“Jalani hidup ini dengan riang dan jenaka. Bukan karena segala hal mudah, tapi karena hidup memang menyenangkan.”
Kutipan ini yang saya ingat ketika mendengar wafatnya Titiek Puspa, penyanyi, pencipta lagu, artis, seniwati yang selama tujuh dekade mewarnai budaya Indonesia.
Saya melayang ke tahun 1970-an dan 1980-an, saat masih SMP dan SMA. Kala itu saya banyak mendengar lagu Titiek Puspa.
Lagunya jenaka, menggambarkan lucunya mereka yang sedang jatuh cinta, atau mengajak mereka yang sedang mumet untuk berdansa.
Hidup riang dan jenaka bukanlah bentuk pengingkaran terhadap luka dan kenyataan. Ia adalah bentuk tertinggi dari penerimaan.
Orang yang mampu menari di tengah badai, tersenyum saat hatinya retak, dan bercanda tanpa menyembunyikan air mata. Itulah sosok yang telah menaklukkan penderitaan, bukan lari darinya.
-000-
Tiga lirik lagu Titiek Puspa yang jenaka, masih saya hafal di luar kepala. Ini judul lagunya: Jatuh Cinta, Apanya Dong dan Dansa Yo Dansa.
Kita eksplor lirik lagunya, dan mendalami makna di balik kata.
1. Jatuh Cinta (1977)
Jatuh Cinta salah satu lagu ikonik Titiek Puspa yang dirilis pada tahun 1977. Lagu ini menggambarkan perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta dengan segala kompleksitas emosinya.
Lirik:
Jatuh cinta berjuta rasanya
Biar siang biar malam terbayang wajahnya
Jatuh cinta berjuta indahnya
Biar hitam biar putih manislah nampaknya
Dia jauh, aku cemas tapi hati rindu
Dia dekat, aku senang tapi salah tingkah
Dia aktif, aku pura-pura jual mahal
Dia diam, aku cari perhatian oh repotnya
Lirik lagu Titiek Puspa menangkap dengan jenaka paradoks cinta remaja yang penuh ironi: cemas jika jauh, salah tingkah jika dekat.
Ia menyentuh hati karena menggambarkan keriuhan batin manusia saat mencintai, namun menertawakannya dengan lembut: oh repotnya.
Dalam kejujurannya yang sederhana, lagu ini mengingatkan bahwa jatuh cinta adalah drama yang lucu. Ini permainan tarik-ulur antara gengsi dan rindu, pura-pura jual mahal tapi mencari perhatian.
Kekuatan liriknya ada pada kemampuan membuat kita tersenyum. Kita menyadari kekacauan perasaan adalah panggung hidup yang menggemaskan, penuh kebingungan, tetapi selalu layak dirayakan dengan tawa penuh makna.
-000-
2. Apanya Dong (1982)
Lagu Apanya Dong dirilis pada tahun 1982. Ia dikenal dengan liriknya yang jenaka serta irama yang ceria. Lagu ini menceritakan kebingungan seseorang dalam memahami daya tarik pasangannya.
Lirik:
Pikir-pikir apanya apanya
Apanya dong
Dia punya apa
Sungguh mati aku tertarik
Mungkin itu rambutnya, dahinya
Semuanya biasa saja
Coba aku lihat lagi yang mana yang menarik
Mungkin itu matanya, hidungnya
Semuanya biasa saja
Makin aku memandangnya
Makin aku jatuh hati
Apa, apa, apanya dong
Apanya dong, apanya dong
Dang ding dong
Lama-lama kupikir kupikir
Apa kuat
Untung masih punya gengsi
Masa aku yang bilang dulu
Lama-lama kupikir kupikir
Apa kuat
Sebelah hatiku mau
Sebelah hatiku malu
Lagu ini merayakan rumitnya cinta—dan justru di situlah kekuatannya. Dalam lirik yang tampak jenaka, tersembunyi potret jujur tentang daya tarik yang tak logis.
Cinta tak lahir dari logika atau kalkulasi estetika. Rambut, mata, hidung—semuanya “biasa saja.” Namun justru hal biasa itulah yang memikat.
Di balik “apanya dong?”, kita temukan kebingungan batin yang tulus: mengapa aku jatuh hati, padahal tak ada yang istimewa?
Irama ceria dan pengulangan absurd seperti “dang ding dong” menjadi simbol dari pikiran yang berputar-putar. Itu antara malu, gengsi, dan ketertarikan yang tak terhindarkan.
Lagu ini membebaskan kita dari tuntutan sempurna dalam cinta. Ia menunjukkan: jatuh cinta tak perlu alasan, dan seringkali, yang paling membekas justru yang paling lucu dan membingungkan.
-000-
3. Dansa Yo Dansa (1980)
Dansa Yo Dansa lagu yang dirilis pada tahun 1980 dengan nuansa yang ceria. Ia mengajak pendengarnya untuk menari dan melupakan kesedihan.
Lirik:
Dansa yo dansa buat apa kau bermuram durja.
Habis waktumu dengan percuma.
Hati nelangsa buat apa
Dansa yo dansa carilah temanmu yang sebaya.
Apalagi dia yang kau cinta.
Jangan dicari yang tak ada
Ku disini kau disana.
Ku menyanyi kau berdansa.
Kau asyik dengan si dia tancap kiri trus kanan,
asyik
Dansa yo dansa.
Hari ini hari yang bahagia
Hari ini untuk suka ria dansalah dansa gembira
Lagu “Dansa Yo Dansa” adalah terapi jiwa dalam bentuk musik. Ia mengajak kita menari bukan karena semua baik-baik saja, tapi justru karena hidup kadang terlalu rumit untuk direnungkan terus-menerus.
Liriknya menyuarakan kebijaksanaan yang jenaka: mengapa bermuram durja jika kita bisa berdansa dan berbagi suka ria?
Dalam psikologi positif, tubuh yang bergerak—menari, bernyanyi—dapat membebaskan endorfin. Lagu ini menjadi jembatan dari kesedihan menuju pelepasan.
Ada ironi yang menyentuh: di tengah hati yang nelangsa, kita justru diajak untuk “tancap kiri trus kanan.” Ini bukan pengingkaran rasa, tapi pelampiasan yang sehat.
Dansa di sini bukan sekadar gaya, tapi simbol dari pilihan: tetap hidup meski luka.
Lagu ini adalah pelukan hangat dengan irama. Sebuah pengingat: tak semua duka butuh air mata—kadang cukup satu lagu yang mengajak menari.
Ketiga lagu ini menunjukkan kepiawaian Titiek Puspa dalam menciptakan karya yang tidak hanya enak didengar, tetapi juga memiliki makna mendalam dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
-000-
Dalam hidup yang penuh kerut dahi ini, seringkali kita menyamakan keseriusan dengan kedalaman. Seakan-akan, semakin muram wajah seseorang, semakin dalam jiwanya.
Padahal, tidak jarang, justru di balik tawa yang meledak dan canda yang ringan, tersembunyi jiwa yang paling tahan uji.
Hidup riang dan jenaka bukanlah bentuk pengingkaran terhadap luka dan kenyataan. Ia adalah bentuk tertinggi dari penerimaan.
Orang yang mampu menari di tengah badai, tersenyum saat hatinya retak, dan bercanda tanpa menyembunyikan air mata—itulah sosok yang telah menaklukkan penderitaan, bukan lari darinya.
Dalam psikologi positif, humor adalah mekanisme pertahanan jiwa yang paling matang. Ia tak hanya meredakan stres, tapi memperkuat relasi sosial, memberi jarak pada trauma.
Ia membantu seseorang melihat dunia dengan mata yang jernih.
Sementara filsafat Stoik mengajarkan amor fati—mencintai takdir. Tapi humor mengajarkan kita untuk menertawakan takdir, bukan dengan mengejek, melainkan dengan memeluk misterinya.
Tertawa itu cara jiwa bernapas. Dalam hidup yang tak bisa selalu kita kendalikan, jenaka menjadi ruang jeda. Sejenak kita mengendurkan ikatan, memberi makna baru pada yang tampak sia-sia.
Bukan, ini bukan hidup yang dangkal. Justru hanya jiwa yang dalam yang mampu menyederhanakan beban menjadi tarian, dan luka menjadi lelucon. Sebab ia tahu, hidup terlalu berharga jika hanya dihabiskan untuk bersedih.
Dan pada akhirnya, siapa pun yang bisa tertawa meski dunia sedang runtuh di sekelilingnya, bukan hanya bertahan, ia telah menang.
-000-
Di tengah derasnya arus musik digital dan budaya populer yang sering kali mengangkat tema kesedihan atau pemberontakan, karya Titiek Puspa tetap relevan.
Lagu-lagunya mengingatkan kita hidup tak selalu harus serius atau penuh drama. Generasi masa kini dapat belajar dari cara Titiek Puspa menyampaikan pesan sederhana dengan irama ceria.
Kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil, seperti menari, tersenyum, atau bahkan menertawakan diri sendiri. Dalam dunia yang semakin kompleks, musiknya menjadi oasis yang menawarkan pelarian sehat sekaligus refleksi ringan.
Titiek Puspa mengajarkan kita jenaka bukanlah pelarian dari realitas, melainkan cara paling lembut untuk memeluknya.
Ia merangkai cinta yang repot, rindu yang kikuk, dan duka yang muram ke dalam lagu-lagu yang mengundang senyum.
Melalui Jatuh Cinta, Apanya Dong, dan Dansa Yo Dansa, ia menyampaikan bahwa hidup tak harus dimengerti sepenuhnya. Kadang hidup cukup ditertawakan, dinikmati, dan dijalani dengan ringan.
Di balik irama ceria, tersembunyi filsafat hidup: tawa bisa menjadi obat, dan gerak bisa menjadi doa.
Hidup yang jenaka bukan hidup yang menyepelekan, tapi yang menyadari betapa rapuhnya manusia. Lalu ia memilih merayakan kerentanannya dengan sukacita.
Dalam dunia yang sering menyesakkan, Titiek Puspa hadir seperti jendela yang dibuka ke arah cahaya. Ia pergi, namun ajarannya tinggal: jangan lupa menari, jangan takut tertawa, sebab itulah tanda jiwa yang telah matang.*
Jakarta, 12 April 2025
Advertisement