Oleh : Suroto

Film ‘’Dirty Vote’’ yang baru-baru ini dirilis menjelang pemilihan umum (Pemilu) telah membuat heboh ruang publik. Sebabnya, film tersebut membongkar praktik curang yang dilakukan kontestan Pemilu. Film ini tentu tidak dapat dilepaskan dari sutradaranya, yaitu Dandhy Laksono, jurnalis senior yang telah malang melintang sejak lama di dunia jurnalistik.

Tulisan ini bukan untuk mengulas soal film tersebut atau banyak film dokumenter produksi Dandhy Laksono soal isu kemanusiaan, lingkungan, politik yang telah membuat lembaga yang didirikannya ‘’Watchdoc’’ menerima penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay tahun 2021. Tulisan ini adalah hasil wawancara dengan Dandhy Laksono terutama dalam upayanya mengembangkan koperasi media yang sedang dirintis bersama rekan-rekannya.

Keinginan Dandhy Laksono untuk mengembangkan koperasi ternyata sudah sejak lama. Tahun 2018, dia dan rekan-rekannya di Jakarta mengembangkan koperasi media yang bernama Koperasi Media Sama. Namun koperasi tersebut dianggap belum dapat berjalan maksimal. Hingga akhirnya bersama rekan jurnalis senior Farid Gaban dan 18 orang lainya yang terdiri dari jurnalis muda, mahasiswa, aktififis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dia berhasil mengembangkan Koperasi dengan nama Koperasi Indonesia Baru di Wonosobo, Jawa Tengah pada tahun 2022.

Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi proses pembelajaran ketika bersama-sama rekannya mendirikan Koperasi Media Sama. Di antaranya adalah kurangnya intensitas pertemuan, belum serius jadikan koperasi sebagai sumber pendapatan, dan juga karena heterogenitas anggotanya. Sehingga dia kembangkan strategi penting untuk KIB, yaitu perlunya intensitas pertemuan fisik, selain harus mengelola koperasi agar menjadi sumber pendapatan serius dari anggota. Berangkat dari refleksi tersebut dia membangun KIB dengan cita-cita sederhana, bagaimana membuat koperasi itu ke depannya dapat menjadi sumber pendapatan utama dari para anggotanya.

Dia sadari bahwa KIB juga masih cukup heterogen anggotanya, sehingga Dandhy mulai untuk mendorong agar muncul upaya kongkrit dengan mengembangkan satu program jangka pendek yang mendorong munculnya aktivitas koperasi dengan menyelenggarakan pelatihan jurnalistik yang diberi nama Master Class. Program ini dimotori langsung oleh dirinya dan Farid Gaban. Dari aktivitas pelatihan tersebut, untuk tiga volume kegiatan pelatihan telah langsung menghasilkan keuntungan sebesar Rp 80 juta.

Dari pendapatan tersebut maka barulah kemudian dijadikan untuk mulai membentuk koperasi. Uang hasil pelatihan tersebut lalu dijadikan sebagai modal awal koperasi yang dibagi kurang lebih per anggota sebesar Rp 3 juta-an. Dengan setoran modal anggota tersebut maka setiap anggota merasa mulai percaya diri untuk mengembangkan koperasi. Mereka juga menjadi merasa ada kesetaraan antar anggota. Dari modal yang terkumpul tersebut maka oleh koperasi dijadikanlah sebagai sumber modal awal pembiayaan bagi proyek Ekspedisi Indonesia Baru, sebuah perjalanan yang bertujuan untuk membuat konten dalam bentuk film, foto, maupun artikel.

“Ekspedisi Indonesia Baru adalah tonggak penting koperasi. Dengan adanya setoran modal pokok itu setiap orang jadi menjadi owner, menjadi pemilik dari ekspedisi yang dijalankan”, kata Dandhy.

Sebagaimana diketahui, KIB setelah itu menugaskan ke lapangan empat orang yaitu : Dandhy Laksono (47), Farid Gaban (62), Yusuf Priambodo (32), dan Benaya Harobu (24). Empat orang tim ekpedisi tersebut bekerja sepenuhnya di bawah manajemen KIB.
Menurut Dandhy, pembelajaran di KIB adalah bahwa setiap waktu, keterampilan dan pemikiran itu menjadi sumber modal.

“Setelah ada manajemen koperasi, maka setiap kontribusi dari semua anggota harus diperhitungkan dengan cermat dan jika aktivitas yang dikerjakan itu berhubungan dengan kegiatan yang dapat menghasilkan pendapatan maka akan dikonversi menjadi poin yang setiap tiga bulan sekali dilakukan rekapitulasi dan dapat diuangkan dan pada saat Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang pertama, yang teribat aktif jadi anggota ada 28 orang. Kita akan merekrut atau menambah anggota baru jika memang ada kebutuhan peran yang jelas, supaya manfaat berkoperasinya dirasakan,” kata Dandhy.

Menurutnya, untuk perekrutan anggota koperasi itu harus didasarkan pada peran dan keaktifannya. Diharapkan semua anggota ke depannya dapat menjadikan koperasi sebagai tempat untuk mendapatkan sumber pendapatan utama dan setidaknya sumber pendapatan kedua.

“Saat ini baru ada dua orang yang menjadikan KIB sebagai sumber pendapatan utama, yaitu Ben dan Yusuf. Sementara saya, Mas Farid Gaban dan lainnya masih di level sebagai sumber pendapatan kedua”, kata Dandhy.

Intinya menurut Dandhy, perlu memperkecil kesenjangan antara aktivitas sukarela dan ekonomistik, indikatornya jadi bukan lagi omset namun sudah berapa banyak orang yang terlibat dalam koperasi dan menjadikan koperasi sebagai sumber pendapatan utamanya. Jadi KIB ini sebetulnya adalah koperasi pekerja, koperasi di mana para pekerjanya adalah pemilik dari perusahaan koperasi.

Cita-cita KIB menurut Dandhy adalah untuk mewujudkan dua misi penting, yaitu untuk membuat konten berkualitas dan berkelanjutan serta dapat menjadi mata pencaharian atau sumber pendapatan anggota. Dari dua hal ini maka menurutnya perlu dipikirkan bagaimana agar konten tetap berkualitas dan dapat terus diproduksi di tengah tingkat persaingan yang tinggi dan juga sadar bahwa karakter bisnis konten itu hanya merupakan kebutuhan tertier dan bukan kebutuhan primer atau sekunder.

“Upaya untuk menjaga keberlanjutan ini sangat penting, karena kalau tidak dilakukan pembelajaran dan refleksi ditakutkan ke depannya ketika telah menjadi gantungan harapan hidup dari para pekerja dan keluarganya justru menjadi mengecewakan,” kata Dandhy.

Dalam mengupayakan keberlanjutan, menurut Dandhy dalam segmentasinya telah disepakati akan menjadi produsen konten dengan segmen yang cukup inklusif. Sebut saja misalya untuk kembangkan tema berupa hak perumahan, budaya fast fashion, sastra, dan isu sosial ekonomi dengan pasar yang lebih luas.

“Saya kan sebagai pemilik Watchdoc, tentu untuk menghindarkan dari vested interest pribadi maka genre kontennya harus beda dengan Watchdoc yang saat ini masih jalan yang temanya ada di segmen hardcore seperti human rights, social justice, isu lingkungan yang kiri. KIB tidak perlu menjadi SJW (red : social justice warriors), dan dikembangkan dengan beragam passion. Untuk itu penting untuk mengembangkan pengarus-utamaan koperasi juga,” lanjut Dandhy.

Dalam isu tata kelola, tantangan yang dihadapi oleh KIB menurutnya adalah perlunya dilakukan pemahaman yang cukup untuk mendorong agar setiap anggota dapat memahami dua peran pentingnya, yaitu sebagai aggota dan sekaligus pekerja.
“Berbeda dengan model industri yang menggunakan model korporasi, garisnya adalah komando penuh. Di dalam koperasi ini perlu dipahami saat apa demokrasi dikembangkan dan saat mana manajemen kerja itu dikerjakan secara profesional. Sebut saja misalnya ketika Rapat Anggota maka proses adalah panglima, namun ketika masuk wilayah manajemen dan produksi maka hasil adalah panglima,” kata Dandhy.

Koperasi konten yang dikembangkan Dandhy Laksono di Indonesia memang belum ada contohnya, dan ini menjadi tantangan tersendiri. Namun Dandhy justru ingin agar apa yang dilakukan juga ke depan dapat menjadi bahan pembelajaran penting bagi pengembangan koperasi dengan banyak ragam kebutuhan dan juga profesi. Bahkan koperasi menjadi arus utama dalam pengembangan untuk jenis profesi lainya seperti misalnya arsitek, pengacara, dokter, dan lain sebagainya.

“Paling penting adalah memulai koperasi dari apa yang diketahui atau pahami,” tegas Dandhy.

KIB dari awal memang dikembangkan sebagai model koperasi yang berbasiskan profesi atau talent, namun bukan tidak mungkin ke depan menurutnya, karena sudah berbadan hukum koperasi multi pihak dapat juga dikembangkan untuk merekognisi konsumen/penonton untuk turut dalam proses produksi sebagai co-producer mengingat produksi konten saat ini juga semakin murah dan efisien.

“Saat ini belum, namun dengan kelembagaan yang demikian itu memungkinkan untuk melakukan manuver pengembangan dengan beragam model”, kata Dandhy.

Ketika ditanyakan kenapa memilih kelembagaan koperasi, Dandhy Laksono secara terus terang memang ingin menantang diri sendiri apakah memang koperasi itu dapat dijadikan sebagai cara untuk berekonomi. Sebab dirinya sebagai orang industri media sudah lama mengembangkannya dengan model usaha konvensional. Di mana dirinya juga telah mengembangkan sejak lama model usaha media konvensional, yaitu Watchdoc. Dia sangat tertarik untuk mengembangkan koperasi ini karena menurutnya era digital saat ini, ketika bisnis konten berkembang sangat inklusif maka koperasi dianggap memiliki relevansi yang kuat.

Menurutnya, bagaimana agar para konten kreator itu tidak berkembang menjadi konten individualis melainkan menjadi konten basis komunitas. Tujuannya untuk memperkuat diri dengan berserikat dalam koperasi karena akan banyak tantangan yang dihadapi oleh para konten kreator di masa depan.

“Pengembangan startup/bisnis platform itu ke depannya juga dapat dikembangkan melalui koperasi agar pengelolaannya menjadi lebih demokratis, menjadi tempat pembelajaran yang penting, dan dari gerak ekonomi dan sosial bukan tidak mungkin juga akan memiliki dampak bagi perubahan lanskap politik di masa datang,” disampaikan Dandhy penuh semangat.

Menyinggung soal perjalanan Ekspedisi Indonesia Baru, ketika ditanya apa yang dilihatnya dari dua dua ekspedisi yang dia lihat pada tahun 2015 dalam Ekspedisi Indonesia Biru dan Tahun 2022/2023 dalam Ekspedisi Indonesia Baru, ada perubahan penting yang signifikan. Pertama secara fisik dalam delapan tahun terakhir seperti jalan tol, pelabuhan dan pelayanan menjadi lebih baik. Namun dari aspek sosial ekonomi masyarakat cukup buruk.

“Sebut misalnya soal dana desa, penggunaan dana desa ini mengandung paradoks, dana diberikan namun modal sosial masyarakat justru semakin melemah. Sebabnya karena dana desa diberikan namun arah pembangunan desa tidak diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat melalui Musrenbang Desa melainkan justru dioposisi oleh proyek-proyek nasional yang punya daya rusak tinggi terhadap lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat di desa. Sebut saja misalnya yang masif terjadi di Kalimantan, NTT dan lain sebagainya,” tegas Dandhy.

Kembali ke soal koperasi, saat ditanya kenapa Dandhy Laksono dalam salah satu narasi rekomendasi dari film “Barang Panas” yang diproduksi KIB mengusulkan koperasi sebagai modus operandi pengelolaan industri geothermal, menurutnya model kepemilikan proyek dengan melibatkan koperasi untuk mewadahi masyarakat jadi memungkinkan untuk dilakukannya kontrol oleh masyarakat. Hal ini juga akhirnya akan mendorong upaya untuk mengembangkan industri itu jadi berkapasitas kecil-kecil, dan menjadi ramah lingkungan.

Jakarta, 23 Maret 2024
Suroto
Penulis Buku “Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme”

Telah diterbitkan di https://karebet-kabeh.blogspot.com/

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar