Oleh: A.S. Laksana

Laporan The Economist, 18 Juni 2025, ini memberi kita satu fakta yang menarik. Isi ringkasnya seperti ini:

Satu dekade lalu, penerbit ilmiah Nature mulai menghitung kontribusi para peneliti dari berbagai institusi melalui makalah-makalah yang dimuat di 145 jurnal terkemuka. Pada penerbitan Nature Index yang pertama, 2016, Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok (Chinese Academy of Science/CAS) menempati peringkat pertama, namun institusi-institusi dari Amerika dan Eropa masih mendominasi sepuluh besar.

Harvard di posisi kedua, Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis (CNRS) ketiga, dan Max Planck Society dari Jerman keempat; Stanford dan MIT kelima dan keenam; Asosiasi Pusat-Pusat Riset Jerman Helmholtz dan Universitas Tokyo ketujuh dan kedelapan; Oxford dan Cambridge kesembilan dan kesepuluh.

Seiring waktu, peta itu berubah. Pada 2020, Universitas Tsinghua di Beijing masuk sepuluh besar. Pada 2022, Oxford dan Cambridge tergeser, digantikan oleh dua universitas dari Tiongkok. Pada 2024, hanya tiga institusi Barat yang masih tersisa di sepuluh besar: Harvard, CNRS, dan Max Planck. Tahun ini, Harvard berada di peringkat kedua dan Max Planck di posisi kesembilan. Delapan lainnya adalah institusi Tiongkok.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Tiongkok memang terus menaikkan anggaran riset dan pengembangannya sekitar 9% setiap tahun. Negara ini telah menghasilkan banyak riset unggul di bidang ilmu komputer. Universitas Zhejiang, peringkat keempat dalam indeks 2025, adalah almamater Liang Wenfeng, pendiri DeepSeek.

Selain itu, Tiongkok juga berhasil memanggil pulang banyak ilmuwan top mereka yang sebelumnya bekerja di luar negeri. Hasilnya, jumlah makalah ilmiah Tiongkok yang masuk kategori paling berpengaruh kini melampaui Amerika dan Eropa. Dalam bidang-bidang seperti kimia, teknik, dan ilmu-ilmu material, mereka di tempat teratas. Institusi Barat masih lebih unggul untuk ilmu-ilmu kesehatan dan biologi.

*

Tiongkok kembali memimpin sekarang. Itu fakta menariknya. Laporan ini seperti mengabarkan tentang roda yang berputar. Sebelum Renaisans Eropa, pusat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ada di Timur. Di Tiongkok, misalnya, kita bicara tentang penemuan kertas, kompas, percetakan, dan bubuk mesiu, empat penemuan besar yang mendahului Eropa ratusan tahun. Birokrasi sipil berbasis ujian negara juga sudah mereka jalankan jauh sebelum Barat mengenal sistem meritokrasi.

Di bagian Timur lainnya, Baghdad pada masa Kekhalifahan Abbasiyah menjadi pusat intelektual dunia. Para cendekiawan berkumpul di Bayt al-Hikmah, menerjemahkan karya-karya Yunani, Persia, dan India, mengembangkan ilmu matematika, astronomi, kedokteran, dan filsafat. Banyak gagasan yang nantinya dipakai Eropa di masa Renaisans, bermula dari Baghdad. Namun Baghdad hancur pada abad ke-13 oleh serbuan Hulagu dari Mongol dan tidak bangkit hingga sekarang.

*

Alan Macfarlane, profesor antropologi dan sejarah Cambridge, seorang guru yang menyenangkan dalam caranya menjelaskan sejarah ide-ide dan teori sosial, dalam kuliahnya tentang Montesquieu, menyebut bahwa gagasan tentang kesetaraan (egalitarianisme) di Eropa sebenarnya bukan reaksi terhadap monarki absolut atau ketimpangan sosial. Ia muncul karena Eropa terbenam dalam kegelapan dan merasa ingin setara dengan Asia.

Montesquieu hidup di masa Raja Louis XIV menguasai Prancis sangat lama, 72 tahun, dari 1643 hingga 1715, dan pemerintahannya berakhir dengan sendirinya karena kematian beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke-77. Louis XIV membawa negerinya terus-menerus ke dalam perang, membuat rakyatnya miskin dan hidup dicekik pajak. Dalam monarki semacam ini kebebasan adalah sesuatu yang mustahil. Bahkan Eropa pada awal abad ke-18 masih dicekam oleh inkuisisi. Para inkuisitor bisa menangkap siapa saja yang dianggap penyihir, kebanyakan perempuan, dan siapa saja yang dianggap penyihir akan dibakar hidup-hidup. Ketakutan terhadap inkuisisi inilah yang menyebabkan Montesquieu mencetak buku-bukunya di Belanda, yang sedikit lebih bebas, dan ia menerbitkan karya-karyanya tanpa nama penulis.

Sampai paruh pertama abad ke-17, peradaban Islam masih mengungguli Eropa, baik dalam pemikiran, militer, maupun semua hal. Dibandingkan dengan Asia, Eropa adalah wilayah terpencil yang tertinggal. Namun sejak pertengahan abad ke-17, kekuatan dunia Islam cenderung stagnan, sementara Eropa mulai mengejar. Pada masa ini, Montesquieu menulis Persian Letters, sebuah novel dengan karakter utama seorang pangeran Persia, yang merefleksikan pergeseran ini.

Pada masa ini, ia berkunjung ke Inggris dan menetap di sana dua tahun dan melihat Inggris sebagai negeri yang jauh berbeda dari negerinya yang dicengkeram kekuasaan absolut. Inggris adalah negeri yang menurutnya makmur dan bebas. “Saya berada di negeri yang hampir tidak menyerupai Eropa,” tulisnya. Ia merasa seolah-olah sedang mengunjungi Tiongkok atau Jepang, padahal ia hanya pergi menyeberangi Selat Inggris.

Ia menggambarkan Inggris dalam pernyataan yang nantinya memiliki makna besar dalam sosiologi, yaitu sebagai bangsa yang paling maju di dunia dalam tiga hal penting: kesalehan (keagamaan), perdagangan (kekayaan), dan kebebasan politik.

Menurut Montesquieu, Inggris seperti ini karena kondisi geografisnya sebagai pulau. Karena merupakan pulau, negeri ini relatif terlindung dari invasi asing setelah Norman Conquest tahun 1066. Ini memberi waktu dan ruang bagi institusi-institusinya untuk berkembang tanpa gangguan luar yang terlalu sering.

Tidak seperti di Prancis, kekuasaan raja Inggris dibatasi, dalam proses bertahap, oleh kelas-kelas sosial lain—bangsawan, tuan tanah, dan kemudian kelas menengah perkotaan. Raja takut pada para bangsawan feodal. Untuk mengimbangi mereka, raja sering bersekutu dengan warga kota, yaitu pedagang, pengrajin, dan lapisan “middling sort” (istilah abad ke-17 dan 18 untuk menyebut kelompok masyarakat di antara kalangan aristokrat dan kaum miskin atau buruh kasar, cikal bakal dari kelas menengah modern, namun dengan ciri sosial dan kultural yang belum sepenuhnya mapan seperti yang kita kenal sekarang), dan memberi mereka hak-hak istimewa seperti kebebasan berdagang, pengadilan sendiri, atau kebebasan dari pajak feodal. Ini menghasilkan kota-kota otonom (free burgs) dengan sistem hukum dan ekonomi sendiri.

*

Proses-proses “alami” semacam itulah yang menjadikan Inggris berbeda dari negara-negara Eropa daratan. Inggris menjadi seperti itu, menurut Montesquieu, bukan karena kesengajaan melainkan karena hasil dari konflik, kompromi, dan posisi geografis yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang relatif seimbang, di mana tak satu pun kekuasaan bisa mendominasi sepenuhnya. Dan dalam pandangan Montesquieu, inilah kondisi yang paling dekat dengan kebebasan politik sejati.

Montesquieu sangat menekankan pentingnya geografi dalam menentukan bentuk pemerintahan, watak masyarakat, dan hukum suatu bangsa. Dalam The Spirit of the Laws, ia mengembangkan gagasan bahwa iklim, kondisi tanah, dan letak geografis secara langsung mempengaruhi cara hidup dan karakter penduduk suatu wilayah. Ia percaya, misalnya, bahwa iklim panas cenderung melahirkan masyarakat yang lebih penurut dan lembek, sedangkan iklim dingin menumbuhkan keberanian dan semangat bebas.

Daerah yang subur cenderung memikat kekuasaan luar karena hasil buminya melimpah, sehingga menjadi sasaran penaklukan, penguasaan, atau pemerintahan yang despotik. Sebaliknya, daerah pegunungan atau kering biasanya kurang menarik secara ekonomi, sehingga penduduknya tidak menjadi sasaran penaklukan dan lebih mungkin mengembangkan kebebasan politik dan kemandirian. Ia mencontohkan masyarakat pegunungan Swiss yang bebas dan mencintai kemerdekaan, dibandingkan masyarakat lembah-lembah subur yang sering tunduk pada kekuasaan yang kuat. Kondisi alam, menurut Montesquieu, bukan hanya latar pasif; ia adalah kausa yang menentukan bentuk masyarakat dan sistem kekuasaan.

Dalam kerangka berpikir Montesquieu, Inggris bangkit justru karena institusi dan nilai sosialnya berkembang melawan norma Eropa pada waktu itu. Ia pulau yang terpisah dari Eropa daratan. Ia tidak membangun peradabannya dari warisan kekaisaran Romawi, sebagaimana Prancis atau Italia, tetapi dari struktur masyarakat sipil yang lebih egaliter, sistem hukum publik (common law) yang didasarkan pada kasus dan preseden, dan kebiasaan mempercayai kontrak sosial serta organisasi sukarela.

Dari sudut ini, Inggris bukan hanya “lebih maju”, tapi seperti sudah hidup di abad ke-19 pada saat Eropa daratan masih tertahan di abad ke-17. Inilah salah satu alasan kenapa Revolusi Industri bermula dari sana.

*

Dan Revolusi Industri di akhir abad ke-18, yang didahului dengan Revolusi Ilmiah yang mulai mengubah cara pandang manusia terhadap alam semesta dari penjelasan berdasarkan otoritas keagamaan ke metode observasi, eksperimen, dan rasionalitas, menjadi titik balik besar dalam sejarah dunia. Ia membekali Eropa, terutama Inggris, dengan kekuatan teknologi, produksi massal, dan senjata modern yang mengungguli peradaban mana pun saat itu.

Ketika pasukan berkuda Mongol menghancurkan Baghdad pada abad ke-13, dunia Islam kehilangan pusat keilmuan dan otoritas simbolisnya sebagai pusat peradaban. Kekhalifahan Turki Usmani memang masih mewakili kejayaan terakhir dunia Islam dalam skala imperium besar, tetapi kejayaan itu terutama dari segi militer dan geopolitik. Pada abad ke-16 dan 17, dengan tokoh seperti Sultan Suleiman al-Qanuni (Suleiman the Magnificent), Turki menguasai wilayah yang luas dari Balkan, Timur Tengah, hingga Afrika Utara. Tapi dari sisi ilmu pengetahuan, filsafat, dan inovasi teknologis, yang dulu menjadi kekuatan utama peradaban Islam pada masa Abbasiyah, Turki Usmani tidak lagi berada di barisan depan. Mereka lebih berfokus pada administrasi, syariah, militer, dan simbol-simbol kekuasaan kekhalifahan.

Di sisi lain, Tiongkok, yang telah memimpin dalam banyak bidang teknologi sebelum abad ke-15, justru mengisolasi diri dan membatasi kontak dengan dunia luar. Maka, ketika meriam, kapal uap, dan mesin-mesin pabrik mulai menggantikan tenaga manusia dan hewan di Eropa, bangsa-bangsa Asia belum bersiap. Dan Inggris membuktikan bahwa peluru meriam bisa dengan mudah meruntuhkan kejayaan sebuah peradaban. Dengan meriam, ia membuka paksa pintu-pintu tertutup, dari pelabuhan Canton hingga benteng-benteng Mughal di India. Kejayaan lama akhirnya runtuh oleh kekuatan teknologi baru.

*

Sekarang, tiga abad setelah dominasi Barat dalam hal militer, ekonomi, politik, dan terutama sains, dengan pusat-pusat kekuasaan pengetahuan global berada di universitas-universitas dan lembaga riset di Eropa dan Amerika Serikat, Tiongkok mulai mengejar dan menyalip banyak negara Barat dalam sejumlah indikator ilmiah. Ia memperlihatkan keunggulan dalam jumlah publikasi, paten, investasi riset, hingga prestise lembaga-lembaga seperti Chinese Academy of Sciences dan universitas-universitas unggulan mereka.

India juga maju pesat dalam dua dekade terakhir. Tetapi, berbeda dari Tiongkok, India belum menggantikan dominasi institusi ilmiah Barat. Ia lebih menonjol dari sisi kekuatan manusia dan intelektual global, dengan menyuplai insinyur, programmer, dan ilmuwan ke seluruh dunia, daripada sebagai pusat dominasi institusional seperti yang telah dicapai Tiongkok.

Tiongkok merebut puncak dalam skala institusi, sementara India sedang mendaki pelan-pelan melalui kekuatan populasi terdidik dan reputasi individu. Institusi-institusi seperti Indian Institute of Science dan Indian Institutes of Technology menghasilkan riset kelas dunia, dan para ilmuwan India juga sangat aktif dalam diaspora akademik global, khususnya di Amerika Serikat. Namun, secara sistemik, India masih menghadapi masalah dalam pendanaan riset, infrastruktur pendidikan tinggi, dan ketimpangan mutu antarwilayah.

Tiongkok adalah satu-satunya peradaban besar yang tidak pernah benar-benar terputus sejak awal mula sejarah tertulisnya ribuan tahun lalu. Bahasa tulisnya (aksara Han) masih terus digunakan, nama negara dan konsep Negara Tengah (Chungkuo) tidak pernah diganti bahkan oleh dinasti-dinasti asing Yuan (Mongol) dan Qing (Manchu), dan kerangka berpikir Konfusianistik tetap menjadi landasan sosial dan politiknya. Dan sekarang bangsa tua ini sedang kembali memimpin.

Source : fbaslaksana

Advertisement

Tinggalkan Komentar