Oleh: Kusfiardi


Ia Tahu Apa yang Benar, Tapi Tak Selalu Bisa Memaksa yang Salah untuk Tunduk


Potret Global yang Menyerupai Penegakan Hukum di Indonesia

Di atas kertas, hukum internasional dirancang untuk menjamin keadilan antar bangsa, menertibkan konflik, dan menegakkan norma global yang beradab. Tapi di dunia nyata, ia kerap menyerupai penegakan hukum di Indonesia: tahu apa yang benar, tapi tak punya kuasa untuk memaksa yang salah tunduk.

Ketimpangan kekuasaan membuat supremasi hukum internasional tak ubahnya fiksi normatif. Terbaru, serangan udara Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada Juni 2025 memperlihatkan ironi yang brutal. Tindakan militer sepihak ini diduga kuat melanggar Pasal 2(4) dan 51 Piagam PBB, hukum kebiasaan internasional seperti Caroline Test, hingga prinsip-prinsip Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Namun hingga kini, tak satu pun mekanisme internasional yang mampu mengadili apalagi menjatuhkan sanksi terhadap pelakunya.

Hukum dalam Dunia yang Tidak Setara

Persis seperti dalam politik domestik Indonesia, hukum internasional hanya tajam ke bawah—ke negara lemah atau ‘non-sekutu’—namun tumpul ke atas saat berhadapan dengan negara adidaya. Amerika Serikat adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan hak veto absolut. Artinya, tak satu pun resolusi dapat diadopsi untuk mengutuk, apalagi menghukum AS, jika AS menolak. Ini bukan kelemahan teknis, tapi desain struktural dari tatanan global pasca-Perang Dunia II: sebuah sistem hukum yang dibentuk oleh kekuatan, untuk menjamin dominasi kekuatan itu sendiri.

Dalam teori ekonomi politik internasional, sistem ini mencerminkan hegemonic stability theory, di mana aktor dominan menciptakan aturan sekaligus menjadi wasit yang menentukan siapa melanggar dan siapa tidak. Seperti di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, supremasi hukum dibajak oleh oligarki; di kancah global, hukum internasional dibekap oleh logika geopolitik dan kepentingan nasional negara besar.

Biaya Politik dari Impunitas Global


Akibat paling berbahaya dari impunitas ini bukan sekadar ketidakadilan bagi Iran atau negara-negara lain yang diperlakukan semena-mena. Yang jauh lebih mengkhawatirkan adalah erosi legitimasi hukum itu sendiri. Ketika norma internasional dilanggar secara terbuka tanpa konsekuensi, negara-negara lain akan kehilangan insentif untuk patuh. Ini menciptakan moral hazard sistemik—di mana kepatuhan hanya dilakukan oleh mereka yang tidak punya kekuatan untuk melawan.

Dalam ekonomi, ini seperti pasar dengan regulasi yang hanya berlaku untuk UMKM, sementara korporasi raksasa bisa melakukan pelanggaran tanpa pernah disanksi. Akibatnya bukan hanya ketimpangan, tapi juga kerusakan sistemik. Kepercayaan pada institusi hukum—nasional maupun internasional—menjadi korban pertama.

Keadilan Global di Bawah Bayang-bayang Kekuasaan

Dalam kasus Iran, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) bahkan tidak menemukan bukti konversi fasilitas nuklir ke arah militer. Namun AS tetap melancarkan serangan, tanpa otorisasi Dewan Keamanan dan tanpa proses penyelidikan independen. Dunia hanya bisa menyaksikan, sebagian mengecam, sebagian lainnya bungkam demi menjaga relasi strategis.

Ini menegaskan tesis utama dari pendekatan ekonomi politik global bahwa sistem internasional bukan arena netral, melainkan cerminan dari konfigurasi kekuasaan dunia. Hukum, dalam kerangka ini, bukan alat keadilan, melainkan instrumen legitimasi kekuasaan itu sendiri.

Jalan Terjal Menuju Tata Dunia yang Adil


Ironi hukum internasional adalah ironi yang sama dalam penegakan hukum di banyak negara berkembang, legalitas dibajak oleh kepentingan dan keadilan tunduk pada relasi kuasa. Dunia membutuhkan lebih dari sekadar kutukan moral atau resolusi simbolik. Diperlukan reformasi tata kelola global yang mengembalikan supremasi hukum di atas supremasi kekuasaan.

Namun sebagaimana kita tahu dari pengalaman reformasi hukum nasional, tanpa keberanian politik dan solidaritas global dari negara-negara non-hegemonik, hukum internasional akan terus jadi dokumen suci yang diabaikan oleh mereka yang paling kuat.

> Dunia tahu apa yang benar, tapi tidak semua berani melawan yang salah. Dalam tragedi itulah hukum internasional berdiri—tak berdaya, tapi tak boleh dilupakan.

Advertisement

Tinggalkan Komentar