Oleh : Agus Wahid
Resiko sang ideolog. Siapapun individu ataupun lembaga pers – ketika menyuarakan kebenaran – pasti menghadapi resiko. Maklum, tidak semua pihak sehat nuraninya. Maka, ketika TEMPO menyuarakan prinsip-prinsip kebenaran, ia harus berhadapan dengan pihak yang merasa “ditelanjangi” boroknya. Merasa kepentingan strategisnya diganggu. Itulah yang kita saksikan pada pengiriman bangkai potongan kepala babi dan enam ekor bangkai tikus.
Dengan mudah kita dapat membaca sinyal di balik pengiriman bangkai binatang – yang dalam perspektif Islam – tergolong haram dimakan atau dikonsumsi. Yaitu, sinyal yang tak ubahnya ancaman. Dua kali pengiriman bangkai itu menunjukkan kualitas ancamannya serius. Tak bisa dipandang main-main.
Anehnya, Kepala Devisi Komunikasi Publik Kantor Kepresidenan RI menanggapi santai bahkan terkesan gurau. “Ya, dimasak saja”, ucap Hasan Nasbi.
Ada beberapa makna yang dapat kita lansir labih jauh di balik respon Hasan Nasbi. Pertama, pandangan keagamaan. Respon Nasbi menunjukkan pelecehan serius terhadap ajaran keagamaan (Islam, juga Nasrani dan Yahudi). Maka – dalam perspetif hukum – respon Nasbi terkena delik aduan sebagai sang penista agama. Dalam hal ini masyarakat Muslim, Nasrani dan Yahudi di manapun di Tanah Air ini layak menuntut pertanggungajawaban hukum kepada seorang Nasbi yang terlihat santai tapi sejatinya tendesnsius: menista agama samawi.
Menjadi sangat relevan untuk dituntut secara hukum karena – dalam podcast Karni Ilyas Channel, Nasbi yang bersanding dengan Effensi Gazali dan Adi Prayitno – tegas-tegas menyatakan “tak mau minta maaf”. Sikap ini bukan hanya arogan, tapi mengkorfirmasi ucapan yang dilakukan dengan sadar, bukan slip of the tongue. Raut mukanya pun tampak seperti “menantang”. Sikap ini juga diperkuat dengan pernyataannya, “untuk apa minta maaf? Apa relevansinya? Ga ada. Karena itu tak perlu minta maaf”.
Arogansi Nasbi mengundang tanya lebih dalam perspektif politk. Yaitu, sebagai hal kedua, apakah sikap Nasbi sesungguhnya cermin dari kemauan sang rezim saat ini dan kaum oligarki, yakni setuju untuk menghajar TEMPO? Kecurigaan ini tak lepas dari ulasan dan investigasi TEMPO yang – tak bisa disangkal – cukup membuka mata masyarakat luas tentang keboborakan rezim yang diwariskan Jokowi. Bukan sekali dua kali TEMPO menguak kejahatan dan kekejian rezim Jokowi. Juga, kejahatan terencana kaum ologarki di Tanah Air ini.
Dan hal ini – secara tak langsung – mendorong Pemerintahan Prabowo harus bersikap tegas terhadap sejumlah aktor politik dinasti, yang dipimpin sang maestro politik Jokowi dan para anteknya, dari elemen buzzer ataupun oligarki. Sementara, kita saksikan, Prabowo masih menimang-nimang bagaimana tindakan yang seharusnya terhadap Jokowo dan keluarganya, serta para anteknya, termasuk kaum oligarki itu.
Respon Nasbi yang – dengan entengnya “ya dimasak saja” – secara reflektif menunjukkan sikap dirinya yang sama dengan pemegang keuasaan saat ini, sebagai Pemerintah ataupun oligarki (the real ruler of economics). Penyamaan diri itu membuat Nasbi merasa punya kesempatan untuk mengahajar TEMPO karena dirinya memang tercatat sabagai buzzer Jokowi sejak 2012, saat “badut” Solo itu berangkat ke Jakarta untuk mengikuti kontestasi pilkada Jakarta saat itu. Juga terus menempel hingga putara Oei Yo Koh (sang gembong PKI) itu berakhir kekuasaannya sebagai Presiden RI ke tujuh.
Memang, masih perlu analisis tersendiri tentang relasi pernyataan Nasbi dengan sikap politik Perabowo yang sesungguhnya. Namun demikian, kita perlu kita analisis variabel lain. Sejauh ini Probowo berusaha mendekatati berbagai komponen rakyat, yang tentu banyak menyentuh masyarakat muslim sebagai jumlah mayoritas di negeri ini. Dengan ikhtiar pendekatan ini, maka – sebagai hal ketiga – respon Nasbi sesungguhnya merusak komunikasi politik yang dibangun Prabowo selama ini. Jika diniarkan gaya komunikasi politik kontraproduktif itu, sama artinya membuyarkan masa depan politik Prabowo.
Untuk itu – sebagai makna keempat – Prabowo harus mengambil sikap tegas: pecat Hasan Nasbi, apalagi dirinya antek Jokowi yang sudah lama dibina. Ini kesempatan Prabowo – perlahan tapi pasti – untuk membersihkan anasir “raja Jawa” itu dalam panggung pemerintahannya. Tak bisa dipungkiri, dalam internal pemerintahan Prabowo – secara struktural – masih banyak yang bercokol “elemen” Jokowi dan cukup mengganggu arah dan komitmen pembangunan pemerintahan Prabowo. Karena itu, setiap ada kekeliruan apalagi kesalahan fatal, itulah saat tepat untuk menggergaji elemen Jokowi itu.
Namun – sebagai hal kelima – andai Prabowo membiarkan orang seperti Nasbi atau antek-antek Jokowi lainnya, maka pembiaran itu mengkonfirmasi pemerintahan Prabowo memang sejatinya merupakan periode ketiga rezim Jokowi. Tak bisa diharap lebih konkret untuk kepentingan perbaikan negara dan rakyat.
Persoalannya tidak berhenti pada penilaian itu. Kita perlu mencatat – sebagai makna keenam – keberlanjunan model rezim Jokowi yang tercermin pada Pemerintahan Prabowo ini sungguh mengancam kedaulatan negara dan Prabowo sendiri sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Seperti kita ketahui dan Prabowo pun melihat, geliat TEMPO diback up George Soros (fun manager Amerika Serikat). Tindakan Soros tak lepas dari ketidaksenangan negeri Paman Sam atas kemesraan Indonesia bersama China, dari berbagai agenda ekonomi dan invetasi di Tanah Air. China terus berusaha menguasai seluruh sektot bisnis dari hulu hingga hilir. Seperti tak memberi peluang bagi pelaku ekonomi bangsa lain.
Kali ini, instrumen yang dimainkan baru membangun opini publik. Dari sisi idealisme, TEMPO kali ini menjalankan peran salah satu pilar demokrasi yang ideal: on the track, berpihak pada kebenaran dan pro rakyat, tidak seperti pada periode-periode lalu yang sangat islamophobis.
Then? Kita saksikan, gerakan Soros beberapa pekan lalu membuat Indeks Harga Saham “ginjang-ganjing”, yang memaksa Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Gerindra, Sufni Dasco harus mendatangi kantor Bursa Saham itu. Langkah Wakil Ketua Umum Gerindra itu menunjukkan kesadarannya tentang kondisi bursa sedang digoyang dan cukup mengancam jika dibiarkan.
Sebuah renungan, andai Soros melakukan gerakan tsunami moneter seperti yang pernah dilakukan pada 1998, apakah Pemerintahan Prabowo bisa selamat dari manuver itu? No and no. Sangat boleh jadi, Soros cq. AS sedang memikirkan, jika gejolak moneter dimainkan seperti 1998, maka yang mendapatkan “durian runtuh” si Samsul. Hal ini tentu tak dikehendaki.
Karena itu, irama yang dimainkan adalah mempersulit gerakan pemulihan ekonomi dan atau lainnya di tengah Pemerintahan Prabowo kali ini, sambil menghitung bagaimana agar si Samsul tidak mendapatkan durian runtuh.
Kiranya, strategi politik yang elegan bagi Pemerintahan Prabowo haruslah kembali pada sikap tegas: mana loyalis Jokowi yang melakukan kesalahan bahkan sengaja merusak tatanan pemerintahan, itulah timing yang tepat untuk menyingkirkannya. Atas nama kinerja dan integritas, tindakan tegas itu berstandar operasi yang jelas. Bisa dipertanggungjawabkan secara administratif kepegawaian.
Kini, rakyat menanti ketegasan Prabowo menyikapi Hasan Nasbi, sang penjilat. Dan satu hal yang cukup krusial, tidak tertutup kemungkinan, Nasbi sedang menjalankan agenda pemecahan bangsa ini. Dan itulah gaya gerakan PKI, yang kita kenal dengan OTB (oprasi tanpa bentuk). Maka, jika dibiarkan gerakan sistematis itu, sama artinya memelihara dan menyuburkan “duri” dan bom waktu Pemerintahan Prabowo. Let`s see. Rakyat lagi menontonnya.
Tasikmalaya, 1 April 2025
Penulis: analis politik
Advertisement