Kolom #3

Oleh : Dr Yusdinur

Akhirnya, Muhammadiyah menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang, mengikuti sikap NU. Pertimbangan utama organisasi ini adalah ingin mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi orang banyak. Bicara tentang keadilan dan kesejahteraan sosial, kita tidak perlu meragukan komitmen dan rekam jejak organisasi besar ini.

Tetapi mengapa harus tambang? Bukankah tambang itu merupakan bisnis sunset yang berkontribusi besar pada perubahan iklim dan pemanasan global? Bukankah Muhammadiyah seharusnya memilih gerakan yang lebih progressif dalam perluasan penggunaan energi baru dan terbarukan, sehingga bisa memperkuat upaya pemerintah Indonesia dalam mencapai target NDC (Nationally Determined Contributions) tahun 2030 dan NZE (Net Zero Emission) tahun 2060?

Tidak mudah memang. Para petinggi Muhammadiyah mengatakan bahwa keputusan ini telah melalui pengkajian dan masukan yang komprehensif dari para ahli pertambangan, ahli hukum, majelis/lembaga di lingkungan PP Muhammadiyah, pengelola/pengusaha tambang, ahli lingkungan hidup, perguruan tinggi dan pihak-pihak terkait lainnya.

Apapun alasannya, jika akhirnya Muhammadiyah menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang batubara, setuju atau tidak setuju, maka moral progresif Muhammadiyah sudah terdegradasi.

Moral progresif merupakan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan yang digunakan untuk terus memperbaiki kondisi yang belum ideal dalam masyarakat menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Moral progresif juga merupakan standar nilai-nilai dan norma-norma yang mengikat akal sehat kita dalam menciptakan kondisi kehidupan bersama yang lebih baik, lebih berkeadilan, dan lebih berkelanjutan.

Tentu saja, kondisi ideal dalam kehidupan sosial tidak mudah dicapai karena struktur sosial kita tidak memungkinkan untuk mencapainya, baik dalam bentuk hambatan kebijakan, norma-norma budaya, dominasi kekuasaan, dan sebagainya.

Meskipun di sisi lain, kondisi struktural juga membuka ruang bagi perubahan dan perbaikan untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik, meskipun tidak ideal. Dengan kata lain, kondisi struktural tersebut bisa menghambat (constraining) dan sekaligus memampukan (enabling) terjadinya perubahan dan perbaikan dalam masyarakat.

Untuk memampukan terjadinya perubahan dan perbaikan menuju kondisi yang lebih ideal tersebut, maka moral progresif aktor-aktor (baik individu maupun organisasi) yang terlibat dalam perubahan dan perbaikan tersebut haruslah sangat kuat dan legitimit.

Di titik inilah Muhammadiyah mengalami dilema. Saat moral progresif Muhammadiyah terdegradasi karena menerima tawaran mengelola tambang, apapan alasannya, maka gerakan Muhammadiyah ke depan akan tidak legitimit dalam mendorong perbaikan kehidupan masyarakat terkait isu lingkungan hidup, energi bersih dan perubahan iklim, di mana isu-isu ini sudah menjadi perhatian masyarakat dunia.

Lalu, bagaimana seharusnya? Jika penerimaan Muhammadiyah merupakan bagian dari kompromi politik, bukan kebutuhan untuk mendapatkan manfaat finansial, maka saat dinamika politik berubah nanti, lebih baik Muhammadiyah kembali ke khittoh, fokus pada amal usaha sosial.

Biarlah tambang itu menjadi domainnya para pebisnis yang sudah profesional di sektor ini.

Danau Kenanga UI, 2 Agustus 2024

Photo : Tribunjabar

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar