Pengantar :
Di bawah ini adalah catatan Pipit Apriani, seorang aktivis di Jakarta yang kemarin (8/01/2025) ikut dalam aksi menentang proyek PSN PIK2 di Tangerang.
Hari ini saya dan sejumlah kawan hadir untuk aksi menolak kelanjutan pembangunan PIK 2 di kec. Pakuhaji, kab. Tangerang.
Dua mobil sudah kami berangkatkan sejak jam 7.30. Satu mobil terakhir baru datang jam 08.40, padahal seharusnya kami tiba di TKP jam 09.00 dengan alasan super macet. Jakarta pagi hari pasti macet, kok lewatnya memutar menjauh sih?. Sudah begitu, satu peserta aksi dengan pede minta dijemput di Islamic Tangerang “karena lebih dekat daripada lewat bandara Soeta”. Lah, kan sejak awal sudah dibilang titik kumpul di TIM (Taman Ismail Marzuki).
Tapi yah sudahlah. Mobil datang, si driver misuh-misuh minta maaf, kami pun berangkat jemput satu teman. Ndilalah, si teman ini memberikan petunjuk seolah-olah kami ini orang Tangerang, alhasil mesti muter-muter dulu dan akhirnya ketemu. Mau marah karena teman yang sudah tiba di Kohod menelepon terus menerus menanyakan kedatangan kami. Tapi saya dan teman-teman berpikir, pasti ada hikmah di balik keterlambatan dan drama di kloter terakhir ini.
Perjalanan dari Islamic yang katanya “lebih dekat” ternyata memakan waktu lebih lama, 1 jam 17menit berdasarkan perkiraan waktu Google Map. Kami menyusuri jalan-jalan di kota Tangerang yang kecil tapi padat dan tak lama kami memasuki wilayah kabupaten Tangerang. Suasananya langsung berbeda. Kalau di kota, jalanan kanan kiri dipenuhi toko dan kios lalu di belakangnya terdapat perumahan kompleks dan cluster yang padat, begitu memasuki wilayah kabupaten Tangerang, toko dan kios diselingi tanah lapang dan sawah. Rumah makin jarang dan jauh dari jalan raya. Memasuki kecamatan Pakuhaji yang terasa adalah suasana pedesaan.
Jalan beton cukup untuk dua mobil tapi mepet, di sebelah kanan kami ada sungai yang berfungsi sebagai irigasi persawahan sekaligus tempat warga mencuci baju. Saya jadi teringat dengan daerah Petojo Jakarta Pusat, tempat saya tinggal di tahun 80an. Dan di tahun 2025, tidak jauh dari Jakarta ternyata masih banyak orang yang mencuci baju dan piring di pinggir kali. Sawah masih luas membentang, tapi apakah sawah tersebut masih milik orang lokal? Saya tidak yakin.
Ada beberapa pesan masuk dari teman yang sudah tiba terlebih dahulu bahwa titik kumpul tidak lagi di desa Kohod tapi di Makam Kramat Panjang. Pergeseran terjadi karena ada beberapa mobil peserta ditahan oleh ‘oknum’ orang lokal, jadi kami seolah mau ziarah ke Makam Kramat Panjang, bukan untuk aksi.
Dua menit sebelum mencapai TKP, kami melihat mobil komando berjalan menuju kami. Kami berada di track yg benar! Jadi kami berhenti dan langsung bergabung dengan massa peserta aksi.
Cukup banyak, meski awalnya, jumlah peserta sepertinya tidak mencapai 500 orang seperti yang ditargetkan. Mengharukan, karena 500 lebih orang yang datang bukanlah warga lokal, tapi dari berbagai daerah di Jakarta, Jawa Barat hingga Jogja. Satu persatu peserta naik mobil dan motor terus berdatangan.
Kami tentu saja memahami kenapa warga lokal tidak berpartisipasi kecuali sejumlah ulama dan jawara Banten lokal, karena tekanan yang luar biasa kepada warga lokal yang dilakukan oleh saudara-saudara mereka sendiri. Sounds weird? Ya, mereka menindas dan mengancam warga untuk menyerahkan tanahnya seharga 50 ribu per meter dan diuruk tanpa ampun, tanpa perlawanan. Bahkan menghadang mobil-mobil peserta yang akan datang dan protes atas kecurangan penjualan tanah kelahiran mereka.
Sejumlah orator menyatakan opini dan mem-provoke warga, memberikan awareness bahwa tanah mereka dirampas. Seorang ulama Banten menyebutkan bahwa mati dalam mempertahankan hak milik adalah mati syahid.
Jam 13.00, orator masih silih berganti dan kami siap kembali ke Jakarta menempuh jalur yang berbeda dari jalur kedatangan.
Kami melihat jawara Banten bermuka bersih karena air wudhu berdiri berjaga-jaga di sekitaran tempat orasi. Mulai 20 meter dari situ kelompok-kelompok bermuka kusam berkumpul. Kami berhitung, ada lebih dari 6 titik kumpul orang-orang ini. Satu titik diisi minimal 10-15 orang. Wajah-wajah kumal pasrah tapi siaga yang siap memukul peserta aksi jika ada perintah. Ck ck ck. Para centeng penjual tanah kelahiran demi lembaran uang yang tak seberapa. Ini mungkin hikmah keterlambatan kami. Mungkin kamilah yang akan dihadang oleh preman-preman ini.
Saya salut dengan sejumlah tokoh nasional yang datang, sayangnya, tidak semua membawa massa sesuai kebesaran nama mereka. Kalau mereka membawa massa 10-20 orang saja, arena akan makin ramai, para pemimpin preman-preman dan komprador lokal ini bisa jadi akan ciut nyalinya. Warga kecamatan Pakuhaji dan kecamatan-kecamatan lain yang terdampak akan tergetar hatinya, akan terpanggil untuk membela tanah kelahirannya.
Pak Said Didu tidak datang. Lebih baik begitu. Karena beliau sedang ditargetkan.
Di sepanjang jalan, kami menemukan beberapa spanduk yang “menolak kehadiran Said Didu dan kawan-kawannya.” Ternyata kawan-kawannya Said Didu 500 orang lebih hadir dan yang tak hadir lebih banyak lagi.
Apa pesan mendalam dari aksi menentang pembangunan PIK 2 hari Rabu, 8 Januari 2024 ini?
Pertama, Aksi ini harus terus diviralkan, diceritakan dan disebarkan terus menerus agar rakyat Indonesia sadar bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja.
Kedua, Salah satu indikasinya adalah perampasan tanah secara sewenang-wenang meski ada pembelian tetapi akad jual belinya tidak sah, karena ada unsur pemaksaan dan harga jual yang tidak disepakati.
Ketiga, Kasus perampasan tanah semacam ini tidak hanya terjadi di PIK 2 saja, tapi juga di Rempang Batam, Lido Bogor, dan wilayah-wilayah lain di Indonesia yang mungkin tidak terdengar oleh masyarakat umum.
Keempat, Yang terjadi saat ini adalah perampasan hak milik anak cucu kita. Kita patut bertanya, legacy atau warisan apa yang akan kita berikan kepada anak cucu kita, jika hari ini tanah dan air kita serahkan pada orang lain.
Kelima, yang menyedihkan, sudah tidak punya legacy untuk anak cucu kita, anak cucu hanya jadi penonton dan pelayan pemilik bangunan-bangunan indah dan modern tersebut.
What a future! Maukah kita menjadi demikian? Harapan tentu saja harus selalu ada. Satu point dari pak Sufmi Dasco dalam acara Diskusi: Harapan dan Tantangan pemerintahan Prabowo di tahun 2025 kemarin di Hotel Sahid, Jakarta, mudah-mudahan bisa menjadi satu cahaya untuk masalah ini, “Pemerintahan Prabowo akan mengevaluasi PSN (Proyek Strategis Nasional)”. PIK 2 masuk ke dalam PSN, padahal sisi strategis nasionalnya mesti dikaji ulang.
Semoga bukan cuma omon-omon.