120 juta. Kelebihan bujet itu cuma ditanggapi lewat bahasa tubuh “angkat bahu khas HBO” seolah bilang “ya, mau gimana lagi.”

Saat menyetujui series horor vampire “True Blood”, beberapa eksekutif HBO khawatir nama baik perusahaan yang kerap mengusung series yang menjadi penanda zaman dan jadi fenomena budaya pop bakal luntur. Sikap itu dikritik karena pandangan tersebut berarti mengutamakan kepentingan korporasi. “True Blood” tetap dibeli lantaran ceritanya lain dari yang lain. Saat itu belum ada series tentang vampir seksi.

Buktinya kemudian, series-nya hit dan jadi fenomena budaya pop. HBO juga berani mengambil risiko membuat serial berlatar fantasi dan menampilkan naga terbang “Game of Thrones” yang dijamin bakal berbujet besar karena standar tinggi film “The Lord of the Ring”.

Dalam perjalanannya, kehadiran layanan streaming macam Netflix menandai perubahan orang mengonsumsi media. Semula Netflix mencirikan dirinya sebagai pesaing HBO. Series yang kita kira hanya bisa dibuat HBO seperti “House of Cards” dibuat Netflix. HBO agak tertinggal untuk hijrah ke streaming dengan layanan HBO Max (HBO Go buat Asia). Netflix pun yang kian mengglobal juga tak lagi beridentitas “HBO-nya streaming”, tapi lebih berwujud “palu gada, apa lu mau gua ada” atau “Toserba-nya streaming”. Di Indonesia, Netflix malah kini jadi acuan utama buat drama Korea.

Lalu, bagaimana nasib HBO di masa depan? Bagian akhir buku ini memberi kilasan HBO bakal baik-baik saja. Pelanggan HBO Max masih kalah jauh dari Netflix. Namun, sejak Netflix lahir series HBO yang jadi acuan budaya pop masih lebih banyak. Tahun kemarin mereka baru menamatkan “Succession” dan masih memiliki “House of Dragon S2” dan “True Detective S4”. HBO masih dipercaya bakal menciptakan series hit kembali. Sebab, kata buku ini, saat layanan streaming mendasarkan pembuatan series baru mereka pada data perilaku pengguna, pengelola HBO lebih percaya pada pengalaman dan pengetahuan kreator. Di sana, kebebasan berkreasi lebih dihargai daripada segepok data tentang apa yang disukai penonton. Orang belum tahu akan suka “Succession” sampai mereka menontonnya.

HBO juga sukses selama hampir lima dekade dengan tidak bergantung pada satu individu. Eksekutif HBO selalu berganti dan tiap eksekutif mewakili zamannya turut menggawangi series hit masingmasing . HBO tidak punya sosok sekuat Reed Hasting di Netflix.

Seperti media cetak, pay TV akan punah. Saya masih nonton HBO di TV langganan bersamaan dengan WeTV, Netflix, Disney+, Prime dll. Tapi saya yakin, orang seperti saya tak banyak. HBO memang harus beradaptasi dengan zaman atau ikut punah. Syukurlah mereka punya HBO Max/HBO Go, jadi kita akan dapat the next “Sopranos” atau the next “Succession” .

#hbo #itsnottv #itsnottvitshbo #netflix #paytv #bookreview
Advertisement

Tinggalkan Komentar