Oleh : Eko S Dananjaya
Jika saya hitung, hampir tujuh puluh lebih kawan aktivis antar angkatan di Indonesia yang sudah berpulang kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Entahlah, kenapa para pejuang ini satu persatu cepat meninggalkan kita. Padahal pikiran dan gagasannya masih dibutuhkan oleh bangsa dan negara. Aktifitas kawan- kawan ditunggu oleh situasi untuk meluruskan carut marutnya ketidakberdayaan kekuasaan yang tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Dus era rejim sekarang tidak selaras dengan cita- cita perjuangan reformasi yang pernah mereka perjuangkan. Sementara, beberapa aktivis saat ini ada yang di dera penyakit berat. Sakit ginjal, sakit gula darah, jantung, kuning/ lever dll. Bisa jadi itu semua karena akibat bekerja dan berpikir berat. Maklum saja, aktivis selalu berpikir ekstra. Dunia aktivis tidak seperti dunia masyarakat biasa yang hidupnya linier dan tidak banyak penuh resiko. Jika negeri sedang sakit tanpa diundang disitulah keterpanggilan mereka untuk terjun kembali ikut merasakan dan pembenahan. Aktivis selalu hadir manakala negara sedang tidak baik- baik saja dan sering terpanggil dan dibutuhkan oleh keadaan.
Eri Sutrisna adalah salah satu aktivis dan pejuang yang tidak pernah lekang dari ranah perubahan. Ia berangkat dari kota Salatiga ke Jakarta untuk ikut andil dalam perubahan reformasi. Aktivis senior Universitas Satyawacana yang telah malang melintang di dunia pergerakan mahasiswa. Ia satu di antara aktivis kampus Satyawacana Salatiga yang dalam perjuangan dan profesionalismenya memperjuangkan hak-hak sipil yang tidak mendapat tempat layak oleh negara. Eri juga sebagai pejuang demokrasi dan HAM. Kiprahnya dalam penegakan demokrasi dapat kita lihat dari rekam jejaknya sebagai mantan wartawan dan pejuang HAM dimana ia berada.
Eri sebagai aktivis kampus sekaligus aktivis Yayasan Geni, yang memiliki dedikasi tinggi terhadap masalah sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Eri yang saya kenal tigapuluh tahun lalu adalah sosok yang hamble dan friendly.
Banyak kenangan yang dapat saya rekam dalam ingatan perjuangan dengannya. Era 1989 saat tiga tokoh aktivis Yogyakarta ditangkap aparat dan diadili di vonis oleh pengadilan negeri Yogyakarta. Eri bersama teman- teman Salatiga ikut hadir dan turut aksi di Yogyakarta. Dalam aksi tersebut, Eri ditangkap aparat bersama beberapa aktivis baik dari Yogyakarta maupun luar daerah. Peristiwa tersebut dikenal sebagai insiden Kusumanegara, Yogya berdarah.
Atas vonis tiga pejuang demokrasi, Bonar Tigor Naepospos, Bambang Isti Nugroho dan Bambang Subono. Mereka bertiga telah menjadi ikon perlawanan mahasiswa Indonesia pada rejim Orde Baru. Pergerakan mahasiswa antar kampus dan di berbagai propinsi telah bertekad bulat melawan kediktaktoran penguasa.
Selain sebagai aktivis pergerakan, Eri juga aktif di dunia lingkungan hidup. Sejak ia aktif di Yayasan Geni Salatiga. Suatu ketika Eri bersama Poltak Ike Wibowo, Zul Terry Apsupi , Jayadi Damanik dan saya melakukan pengorganisasian masyarakat di kepulauan Karimunjawa Jepara Jawa Tengah. Masyarakat desa Kemujan Karimunjawa tanahnya akan di gunakan sebagai tempat wisata bahari dengan di bangunnya landasan pesawat udara mikro. Berhari- hari Eri dan teman- teman hidup dan tinggal di rumah masyarakat dengan keterbatasan transportasi.
Waktu itu, di pulau Karimunjawa tidak ada penyewaan kendaraan motor. Sehingga satu hari penuh kami harus jalan kaki dari pangkal pulau ke ujung pulau. Dengan tekad yang keras kami berangkat dari kecamatan Karimunjawa menuju desa paling ujung yakni desa kemujan. Berangkat pagi dengan jalan kaki, tiba petang hari. Itulah kenangan yang mengharu biru.
Selain itu, ketika Eri menjadi wartawan harian Wawasan dan ditempatkan sebagai kepala biro di Magelang, saya sempat menginap menyambangi ke tempatnya.
Menurut kakak Eri yang bernama Noto. Eri adalah anak ragil dari tujuh bersaudara. Dengan kepergian Eri maka tinggal dua yang masih hidup. Sejak sakit beberapa tahun ini, mas Noto panggilan yang sering di ucap Eri adalah kakak yang paling dekat hubungan batin sejak kecil. Eri lahir dan besar di desa Somongari Kaligesing Purworejo. Di hari jelang akhir, Eri sering dikunjungi kakaknya mas Noto untuk diterapi dan ditemani. ” Aku senang mas, kamu sering ke rumahku”, ujar Eri kepada kakaknya. Pesan terakhir Eri, dia ingin bisa berkumpul dengan saudara atau keluarga besar dari trah Somangadi, Temon dan Wonoroto. Eri ingin sekali dapat menyusun, menelusuri dan membuat asal usul keluarganya yang selama ini dia tidak pernah pikirkan. Jelang beberapa ajal, mas Noto sempat memberikan informasi kepada Eri, bahwa keluarga besarnya berasal dari Yogyakarta. Kakek buyutnya yang bernama Ahmad Jakiah berasal dari Yogyakarta dan hijrah ke desa Temon Wates, kemudian mempunyai keturun bernama Artowinangun. Dari desa Temon pindah ke Purworejo dan menetap di desa Somongari Kaligesing.
Beberapa bulan lalu ketika Eri memeriksakan diri di rumah sakit di Semarang. Dia sempat menghubungi saya. Dia ingin bertemu kawan- kawan di Yogya. Bahkan dirinya ingin datang ke rumah Brotoseno, minta saya temani. Beberapa kali kami janjian tapi saya gagal bersilatarahmi ke rumahnya. Semua sudah menjadi jalan dan kehendak yang maha kuasa. Bahwa manusia bisa berharap untuk menentukan waktu, tapi Tuhan adalah pemilik waktu dan tak bisa kita pungkiri. Demikian halnya kepergian Martinus Eri Sutrisno.
Selamat jalan, Tuhan bersamamu dan damai di Syurga.