Oleh : Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).
Ada masa ketika satu seruan dari seorang kepala negara bisa bikin dunia terdiam. Pernyataan keras dari PBB bisa menghentikan konflik, atau minimal bikin pelaku invasi merasa sungkan. Tapi sekarang? Dunia seperti sudah tidak punya rem. Suara-suara pemimpin dunia, bahkan dari tokoh seperti Prabowo, Erdogan, hingga PBB sendiri, sering kali hanya terdengar sebagai himbauan belaka. Bagai suara toa masjid yang terhalang tembok dan gedung tetangga jelas terdengar, tapi tidak menggugah ummat ke Masjid.
Coba lihat perang Rusia-Ukraina. Sudah hampir dua tahun dan masih jalan. Semua pihak sudah bersuara, dari kepala negara, pemimpin agama, aktivis, selebgram, sampai YouTuber. Tapi hasilnya? Nihil. Bahkan PBB pun seperti hanya bisa geleng-geleng kepala sambil update status “Kami prihatin.”
Sementara itu, Amerika Serikat yang dulu dianggap negara superpower dan “polisi dunia” sekarang malah sibuk ngurus drama internal, Mas Ellon, Bidden, Trump, dll. Demokrasi mereka seperti sinetron yang makin hari makin absurd, penuh plot twist, karakter utama yang kontroversial, dan rating yang mulai turun. Dunia bingung, rakyatnya juga pusing.
Ini bukan soal kita nyinyir atau pesimis. Ini soal realita. Dunia sudah berubah Bro n Sista. Zaman sudah loncat dari era kaset pita ke zaman TikTok, Instagram, Whatsapp, dll. Tapi sayangnya, sebagian gaya kepemimpinan masih pakai template lama, pidato panjang, konferensi formal, dan kalimat diplomatis yang muter-muter.
Semua ini adalah bukti bahwa struktur lama telah usang. Suara-suara dari podium tak lagi mengguncang. Deklarasi dari istana-istana megah tak lagi menjadi kompas moral. Hukum internasional yang dulu diagungkan kini terlihat seperti permainan kartu, diatur oleh tangan-tangan kuat yang tahu kapan harus mengocok dan kapan harus mengelabui.
Hari ini, seorang aktivis lingkungan muda seperti Greta Thunberg bisa lebih didengar dunia dibanding sepuluh kepala negara. Seorang pemimpin muda seperti Gabriel Boric di Chili, berani menantang sistem yang timpang dan mendapat dukungan rakyat yang rindu akan kejujuran. Presiden Ukraina, Zelensky, mantan komedian, justru jadi simbol ketangguhan bukan karena kekuatan militer, tapi karena kepiawaiannya membaca zaman dan membangun narasi.
Para pemimpin hari ini dituntut bukan hanya kuat, tapi juga peka. Mereka harus bisa bicara dalam bahasa kejujuran, bukan protokol. Harus sanggup mendengarkan jeritan warganya di media sosial, bukan sekedar laporan menteri.
Dunia hari ini butuh pendekatan baru. Butuh gaya kepemimpinan yang bukan cuma paham geopolitik, tapi juga tahu kapan harus ngegas, kapan harus ngerem. Bukan cuma bisa berdebat di forum dunia, tapi juga ngerti cara menyentuh hati Gen Z, Milenial yang lebih percaya sama meme politik dibanding media konvensional mainstream.
Kita lihat Presiden Prabowo. Di banyak Forum dunia, khusunya kemarin di Antalya Diplomacy Forum di Turki, dia bicara lantang. Bukan pakai teks panjang, tapi pakai bahasa yang “straight point”. Ia bilang, “Saya percaya diplomasi, tapi saya pesimis.” Jleb. Jujur banget. Dan jujur memang mahal, apalagi di panggung internasional yang penuh basa-basi.
Erdogan juga nggak kalah berani. Dia bilang, “The world is bigger than five.” Sindiran halus tapi keras ke struktur Dewan Keamanan PBB yang dikuasai lima negara. Intinya dunia ini terlalu luas kalau hanya diatur oleh segelintir elite global.
Lalu dari Afrika, muncul suara melalui musik reggae Tiken Jah Fakoly. Lagu-lagunya adalah bentuk protes sekaligus pelampiasan sejarah yang menyakitkan. “Mereka membagi dunia, tapi kami tidak diajak.” Sebuah kritik yang puitis sekaligus pahit.
Semua suara ini, dari Prabowo, Erdogan, Fakoly, sampai akademisi seperti Prof. Hikmahanto Juwana, punya satu benang merah, mereka lelah dengan dunia yang pura-pura netral. Dunia yang pakai hukum internasional tapi hanya untuk kepentingan tertentu. Dunia yang menjual kata “demokrasi” sambil memasok senjata ke zona konflik.
Tapi qpakah suara mereka masih berdampak? Jujur saja, tidak sekuat dulu. Karena hari ini, suara pemimpin bukan lagi satu-satunya suara yang didengar dunia. Ada suara rakyat, suara netizen, suara Gen Z yang bisa mengubah opini publik lewat satu thread Twitter atau satu video viral. Dunia hari ini lebih cair, lebih rumit, tapi juga lebih terbuka.
Suara seperti ini, sehebat apapun, kini tak lagi mengguncang dunia seperti era 1990-an. Saat itu, ketika Mandela bicara, dunia diam mendengar. Ketika Kofi Annan berbicara, bangsa-bangsa mendengarkan. Tapi sekarang? Dunia terbagi, blasting algoritma sistem yang bisa menembus berbagai platform lah yang telah menggantikan tokoh-tokoh dunia itu.
Kepemimpinan global sedang berada di persimpangan jalan. Kita melihat kekuatan lama retak, tapi kekuatan baru belum lahir sempurna. Di sinilah pentingnya menyadari bahwa zaman menciptakan pemimpinnya sendiri. Seperti Soekarno lahir dari zaman kolonial, dan Obama lahir dari zaman krisis identitas Amerika.
Mungkin sekarang giliran para pemimpin muda, yang tidak hanya pintar berpidato, tapi juga berani hidup dalam transparansi. Yang tidak sekadar menggugat, tapi menciptakan ruang kolaborasi. Yang lebih mengutamakan etika publik dibanding protokol kekuasaan.
Maka tak heran kalau banyak pihak mulai bicara soal lahirnya generasi baru pemimpin dan mereka tidak lahir dari partai besar, tidak punya gelar panjang, tapi punya ketulusan dan cara berkomunikasi yang nyambung dengan zamannya, mereka mulai masuk ke pusaran kekuasaan negara.
Akhir kata, dunia memang tidak lagi seperti dulu. Dan pemimpin pun tak bisa lagi pakai gaya orator 90-an, pidato, kunjungan resmi, peresmian formal, gendong bayi tebar pesona di area bencana, sambil berharap dunia berubah. Ini bukan zamannya pidato kaku, tapi zaman saat satu kalimat bisa viral menembus platform digital didorong SEO Generator, karena gaya yang tulus dan mengena.
Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa 15 April 2025, 08:45 Wib.
Foto: Tempo.co