Catatan Kecil tentang Kudeta Konstitusi
Oleh: M. Arief Pranoto
Sejak tahun 2002, tepatnya pasca UUD NRI 1945 —ini UUD hasil amandemen empat kali— diteken Presiden RI ke-5 pada 10 Agustus 2002, seketika Indonesia terjebak dalam sistem (politik) konstitusi yang bernapas individualis, liberal lagi kapitalistik. Kian kemari semakin terlihat, bahwa peristiwa pada 1999, 2000, 2001 dan 2002 itu bukan sekadar amandemen atau penyempurnaan UUD, tetapi merupakan penggantian konstitusi secara radikal.
Para pegiat konstitusi lebih suka menyebut peristiwa tersebut dengan istilah ‘Kudeta Konstitusi’. Bahkan SBY, Presiden RI ke-6 menyebutnya sebagai ‘Revolusi Senyap’. Reformasi adalah sebuah revolusi diam-diam yang sukses dilakukan di Tanah Air, ujar SBY.
“Tidak mengejutkan, bila ada yang mengatakan, ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau the quiet revolution,” kata SBY dalam Pidato Kenegaraan di hadapan DPR dan DPD di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2010).
Kenapa bisa begitu?
Bahwa sekitar 95% pasal-pasal yang ada di Batang Tubuh UUD 1945 diubah total, diganti — kalau tidak boleh mengatakan diobrak-abrik. UUD 1945 dibongkar. Ini hasil penelitian Prof Kaelan, Guru Besar Filsafat dari UGM, Yogyakarta.
Seyogianya, naskah asli konstitusi warisan Pendiri Bangsa tetap utuh. Jika ada penyempurnaan atau amandemen karena faktor lingkungan strategis yang berubah, maka materi perubahan diletak pada adendum/tambahan/lampiran. Amerika (AS) contohnya, meski telah mengalami perubahan sebanyak 27 kali, namun akte kelahiran Negeri Paman Sam tetap orisinil. Asli.
Secara histori, naskah asli karya generasi tua, the Founding Fathers harus tetaplah ada. Dihormati. Kendati yang digunakan atau dioperasionalkan adalah adendum sebagai karya generasi penerus, produk terkini.
Gilirannya, selain antara Pembukaan UUD dengan pasal-pasal di Batang Tubuh tidak nyambung, substansinya justru meninggalkan Pancasila selaku Norma Hukum Tertinggi di republik ini.
Hingga saat ini, tidak sedikit elemen bangsa ini kurang memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Dikira semua baik-baik saja. Padahal, inilah ‘PERMASALAHAN (ISU) HULU’ yang tengah membelit bangsa dan negara ini. “Liberalisasi konstitusi.” Akhirnya, isu hulu tadi membidani apa yang disebut ISU-ISU HILIR sebagai residu. Turunan atau derivat saja, misalnya, isu korupsi, atau penguasaan hajat hidup orang banyak oleh asing, pembelahan bangsa, dan kegaduhan lain yang bersifat derivat. Sekali lagi, segenap anak bangsa nyaris diam. Entah kenapa.
Sebenarnya, ada hal-hal menarik yang melatarbelakangi revolusi senyap alias kudeta konstitusi warisan the Founding Fathers (Para Pendiri Bangsa). Misal, soal Invisible Hand yang membiayai revolusi (senyap). Itu agenda dan skema global. Jatuhnya Orde Baru hanya sasaran antara saja, tujuan pokoknya ialah kudeta konstitusi; atau, ada proxy agents yang hilir mudik di lorong-lorong kekuasaan sebagai tenaga ahli; ataupun kelompok ‘londo ireng’ yang turut meloloskan agenda asing tersebut, ini ditandai dengan didirikannya “Koalisi ORNOP Untuk Konstitusi Baru” pasca Orde Baru jatuh. Ornop itu akronim dari Organisasi Non Pemerintah (gabungan LSM). Dari namanya saja sudah bisa dibaca bahwa koalisi tadi bertujuan mengganti konstitusi dst.
Namun, untuk menyingkat paparan ini, kita langsung ke outcome (dampak) daripada kiprah UUD 2002 —istilah untuk UUD hasil amandemen— mengapa? Kalau membahas input, process dan output kudeta senyap ini, mungkin bisa bergelas-gelas kopi.
Adapun outcome revolusi senyap dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama: High Cost Politics
Ketika liberalisme dan kapitalisme mengabdi kepada pasar (bebas), maka harga-harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Negara absen alias tidak hadir dalam urusan publik. Apa boleh buat. UUD 2002 sudah bernapas liberal kapitalisme, maka implikasinya ialah kapitalisasi di semua lini, terutama aspek politik selaku epicentrum (lihat Pasal 6A Ayat 2 UUD NRI 1945 alias UUD 2002). Pasal ini menyebabkan politisasi di segala sektor dan lini. Kapitalisasi cuma salah satunya, karena ada kriminalisasi, intervensi, serta komersialisasi akibat politisasi.
Rezim —sistem dan aturan— tinggal menentukan target sesuai hasrat (kekuasaan) yang dibuat lewat citra, agitasi, propaganda dan pencitraan. Tentu, ada bandrol baik saat proses, ketika sudah duduk di kursi maupun jabatan yang diinginkan. No free lunch.
Kedua: Dominannya Kaum Pemilik Modal alias Oligarki
Tak bisa dielak, politik biaya tinggi (high cost politics) dengan segala implikasinya mengandung konsekuensi logis bagi para ‘pencari kerja’ (politisi, oknum dll) yang mutlak kudu punya modal cukup untuk meraih apa yang diinginkan. Jika tak cukup modal, jalan pintas — salah satunya ialah merapat pada kaum pemodal dan/atau oligarki. Investasi moral transaksional inilah yang kelak berbuah kebijakan. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, meski tak semuanya begitu. Ada yang hanya memilih jadi beking kegiatan ilegal karena tak punya akses ke oligarki, namun terdapat beberapa person yang mampu berselancar dalam gelombang survival of the fittest. Menempuh jalan sunyi, berbatuan, bahkan penuh onak dan duri. Jumlahnya tak banyak di setiap lembaga/instansi/badan. Mereka mencari ridha Illahi.
Ketiga: Korupsi Merajalela Karena Diciptakan oleh Sistem
Tatkala high cost politics merupakan titik permulaan dari ‘korupsi diciptakan oleh sistem’. Ini tak terjadi di jabatan politis belaka, tapi merambah pula di area nonpolitis, seperti di kedinasan, atau pada karir kelembagaan dst. Memang, meski tidak seterang benderang di ruang politik, tapi baunya tercium sampai luar, baik korupsi sejak perencanaan, saat rekruitmen – proses produksi – penjualan serta penempatan dan lain-lain.
Menjalarnya anekdot: ‘balik modal (break even point) dulu plus keuntungan’, hal itu mencerminkan kentalnya perilaku koruptif (akibat sistem). Nah, inilah titik mula kedua setelah politik biaya tinggi (high cost politics) sebagai titik pertama soal korupsi berjamaah serta merajalela.
Keempat: Bermunculan Dinasti Politik
Bahwa dinasti politik dan/atau politik dinasti sejak dahulu memang sudah ada (being), nyata (reality) dan berada (existence) baik di tingkat lokal maupun global. Faktor DNA, misalnya, atau talenta, garis keturunan dll dinilai sebagai faktor utama adanya dinasti politik. Dan praktik dinasti politik membutuhkan kesiapan dan persiapan yang tak pendek. Tidak tiba-tiba, bukannya ujug-ujug.
Akan tetapi, di era reformasi yang konstitusinya bernapas liberal kapitalisme ini, karena faktor konspirasi terpadu global-lokal berbekal propaganda, agitasi dan pencitraan — banyak dinasti politik muncul dan bermunculan tanpa persiapan. Mungkin sudah kehendak semesta, “Siapa naik panggung tanpa persiapan, ia bakal turun tanpa kehormatan”. Petruk dadi ratu. Enaknya cuma semalam, besok turun digelandang KPK. Kredo ini sungguh nyata, sebab banyak pejabat publik di ujung karirnya justru mengenakan rompi oranye. Terkena delik.
Kelima: Kegaduhan Tak Bertepi dan Bangsa Terbelah
Kalau jernih dan jujur mengamati, sejak pemilihan presiden/Pilpres kali pertama secara one man one vote dengan segala konsekuensi liberalnya, bangsa ini sebenarnya tercerabut dari akar budaya musyawarah untuk mufakat (Sila ke-4 Pancasila). Kalau dibilang kedaulatan di tangan rakyat karena memilih prrsidennya secara langsung, itu pembohongan struktural, kenapa? Sebab, di TPS hanya berlangsung lima menit saja. Usai pencoblosan, kedaulatan rakyat pindah ke partai politik (Parpol) cq Ketua Parpol. Hal ini ditandai dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 alias UUD 2002, serta besarnya peran Ketua Parpol dalam UU MD3 soal Pergantian Antar Waktu (PAW).
Retorika pun muncul, “Apa yang akan terjadi jika karena ‘sesuatu hal’, para Ketua Parpol bersandar kepada oligarki?”
Maka asumsi urutan pergeseran kedaulatan menjadi begini: “Kedaulatan Rakyat — Kedaulatan Parpol — Kedaulatan Oligarki?” OK. Let them think let them decide!
Jika dihitung sejak 2004 —Pilpres pertama secara one man one vote— bahwa semakin ke sini, kegaduhan dan keterbelahan bangsa kian tajam, lebar serta meluas. Apalagi ketika muncul istilah cebong – kampret, kadal gurun, termul, dan seterusnya.
Kegaduhan nyaris tak bertepi. Keterbelahan semakin mendalam. Persoalan ‘ijazah palsu’ sebagai isu induk misalnya, tambah lama bukannya mereda — namun isu tersebut justru beranak-pinak jadi isu-isu lain yang tak kalah seru dengan isu induknya. Timbul kluster baru kegaduhan, contohnya, ini kelompok pembenci, itu kelompok simpati, dan lainnya.
Keenam: Dan Lain-Lain
Demikianlah catatan kecil tentang dampak yang dirasakan publik pakibat revolusi senyap yang terjadi pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Tak ada maksud menggurui siapapun terutama senior dan para pihak yang berkompeten, sekadar sharing pengetahuan untuk bahan diskusi lebih lanjut, khususnya dalam rangka mencari solusi terbaik bagi bangsa dan negara.
Terima kasih.
**) MAP 010725, Grob__
Advertisement