Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR.
Usai pemilihan presiden (pilpres) 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2024-2029. Penetapan ini dilakukan pada 25 Mei 2024 di Kantor Pusat KPU, Jakarta, meski sebelumnya sempat menghadapi berbagai pro-kontra dan perdebatan sengit dari parpol pendukung pasangan calon nomor urut 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan nomor urut 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD).
Kompetisi politik yang ketat antara tiga pasangan calon utama menciptakan berbagai dinamika dan isu, termasuk tuduhan kecurangan. Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, dan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebagai pasangan calon nomor urut 01, serta Ganjar Pranowo, mantan Gubernur Jawa Tengah, dan Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, sebagai pasangan calon nomor urut 03, menyampaikan keberatan mereka terhadap hasil pilpres 2024.
Namun, setelah melalui berbagai proses hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 15 Juni 2024 menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh kedua pasangan tersebut. MK menyatakan bahwa bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membatalkan hasil pemilu yang telah diumumkan oleh KPU. Penolakan gugatan ini menegaskan kemenangan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Isu Kecurangan Pilpres dan Fokus Baru pada Pilkada
Meski isu kecurangan pilpres sempat mencuat dan menjadi perbincangan hangat, perhatian publik dengan cepat beralih ke agenda Pilkada, khususnya DKI Jakarta yang akan berlangsung menjelang akhir tahun 2024. Pengkristalan isu kecurangan ini dengan cepat mencair seiring dengan dinamika politik yang bergeser.
Pendukung Anies Baswedan, yang sebelumnya fokus pada tuduhan kecurangan yang mereka yakini menyebabkan kekalahan Anies, kini mulai mencair dan beralih fokus ke pemilihan gubernur DKI Jakarta. Anies dikabarkan menjadi kandidat kuat dalam Pilkada DKI Jakarta, dengan dukungan sejumlah partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dalam konstelasi politik Indonesia, nama Kaesang Pangarep kini mulai muncul sebagai calon kuat dalam Pilkada DKI Jakarta 2024. Meski demikian, kemunculan putra Presiden Joko Widodo ini tidak menghadapi kritik yang fokus dan konsisten terkait politik dinasti. Hal ini menandakan adanya penurunan kualitas kritis publik yang sebelumnya begitu keras menolak politik dinasti dan sistem pemilu yang dianggap tidak demokratis dan adil.
Fenomena ini menjadi semakin menarik ketika Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang mungkin berpasangan dengan Kaesang atau Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Jika pasangan ini melenggang mulus, maka ini akan menjadi titik penting dalam perpolitikan DKI Jakarta yang sekaligus penanda suramnya demokrasi dan pelaksanaan pemilu Indonesia di era digital modern terbarukan.
Untuk memahami lebih jauh, kita perlu melihat ke belakang, tepatnya pada peristiwa 212 yang terjadi pada tanggal 2 Desember 2016. Saat itu, ribuan massa dari kelompok Islam melakukan aksi damai besar-besaran menuntut penegakan hukum terhadap Ahok yang dianggap melakukan penistaan agama. Anies Baswedan, yang kemudian memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2017, didukung oleh mayoritas kelompok ini.
Partai politik yang saat itu mendukung Ahok, seperti Nasdem, PDI-P, dan PSI, dianggap sebagai pendukung “penista agama Islam.” Politisasi agama dalam Pilkada 2017 menunjukkan betapa kuatnya pengaruh sentimen keagamaan dalam politik Jakarta.
Dinasti Politik Dalam Isu Pilkada 2024
Isu politik dinasti dalam Pilkada 2024 tidak hanya terkait dengan Kaesang Pangarep dan Bobby Nasution. Kontrol publik perlu lebih luas lagi, mencakup keluarga mantan atau pejabat aktif seperti Menteri, Pejabat Tinggi, Gubernur, Walikota, dan Bupati di seluruh Indonesia. Fenomena ini mengkhawatirkan karena dapat mengancam demokrasi dan membawa sistem politik ke arah yang lebih otoriter dan kapitalis.
Mengapa publik harus peduli? Karena politik dinasti cenderung mengkonsolidasikan kekuasaan pada segelintir keluarga, mengikis peluang bagi kandidat-kandidat berkualitas lainnya, dan merusak prinsip-prinsip demokrasi serta meritokrasi. Dalam konteks ini, kontrol dan kritisisme dari publik menjadi krusial untuk memastikan bahwa politik Indonesia tetap inklusif dan adil.
Kontrol publik yang kuat adalah salah satu pilar utama demokrasi yang sehat. Ketika publik menunjukkan ketidakpedulian atau bahkan ketidakmampuan untuk mengkritik secara konsisten, ini membuka jalan bagi prajtek politik yang tidak sehat. Di sinilah pentingnya peran masyarakat sipil, media, dan lembaga-lembaga pengawas untuk memastikan bahwa setiap kandidat, tanpa kecuali, diperiksa dengan cermat.
Refleksi Terhadap Sistem Pemilu
Fenomena perpindahan fokus dari satu isu ke isu lain menggambarkan betapa dinamisnya dan mudah melupakan suatu peristiwa prinsip perpolitikan di Indonesia. Namun, ada pelajaran penting yang perlu diambil dari setiap proses pemilu. Esensi dari pemilu bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah, tetapi juga tentang bagaimana kualitas sistem pemilu itu sendiri serta demokrasi dijalankan, seperti sejauh mana politik dinasti berjalan.
Sistem pemilu harus memastikan bahwa prosesnya adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Salah satu contoh isu yang perlu diperhatikan adalah penggunaan presidential threshold 20% pada pilpres, yang mengharuskan partai atau koalisi partai memiliki setidaknya 20% kursi di DPR untuk mengajukan calon presiden. Aturan ini kerap dianggap mengkebiri hak demokrasi partai-partai kecil dan menjadi bahan diskusi dalam reformasi sistem pemilu.
Para pengamat, akademisi, dan aktivis diharapkan dapat lebih fokus pada peningkatan kualitas sistem pemilu, terutama yang kini sedang akan berlangsung yakni pelaksanaa Pilkada. Jangan sampai masalah-masalah yang terjadi dalam Pilpres, seperti ketidakmampuan sistem untuk mengedepankan inklusifitas, keadilan dan demokrasi terulang dalam Pilkada 2024.
Kesimpulan
Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024, meski melewati berbagai dinamika dan tantangan, menandai babak baru dalam perpolitikan Indonesia. Kemudian kemunculan nama-nama besar dalam bursa Pilkada DKI Jakarta 2024, seperti Kaesang Pangarep, Bobby Nasution dan kemungkinan duet Anies Baswedan dengan Basuki Tjahaja Purnama, menuntut perhatian serius dari publik. Sejarah menunjukkan bahwa sentimen agama dan dinasti politik memiliki pengaruh besar dalam politik Jakarta.
Namun, yang tak kalah penting adalah terus memperbaiki sistem pemilu agar selalu sesuai dengan kaidah demokrasi, fair play, serta memastikan tak terjadi politik dinasti yang lebih luas. Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa setiap pemilu tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga refleksi dari kualitas demokrasi yang kita junjung tinggi.
Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu 22 Juni 2024