Oleh : Sobirin Malian
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan)

Ketika dihadapkan pada berbagai masalah yang nampak ruwet dan absurd, kita lalu dibuat lelah menghadapinya. Itulah yang disimpulkan oleh Albert Camus tentang “absurditas”. Camus berpendapat, bahwa manusia sering dihadapkan pada situasi yang tidak masuk akal dan tidak adil, sehingga dapat menyebabkan kelelahan dan perasaan tidak berdaya.

Ya, kita rakyat Indonesia seperti mengalami kelelahan atau tepatnya dibikin lelah menghadapi situasi dan pengondisian yang ada. Efek dari kelelahan itu, kita lalu tidak ingin berpendapat, tidak ingin berkomentar, kita diam saja. Akan tetapi risiko diam saja itu, kita dianggap tidak paham, tidak tahu apa-apa. Padahal, kita justru sangat tahu, tapi tak lagi tahu harus berbuat apa. Rakyat Indonesia tidak sedang dungu. Mereka hanya sedang lelah. Lelah berharap, lelah bertanya, lelah bersuara. Lelah yang bukan tanpa sebab, tapi hasil dari pengondisian panjang—diulang terus-menerus oleh sistem yang tahu betul bagaimana otak manusia bekerja dalam menghadapi tekanan, ketidakpastian, dan ketidakpedulian (Taufiq Fredrik Pasiak, 2025).

Namun, mengacu kepada pendapat Camus bahwa, manusia tidak boleh menyerah, diam apalagi pasrah. Oleh karena itu harus bangkit, terus berjuang untuk menciptakan makna dan tujuan dalam hidup, meskipun situasi sekitarnya tampak absurd. Dalam konteks ini, “diam” bukan berarti pasif, melainkan mungkin merupakan bentuk perlawanan atau refleksi yang lebih dalam.

Camus menekankan pentingnya kesadaran dan refleksi dalam menghadapi absurditas, serta kebutuhan untuk menciptakan makna dan tujuan sendiri dalam hidup. Dengan demikian, situasi yang nampak “berputar-putar”, menjemukan bisa jadi itulah pola absurditas yang justru harus dilawan.

Kalau selama ini kita terkesan tunduk, maka tunduk itu bukan tanda setuju. Ia menjadi bentuk perlindungan paling dasar agar otak kita tetap bisa bertahan. Inilah wajah demokrasi hari ini: rakyat diam, bukan karena takut. Tapi karena ingin tetap waras. Sing waras, ngalah, kata banyak orang (Taufiq Fredrik Pasiak, 2025).

Dalam studi klasik Psikolog Martin Seligman tentang learned helplessness (1967) dijelaskan bagaimana makhluk hidup—termasuk manusia—bisa kehilangan dorongan untuk melawan jika terlalu sering dihadapkan pada kegagalan.

Pendapat yang kurang lebih sama dinyatakan oleh Albert Bandura (1977), dalam penelitiannya sekitar 20 tahun yang kemudian ia tuangkan dalam bukunya “Self-Efficacy: The Exercise of Control.” Bandura menyatakan, bahwa efikasi diri adalah keyakinan individu tentang kemampuan mereka untuk mencapai tujuan dan mengatasi tantangan, namun jika individu mengalami kegagalan berulang kali, mereka mungkin akan memiliki self-efficacy yang rendah, yang dapat menyebabkan mereka kehilangan motivasi.

Sejak dua periode pemerintahan rezim Jokowi kita merasakan banyak merasakan hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Jokowi dianggap pembual besar tentang kesuksesan ekonomi, pemberantasan korupsi, pemilu yang jujur, hukum yang tanpa pandang bulu dan lain-lain. Lalu kita mahasiswa, akademisi kritis, dan aktivitis garis lurus terus menyuarakan kebenaran, penegakan hukum, keadilan dan perlawanan terhadap pengkhianatan terhadap negara. Dan ternyata kita telah belajar bahwa upaya melawan hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit. Ini lalu membuat kita lelah.

Otak manusia yang terus bekerja, melawan dan militan terhadap kebenaran. Ketika kritik diabaikan, suara diputarbalikkan, dan kebenaran dikalahkan oleh algoritma sosial media maka prefrontal cortex sebagai pusat nalar perlahan dikalahkan oleh sistem limbik yang cuma ingin satu hal: selamat dan aman.

Hari-hari ini, kita hidup dalam zaman di mana ketidakpastian bukan lagi insiden yang harus diantisipasi, tapi sistem yang tampaknya sengaja dirancang.

Politik berubah jadi panggung opera sabun, sangat absurd, ekonomi lepas dari logika bisnis, dan media sosial menciptakan badai emosional tanpa henti—antara marah, takut, dan bingung dalam satu tarikan napas.

Dalam dunia semacam ini, harapan bukan lagi harapan, melainkan jebakan. Sejumlah kajian dalam neurosains menunjukkan bahwa otak manusia memiliki bias optimisme—kita secara naluriah ingin percaya bahwa besok akan lebih baik. Tapi jika ekspektasi itu terus dilukai, jika janji tinggal janji, maka otak akan memilih jalan perlindungan: mematikan emosi, mengecilkan keinginan, dan akhirnya menyerah secara senyap. Inilah titik ketika rakyat tidak lagi peduli, bukan karena bodoh, tapi karena terlalu sering dikhianati. Tunduk, diam, apatis bukan tanda ketidakpedulian, tapi alarm keras bahwa sistem sosial sedang merusak daya hidup rakyatnya.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka yang lahir bukan sekadar generasi masa bodoh, tapi bangsa yang secara kolektif memutus hubungan dengan masa depannya sendiri—bangsa yang kehilangan imajinasi, kehilangan dorongan untuk berubah, dan akhirnya kehilangan alasan untuk bertahan.

Advertisement

Tinggalkan Komentar