Oleh : Afnan Malay*

Sepuluhan tahun sudah, bangsa ini diuji bagaimana membangun interaksi hidup berbangsa-bernegara. Semula pada tahun-tahun pertama dari sepuluh tahun lalu itu warganegara suka-cita menemukan harapan.

Harapan itu bernama Joko Widodo. Ia berhasil mengalahkan Prabowo Subianto dalam kontestasi pemilihan presiden yang ke-7. Apa yang menyebabkan Jokowi bisa terpilih memimpin republik, selain persoalan warganegara sedang menjemput harapan?
Jawabnya, nilai. Warganegara tidak ingin dipimpin oleh sosok pelanggar HAM berat notabene menantu Soeharto puluhan tahun memimpin Indonesia minus kebebasan dan warganegara bungkam secara kolektif.

Sebaliknya Jokowi ingin mengubah kehidupan berbangsa menuju harapan baru, bagaimana kekuasaan seharusnya hadir, bagaimana warganegara seharusnya diperlakukan. Nilai yang dibawa Jokowi sangat fundamental, sekoper persoalan-persolan mendasar bangsa dan tantangan riil dikemasnya dalam solusi yang memukau, Revolusi Mental.

Euforia itu menabalkan narasi membumi “Jokowi adalah Kita”. Narasi yang terbaca substansi kekuasaan itu berada pada kita, warganegara, pemegang kedaulatan sesungguhnya.

Sampai disini, seolah-olah kekuasaan tidak punya watak aslinya: memanipulasi nilai-nilai, meminimalisasi partisipasi warganegara, memaksakan kehendak kekuasaan bahkan dengan mendorong perbedaan tajam dalam pandangan warganegara terus tumbuh.

Ketika harapan itu harus meletakkan jabatan sesuai konstitusi, revolusi mental yang sudah lama terlupakan dan tidak dijalankan sama sekali. Watak kekuasaan untuk mempertahan diri tampak sangat brutal. Jokowi yang dipilih warganegara karena faktor-faktor nilai, justru nilai-nilai itu dirusaknya sendiri.

Mahkamah Konstitusi diinjak-injak untuk meloloskan anaknya, maju pada kompetisi pemilihan presiden: anda mau bilang demokrasi? Lebih absurd lagi (kecuali anda menganggap kekuasaan sekadar permainan politik biasa) ia mendorong Prabowo Subianto yang dulu membedakan keduanya adalah nilai.

Fakta dan fenomena Jokowi mendorong warganegara membalikkan harapan membuncah. Dari Jokowi adalah Kita (kekuasaan mengikuti warganegara) menjadi kebalikannya Kita adalah Jokowi (warganegara ditenggelamkan kekuasaan).

Itulah kenapa, siapapun warganegara, yang menagih Jokowi yang otentik (dulu) akan berhadapan kesia-siaan. Warganegara yang terbelah yang menganggap terhadap Jokowi sekarang (manipulatif) tidak diperlukan koreksi.

Muncul narasi aneh semua masalah kekuasaan (publik) diperangkap ke ruang privat, apapun kritik-protes-koreksi yang ditujukan kepada pemerintah divonis dasarnya kebencian.

Warganegara setelah sepuluh tahun kekuasaan Jokowi dihadapkan pada situasi masa Soeharto. Kekuasaan kembali menjadi sesuatu yang sakral (tidak bisa disentuh) tidak ada yang boleh interupsi (kritik harus sopan): cukup dipandang-pandang saja, lebih baik lagi dipuja-puja.

Bedanya, jaman Soeharto ketakutan kita kepada intel-intel bergentayangan. Sekarang, kalian akan dihajar kawan-kawan sendiri!

Menyedihkan…

*)Mantan aktivis 80-an, pencipta Sumpah Mahasiswa, Sekarang Penyair dan Penulis.

Advertisement

Tinggalkan Komentar