Oleh : Agus Wahid
Sangatlah terkenal ucapan Rasulullah ketika akan dicabut nyawanya oleh Malaikat Izrail. “Ummatii, ummatii…”, sebuah ucapan yang menggambarkan rasa sayang Rasulullah kepada umatnya. Beliau sangat gusar bahkan tidak rela melihat umatnya kelak tercebur ke neraka-Nya. Beliau bertahan tidak mau dicabut nyawanya sebelum ada jaminan yang jelas tentang posisi umatnya selamat.
Rasa sayang Rasulullah itu perlu kita refleksikan lebih jauh dalam panggung politik di Tanah Air, bagaimana nasib umat pasca DPP PKS bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM)? Mengapa PKS harus “digugat” terkait nasib umat?
Tak bisa dipungkiri, saat ini PKS satu-satunya partai yang berasaskan Islam, meski berbungkus Pancasila (landasan filosofis bernegara) dan UUD 1945. Karena kejelasan asas itu pula ditambah perjalanan politiknya menunjukkan komitmen keislamannya yang kuat, maka kita saksikan grafik perkembangan dukungan umat terhadap PKS, dari tahun ke tahun.
Tak bisa dipungkiri, keberadaan umat memberikan kontribusi besar bagi jatidiri PKS, dari anasir fungsionaris dan para pendukungnya. Dan itu exist dari level tertinggi (DPP hingga DPRan) di seluruh tanah air. Existing mereka secara kelembagaan membuat gerakan sosialisasi programnya demikian efektif dalam menjangkau umat selaku masyarakat. Termasuk, sosilaisasi kebijakan politik kontestasi pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg) dan satu lagi, pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sebuah pertanyaan mendasar, apakah PKS akan membesar tanpa dukungan umat, katakanlah, sebagai konstituen? No. Existing besarnya PKS di lembaga legislatif ataupun di pemerintahan tak lepas dari dukungan umat.
Karena itu, selaku fungsionaris, PKS harus mampu bermuhasabah terkait kontribusi umat terhadap lembaga partai dan atau positioning kader PKS di parlemen dan atau pemerintahan. Sebuah positioning yang membuat PKS dipandang sejajar di mata partai-partai lain, sehingga sering didekati: menjadi mitra strategis dalam kepentingan pilpres dan atau pilkada. Tidak hanya sebagai pemenuhan syarat pesertaan kontestasi, tapi juga proyeksi misi kemenangan. Tak bisa dipungkiri, kader PKS tergolong militan. Karena itu, PKS senantiasa dipandang penting dalam hal kontestasi itu.
Sekali lagi, positioning PKS tak lepas dari kontribusi umat, khususnya para konstituen. Kini, dalam kaitan pilkada, di antaranya Provinsi Jakarta, PKS – dengan telanjang – mengabaikan suara gemuruh umat. Meski awalnya, sudah menyatakan dukungannya terhadap Anies dan berpasangan dengan Shohibul Iman (AMAN), namun keputusan yang direkomendasikan Majlis Syura akhirnya diabaikan, diganti dengan mengusung Suswono.
Yang sangat disayangkan, bukan mempersoalkan Suswono sebagai calon wakil gubernur Jakarta itu, tapi bergabungnya dengan KIM, sekaligus meninggalkan Anies. Inilah yang membuat umat sangat kecewa. Karena itu, kecewaannya akan diekspresikan dengan cara meninggalkan entitas PKS. Dalam pilkada di manapun, umat sudah berteriak: siapapun calon kepala daerah yang diusung PKS tak akan dipilih. Akan terjadi snow bowling effect dari bergabungnya PKS di Jakarta bersama KIM.
Makanya, ada dua hal yang layak kita cermati. Pertama, PKS akan kehilangan suara (dukungan) massif yang berpotensi besar gagalnya sejumlah kader PKS dalam kontestasi pilkada. Tidak tertutup kemungkinan, untuk jangka panjangnya saat pileg 2029, perolehan suara PKS akan mengalami drop secara sifgnifikan. Hal ini akibat dari keangkuhannya yang hingga kini masih busung dada.
Yang lebih menyedihkan – sebagai hal kedua – umat sudah tak percaya lagi pada PKS, sehingga mereka tak akan mau menyampaikan aspirasinya ke PKS, di level pusat ataupun daerah. Boleh jadi, para anggota Dewan masih tetap siap melayani aspirasi umat. Tapi, umat sudah tak mempercayai lagi (distrust).
Harus kita garis-bawahi, sikap umat seperti itu sungguh merupakan kerugian besar bagi PKS. Tak bisa dipungkiri, PKS kehilangan “ruhnya” atau sandaran politiknya akibat umat meninggalkannya.
Yang lebih memprihatinkan, akibat distrust umat itu, maka risikonya umat sendiri menjadi bancakan politik bagi banyak partai oportunis dan obral janji. Karena sudah distrust terhadap PKS, maka petualangan partai politik lain berpotensi akan direspon positif. Dirinya menilai sama saja antara partai Islam versus partai sekuler, bahkan partai atheis.
Implikasi tersebut menggambarkan positioning politik umat benar-benar ga ada harganya. Umat hanyalah komoditas politik bagi kaum politisi petualang. Hal ini menggambarkan, hak-hak politik umat sesungghnya terinjak-injak. Tak punya harga diri. Semua implikasi ini tentu haruslah menjadi pertanggungjawaban para elitis PKS saat ini, saat di dunia ini, juga kelak di akhirat. Kepemimpinan terhadap umat pasti diminta pertanggungjawabannya di hadapan Sang Khaliq yang Maha Adil.
Sebuah renungan, apakah keliru sikap umat konstituen itu? Umat bukanlah satu atau dua gelintir orang. Mereka tak punya kepentingan pragmatis yang bersifat duniawi. Mereka hanya menuntut satu hal: terjaga kepentingan marwah keislamannya, dalam aspek dunia-ukhrawi. Karena itu, perbedaan mendasar kepentingan menjadi parameter untuk menilai on and off the tracknya.
Dengan memandang parameter kepentingan itu, kiranya sejumlah elitis DPP PKS sebagai sang “imam” telah melakukan kekeliruan. Para “ma`mum” merasa perlu dan sudah mengingatkan kekeliruannya ketika shalat berjamaah (mengambil keputusan politik). Karena mengabaikan peringatan, maka batallah shalat (komando) sang imam. Karena itu, kita bisa memahami ketika para ma`mum melakukan mufarraqah (memisahkan diri) dari barisannya bersama PKS. Dan hal ini sudah kita saksikan dengan sikap 28 para anggota Dewan Pakar DPP PKS yang mengundurkan diri dari barisan DPP PKS. Pengunduran dirinya merupakan protes yang berlandaskan nurani keislaman. Tentu karena sang imam telah melakukan kekeliruan dan mengabaikan peringatan diri.
Perlu kita catat, panorama mufarraqah para ma`mum (basis massa) jangan dipandang sebelah mata. Hal ini menyangkut masa depan lembaga PKS sebagai partai, juga nasib umat yang tak punya lagi saluran yang dipercaya.
Sebuah pertanyaan akhir, apakah PKS akan tetap mengabaikan suara umat yang bergemuruh itu? Jika tetap bergabung dengan KIM dan menyingkirkan Anies, berarti sang “imam” memang telah batal. Wajib dikoreksi secara serius. Perlu mempercepat reorganisasi kepemimpinan. Demi keselamatan masa depan umat. Namun, masih ada waktu untuk “balik badan”. Kembali usung AMAN. Agar selamat dunia-akherat. Sangat disayangkan, ada peluang waktu untuk PKS balik badan dari KIM, tapi tak dilakukan. Sama artinya, lebih tega mengabaikan umat.
Itulah yang digusarkan Rasulullah saat jelang dipanggil oleh sang Pemiliknya. Sikap gusar yang membuatnya terus berucap, “umatii, ummatii….”, sebuah kegusaran-Nya terhadap nasib umat yang tak mau celaka. Hanya untuk masa dapan akherat? Islam tak mengenal perbedaan dunia dan akherat. Keduanya (dunia dan akherat) haruslah selamat.
Maka, domain politik juga selamat dan diselamatkan.
Jakarta, 06 September 2024
Penulis: Analis politik.