Oleh : Agus Wahid

Geram. Bahkan, mencaci-maki dengan sumpah serapahnya. Sangat kotor diksi yang digunakan. Nama-nama binatang pun keluar dari mulutnya. Itulah reaksi anak bangsa Indonesia atas kecurangan sang wasit sepak bola saat berlangsung kesebalasan RI versus Bahrain dengan skor 1 : 2. Untuk kemenangan Bahrain. Bisa dipahami dan dimaklum reaksi anak bangsa Indonesia ini.

Kita perlu mencatat, mengapa harus bereaksi negatif dan sangat murka? Jawabnya jelas: tergores rasa keadilannya. Prinsip kebenaran dirobek-robek di hadapan publik. Tidak hanya mereka yang ada di wilayah lapangan hijau, tapi demikian meluas, tanpa batas. Teknologi yang borderless membuat panorama kecurangan itu langsung mendunia. Indonesia seperti dipecundangi dan dipermalukan di mata inetrnasional. Pokoknya, kesebelasan Indonesia kalah, apapun judulnya.

Kini, kita perlu merefleksi dengan pertanyaan “genit dan nakal”. Bagaimana kecurangan wasit itu terjadi dalam panggung politik? Di negeri ini, jauh sebelum 14 Februari dan setelahnya terjadi gerakan terstruktur, sistematis dan massif (TSM) dalam mengarungi hajatan politik pemilihan presiden (pilpres) 2024 lalu. Sang “wasit”, yang terdiri dari KPU, PANWASLU, aparatur keamanan (TNI-POLRI) yang harusnya netral, jutru membiarkan praktik kecurangan yang demikian ceto welo-welo. Mahkamah Konstitusi (MK) pun larut dalam praktik culas itu: menguatkan perilaku curang. Maka, terjadilah hasil akhir yang sejatinya curang.

Kita saksikan, gelombang aksi yang memprotes kecurangan demikian membahana. Tapi, dianggap “anjing menggonggong. Kafilah tetap berlalu”. Kafilah ini sama sekali tak merasa risi apalagi malu atas proses dan perilaku politik para wasit (penyelenggara pilpres). Itulah amoralitas para wasit politik di Tanah Air ini. Sang kontestan yang diuntungkan pun justru pesta pora dengan “semprit” peluit yang memenangkan praktik curang itu.

Siapapun elemen yang memprotes perilaku curang dinilai sebaliknya: tak dewasa menerima realitas. Selalu dinilai secara paradoks dari proporsi kebenaran obyektif. Dinilai tak siap kalah, padahal proporsinya kontestasi, yang pasti berlaku posisi menang-kalah. Yang menyedihkan, kaum penilai dan pemihak kecurangan terkategori terdidik. Seolah, mereka tak tahu mana perilaku buruk dan mana yang baik. Benar-benar buta. Bahkan, dengan perangkat ilmu yang dikuasainya untuk memfalidasi keburukan, kejahatan atau hal-hal yang jauh dari nilai ideal itu. Sudah menjadi insan dungu.

Merujuk pada gelombang protes atas kecurangan wasit dalam pertandingan sepak bola Indonesia versus Bahrain, maka substansinya adalah adanya keadilan dan prinsip fairness yang terkoyak. Wajib ditegakkan. Lalu, mengapa gelombang reaksi negatif rakyat Indonesia saat menunjukkan ketidakrelaannya atas ketidakadilan sang wasit culas itu?

Ada inkonsistensi logika. Patut diduga, terdapat saraf yang putus dalam komponen anak bangsa Indonesia dalam merusan politik praktis. Dan itu tidak sedikit jumlahnya. Menerpa kalangan grass-root yang terkategori di bawah stadar otak sehat. Juga, kalangan yang notabene berpendidikan. Realitas ini tak bisa dipungkiri, sebagian anak bangsa ini gendheng. Terbukti, tak mampu membedakan hasil kontestasi yang berkejujuran versus kecurangan.

Yang perlu kita renungkan lebih jauh, ketika ketidakjujuran para wasit di wilayah persepakbolaan jelaslah tak berdampak tragis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanyalah seputar masalah kepuasan semata. Kebutuhan tersier. Tapi, beda halnya dengan ketidakjujuran dalam panggung politik, apalagi kontestasi kepresidenan. Dampak kontigionnya sungguh serius. Menerpa wilayah ekonomi, budaya, bahkan nasib bangsa dan negara ke depan.

Itulah yang tak disadari kaum “gendheng” di negeri ini. Sementara, para protester dinilai sebagai pihak yang harus menerima ketidakjujuran. Lalu, apakah anak bangsa ini harus dibangun dengan moralitas picik-culas? Apakah kepicikan anak bangsa negeri ini akan menjadi karakter dominan anak bangsa? Itukah kepribadian anak bangsa Indonesia? Wow.

Sungguh miris. Indonesia yang notabene dibangun dengan warisan nilai-nilai luhur harus dijungkirbalikkan oleh karakter yang menghalalkan segala cara. Hanya karena ambisi kekuasaan, spiritualitas rumusan Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai konstruktif dihempaskan secara sistematis dan penuh persekongkolan rapi. Tak bisa dibayangkan, masa depan bangsa negeri ini akan diwarnai balutan karakter culas, picik.

Akhirnya, karakter ini menjadi kebenaran mutlak dan harus diikuti dalam dunia politik praktis. Akibatnya, politik yang sejatinya mulia untuk kepentingan publik harus terstigma kotor dan jahat. Itulah realitas strigma yang kini telah merasuk dalam persepsi publik.

Tentu, tak selayaknya karakter buruk politik itu dilanggengkan. Harus ada panggilan moral untuk membenahi. Namun, tak bisa dipungkiri, tak mudah untuk membangun format budaya yang mendasarkan nilai-nilai ideal seperti kejujuran, keadilan, kebenaran yang diserukan Pemilik Jagad Raya ini, Allah. Inilah tantangan kaum mujahidin yang tetap harus terpanggil menghadapi kemungkaran dalam wajah politik busuk itu.

Sekali lagi, bukanlah ringan menghadapi perilaku politik amoral itu. Lawannya bukan hanya anasir manusia, tapi para pemback upnya: iblis dan keturunannya (syayaathiin). Pemback up ini sudah berikrar di hadapan Allah: akan terus menggoda dan menyesatkan umat manusia. Agar menjadi teman abadi di neraka-Nya.

Kini, muncul renungan, sadarkah perilaku politik busuk, termasuk keculasan dalam berpolitik sesungguhnya ada dalam gerbong syaathiin?
Hanya sebagian yang menyadari. Karena itu, perilaku politik yang kita saksikan senantiasa mengedepankan pragatisme, bukan idealisme. Sikap politik ini juga kita saksikan dalam perhelatan pilkada saat ini. Sikap pragmatis yang kini membalut kalangan elitis partai menjadi panorama lumrah, bukan sesuatu yang menjijikkan. Karenanya, partai seperti PKS pun tak alergi lagi ketika menanggalkan prinsip moralitasnya. Demi menggapai kekuasaan.

Sekali lagi, haruskah dibiarkan perilaku politik yang hubbud dunya itu? No. Kalangan mujahidin yang masih beriman dan sadar akan nilai-nilai ilahiyah dan nubuwwah haruslah tetap terpanggil untuk mewujudkan apa yang diserukan dan dilarang Allah dan Rasulnya itu. Bermisi jelas: menyelamatkan kepentingan umat manusia dari jeratan maut iblis-syayaathin. Inilah misi kekhalifahan umat manusia. Harus menjadi keterpanggilan bagi setiap insan manapun. Ia atau mereka harus tergerak menjalankan misi kepemimpinan di muka bumi. Sebagai “wakil” sang Maha Pencipta.

Akhirul kalam, keadilan tetaplah harus diperjuangkan di berbagai sektor, termasuk di panggung politik. Memang berat, apalagi ketidakadilan telah mewabah ke berbagai sendi kehidupan umat manusia. Persoalan keadilan sangat asasi. Menyangkut hajat umat manusia yang paling mendasar. Sementara, keberhasilan mewujudkan tatanan yang berkeadilan akan memberikan rahmat bagi makhluk sekalian alam semesta yang pasti akan terpelihara ekosistemnya. Sungguh merupakan capaian yang sangat disukai Allah. Dan Allah sangat tidak menyukai para pihak yang merusak, untuk sektor apapun, termasuk nilai-nilai amoralitas, dalam rona ketidakadilan, keculasan dan sejenisnya.

Bandung, 11 Oktober 2024
Penulis: analis politik
Kans Jawara

1 COMMENT

  1. Tulisan yg seharusnya membangkitkan lagi untk berjuang. Tapi maaf yg diperjuangkanpun (tdk) berani melangkah didepan. Cukup diberi dukungan yg rame dn meriah. Disatu sisi kalimat PERJUANG/ bersungguh² (JIHAD dlm BHS Arab) sdh ditinggalkan oleh partai yg konon kabarnya berjihad dlm bentuk lain.

Tinggalkan Komentar