Oleh : Agus Wahid

“Non sense, sebuah revolusi berhasil tanpa keterlibatan militer”. Itulah catatan empiris di tanah air ini. Tapi, lintasan sejarah di berbagai belahan dunia tidak berlaku premis itu. Sebut saja Filipina dan Polandia.

Pada tahun 1984, Ferdinan Mascos dan istrinya, Imelda, tunggang langgang meninggalkan negaranya setelah Corry Aquino memimpin people power di tengah Manila. Dengan jumlah sekitat sejuta pengunjuk rasa, Marcos dan istrinya langsung terbang ke Guam dan selanjutnya ke Paman Sam.

Seorang buruh listrik, Lech Walesa di Polandia – pada 1970 hingga 1980-an – melancarkan demo bersama para buruh lainnya menuntut haknya (upah) yang dinilai sangat tidak adil. Gerakan buruh nasional itu akhirnya berhasil melengserkan penguasa diktator (Alexander Kwasniewski).

Hanya dengan mengerahkan ratusan ribu buruh secara nasional telah mengantarkan dirinya dinobatkan sebagai Presiden Polandia. Lech Walesa jelas-jelas seorang sipil. Begitu juga Corry Aquino. Dua contoh sipil ini menjadi data faktual: sipil pun bisa dan berhasil memimpin people power yang tak ubahnya revolusi dan berhasil menumbangkan sosok pemimpinnya.

Lalu, bagaimana dengan di Tanah Air ini? Dua rezim lalu – Orde Lama dan Orde Baru – yang tampil dominan juga kekuatan sipil. Namun, tak bisa dipungkiri, ada kekuatan tentara yang memback up barisan sipil, meski tidak secara frontal memperlihatkan diri pada barisan sipil. Setidaknya, kekuatan militer tampil sebagai barikade pengamanan barisan sipil. Itulah yang kita lihat pada tumbangnya dua orde masa lalu.

Sejarah mencatat, pada masa Orde Lama, barisan mahasiswa mengepung istana. Tampak barisan tentara tidak menghalaunya sebagai pengaman Presiden Soekarno. Hal ini karena telah didahului oleh pengkhianatan PKI yang telah menewaskan sejumlah jenderalnya. Karena itu, yang dilakukan kalangan militer adalah mengamankan gerakan sipil yang mengepung istana. Sikap TNI ini mempermulus proses pembangunan political distrust pada rezim Soekarno. Implikasinya, pidato Nawaksara Soekarno di hadapan MPRS ditolak. Dan jatuhlah rezim Soekarno.

Tak jauh beda dengan Orde Baru. Kekuatan TNI melihat gerakan ribuan massa yang mengepung parlemen. Sebuah gerakan yang diawali dengan krisis ekonomi-moneter dan berlanjut ke penjarahan dan pembakaran di berbagai titik, terutama Jakarta, hal ini membuat eskalasi sentimen negatif publik terhadap rezim Soeharto.

Kebertahanan massa mengepung parlemen pada pertengahan Mei 1998 selama sekitar 5 hari menjadikan Soeharto bersikap: tidak mau mempertahankan kekusaannya dengan cara mengerahkan kekuatan militernya untuk membantai rakyatnya sendiri. Beliau lebih baik menyatakan berhenti.

Sikap alm Soeharto saat itu terlihat bijak. Tapi, beliau pun melihat adanya sikap TNI yang tidak lagi full supported terhadap rezim Soeharto. Bahkan, Panglima TNI (Jend. Wiranto) lebih memilih terbang ke Malang untuk mengumpulkan para pangdamnya. Sebuah pertanyaan, mengapa tidak konsentrasi mengamankan Jakarta yang sedang dilanda krisis politik yang cukup serius? Pangkostrad Prabowo bahkan Pangdam V Jaya Syafrie Samsuddin tak bisa berbuat maksimal untuk mengamankan pemerintahan Soeharto, karena komandan tertingginya (Panglima TNI) tidak memberikan instruksi yang krusial.

Peta politik TNI tersebut tentu dibaca oleh Pak Harto. Maka, opsi politik yang bijak adalah menyatakan berhenti, bukan mengundurkan diri. Jika “mengundurkan diri” yang dijadikan opsi politiknya, masih terdapat proses ketatanegaraan. Yaitu, harus menyampaikan pertanggungjawaban secara hukum dan lain-lainnya.

Kini, kita melanglang ke masa kini Indonesia. Dalam krisis multidimensi yang benar-benar telah menghancurkan negeri ini, mengapa hanya terdengar suara sayup yang memekikkan revolusi? Memang, suara itu sudah sering dipekikkan, tapi sangat parsial. Itu pun disuarakan oleh kalangan sipil. Barisan tentara dan polisi aktif mana ada. Barisan purnawirawan juga parsial. Memang, di antara mereka ikut turun ke jalan. Tapi, apakah mereka tampil sebagai barikade terdepan? No.

Memang, peran para purnawirawan TNI dan Polri hanya sebatas kekuatan moral. Tapi, jika kekuatan moral ini tampil dalam barikade terdepan akan punya pengaruh yang sangat magnetik bagi barisan sipil. Sebagai ilustrasi komparatif, dalam panggung dunia, masyarakat internasional pernah menyaksikan betapa seorang Ayatullah Khomaini – dengan pendekatan perjuangan moralnya – mampu membangkitkan daya juang seluruh rakyat Iran.

Itulah peristiwa politik Iran pada 1979 yang bisa juga dijadikan acuan tentang perjuangan moral sejatinya merupakan kekuatan strategis. Tergantung tokohnya. Contoh faktual itu bisa dijadikan acuan bahwa tampilnya purnawirawan yang mengedepankan kekuatan moral akan menambah spirit kejuangan barisan sipil.

Sebuah pertanyaan mendasar, apakah purnawirawan yang selama ini unjuk gigi atas nama moral masih setengah hati dalam menghadapi rezim bromocorah itu? Bukan setengah hati. Mereka pun mengkalkulasi secara matematis. Jika dipaksakan, pekikan suara revolusi hanya akan mengantarkan dirinya ke liang lahat. Kita saksikan, sebuah pertemuan terbatas di Bandung, di antaranya para elitis purnawirawan TNI seperti Jend (purn.) Kivlan Zein, Jend (purn.) Soenarko, Jend (purn.) Sony Samberejo. Mereka pun langsung tercium dan langsung diciduk.

Kesimpulannya, selagi TNI-POLRI masih memback up penuh kekuatan rezim, maka – secara matematika revolusi – sangatlah tidak tepat. Pasti dinilai sebagai makar. Dan pasal pidananya jelas bagi sang pelaku makar: 3 atau selama-lamanya 12 tahun (Pasal 224 KUHP).

Sebuah pertanyaan saat ini, apakah pemerintahan RI saat ini – dalam periode 2025 – 2029 – entitas TNI dan POLRI dalam ketaatan penuh kepada Pemerintah? Jawabannya harus dibedakan. Terhadap keberadaan Prabowo sangatlah mungkin ketaatan itu. Tapi, apakah sama ketaatan totalnya terhadap Gibran? No.

Memang, masih perlu dianalisis lebih lanjut performa ketaatan kedua entitas itu. Sebab, Panglima TNI dan Kapolri saat ini adalah “ternakan” Jokowi. Namun demikian, Prabowo punya kewenangan prerogatif untuk gantikan kedua pimpinan puncak di tubuh TNI dan POLRI itu.

Di sanalah, Prabowo punya kepentingan besar untuk mengefektifkan proses reposisi pimpinan puncak di tubuh TNI ataupun POLRI. Perposisiannya menjadi sangat strategis. Di satu sisi, untuk mengamankan kepentingan kekuasaan Prabowo itu sendiri, terutama dari gangguan yang selama ini dilakukan oleh para “ternakan” Jokowi. Di sisi lain, memperlancar proses depolitisasi politik Gibran. Depolitisasi ini wajib dilakukan. Arahnya untuk menjauhkan diri manuver politik Solo yang terus mengganggu. Di sisi lain lagi, memangkas ambisi pembangunan politik dinasti. Pemangkasan ini sejatinya bicara masa depan Indonesia yang diharapankan jauh lebih baik.

Dengan menganalisa positioning politik kedua pemimpin itu (Perabowo dan Gibran), maka di sana ada matematika politik (revolusi) yang sangat easible. Revolusi itu bukan diarahkan ke Prabowo, tapi fokus ke Gibran. Karena itu gerakannya bukan mengepung istana, tapi akan jauh lebih efektif ke parlemen.

Elemen kekuatan sipil perlu konsentrasi penuh untuk mengerahkan kekuatannya ke arena parlemen. Atas dasar fakta di lapangan, Probowo punya legitimasi untuk memperkuat langkah politik yang sarat dengan dimensi “sandi yudha”. Dengan bahasa “sinyal”, Prabowo perlu mendorong seluruh pimpinan partai politik untuk mereview posisi Gobran.

Kapasitas Gibran yang jauh di bawah standar, jiwanya yang jauh dari matang, kalau tidak dibilang masih “bocil”, sinyal adiksi (kecanduan) narkoba, ijazah SMA-nya yang juga perlu diuji secara laboratorium forensik (labfor), semua itu bisa dijadikan pintu masuk untuk mendorong parlemen menggunakan haknya (angket). Hasilnya dilanjutkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Lembaga MK ini pun – sehubungan dengan Paman Usman tak lagi menjabat sebagai Ketua MK – bisa didorong untuk bekerja profesional tanpa infiltrasi pihak eksternal (Jokowi dan para kroninya). Putusan MK yang dikembalikan lagi ke MPR tinggal ditindaklanjuti lebih konkret. Atas nama moral rakyat yang tentu jauh di atas konstitusi, maka Gibran harus diamputasi posisinya: tak lagi menjadi Wakil Presiden RI.

Itulah matematika revolusi yang perlu dihitung dengan cermat. Saat ini timingnya cukup tepat. Tak perlu mengulur waktu, sebelum Prabowo tertelan oleh kudeta ala Solo. Jangan kalah gerak cepat (gercep).

Akhirul kalam, matematika revolusi layak dijadikan pemikiran mendalam bagi anak bangsa ini yang menghendaki perbaikan negara dan bangsa. Jika telat, akan berantakan hasil revolusinya, bahkan akan menjadi bumerang. Sebuah harapan, Prabowo segera tersadar untuk memfasilitasi gerakan massa yang mengepung gedung parlemen dengan agenda tunggal: segera lengserkan Gibran.

Sementara, para anggota Dewan yang ada di dalam parlemen perlu dibangkitkan kesadarannya: kapan lagi membela rakyat. Sudah habis masanya “menete” dan menjilat Jokowi, apalagi terhadap anaknya. Sadar wahai para anggota Yang Terhormat. This is the time, not later. Jangan pertahankan kepalsuanmu. Negeri ini akan semakin hancur karena mempertahankan kepalsuan dan politik hipokritmu, Please, noted.

Bekasi, 29 Mei 2025
Penulis: Aktivis UI Watch PLUS

Advertisement

Tinggalkan Komentar