Oleh: Agus Wahid

Hamas melakukan perlawanan hebat terhadap agresi Israel, khususnya di Gaza (Palestina). Maklum, penjajahan Israel sudah sangat melampaui batas (taghut). Fakta bicara, perlawanan Hamas tergolong adanya indikasi inviseable hand. Ada campur tangan Allah.

Bentuknya? Brigade Al-Qassam, sering diback up oleh kekuatan misterius: sosok yang tiba-tiba muncul, lalu meluluhlantahkan barisan bersenjata Israel yang terus berpatroli bahkan menggempur anak-bangsa Palestina. Ada juga, kekuatan burung hitam, yang banyak ditafsirkan sebagai ababil. Juga, terkirimnya pasukan Allah, dalam bentuk angin beliung yang begitu dahsyat, temperatur super panas, bahkan banjir bandang di sejumlah wilayah Israel.

Pendek kata, kekuatan agresi Israel di tengah bangsa Palestina babak-belur. Namun, fakta bicara, sederet kekalahan petempur Israel tak membuat negeri Zionis introspeksi. Yang terjadi, malah memanfaatkan gencatan senjata beberapa hari antara Israel-Hamas justru digunakan untuk lebih meningkatkan agresinya: menggempur anak bangsa Palestina. Sebuah kelakuan Zionis yang memang pengkhinat. Tak bisa dipegang janji politik damainya.

Semua itu dibaca dengan cermat oleh Iran. Negeri “Mullah” ini, terus menunjukkan keberpihakannya terhadap nasib bangsa Palestina. Tentu, dengan grafik yang berbeda: terus meningkat.

Dasar Israel yang memang berkarakter congkak. Di tengah tekadnya yang terus terobsesi membumihanguskan anak bangsa Palestina, Netanyahu mengancam sejumlah negara: jangan coba-coba membantu Palestina. Sikap yang bernada ancaman ini dijawab Ali Khamenei: atas nama panggilan keumatan (Islam), Iran akan membantu kepentingan Palestina. Jawaban Iran dibalas dengan serangan Israel terhadap fasilitas militer dan nuklir utama Iran. Itulah sebuah peritiwa pada 13 Juni 2025.

Iran yang sudah berbenah diri pasca berakhirnya konflik Iran – Irak pada 20 Agustus 1988, terpanggil untuk menunjukkan supremasinya sebagai negara digdaya karena kepemilikan ribuan senjata nuklirnya. Sebuah reaksi yang luput dari bacaan Israel Zionis, bahkan AS yang saat ini dipimpin Donald Trump.

Dunia terkejut. Tak menyangka kedigdayaan Iran yang membangun kekuatan strategis dari sisi persenjataan militernya yang super canggih. Kita saksikan, serangan ribuan rudal balistik, hypersonic dan drone ke wilayah Israel mengakibatkan luluh-lantah sarana dan prasarana resmi pemeritahan Israel, termasuk gedung-gedung bisnisnya. Baru-baru ini, instalasi perairan utama di Haifa (Israel) pun terkena rudal.

Melalui sejumlah video yang beredar secara interansional, bumi Israel sudah tak terlihat permukaan yang sedap dipandang mata. Tetumpukan yang terhampar luas hanyalah puing-puing bangunan yang tak layak dihuni. Seperti tak ada lagi kehidupan di wilayah-wilayah metropolitan Israel, baik di Telaviv, Heifa, Kirya dan lainnya.

Reruntuhan puing dari gedung-gedung pencakar langit mengkibatkan penduduk Israel diperhadapkan krisis air bersih. Mereka yang tidak segera menyelamatkan diri terbang ke luar negeri, diperhadapkan bencana kelaparan dan kehausan yang meluas. Belum seberap dibanding anak bangsa Palestina yang sudah beberapa dekade dihimpit kekurangan pangan dan air.

Dampak dari itu semua, kini warga Israel memandang rezim Benyamin Nenatnyahu dan para pasukan Israel yang terdiri dari Angkatan darat, Udara dan Laut (Tsahal atau Tzahal) menjadi musuh bersama (the common enemy). Mereka melawan hegemoni rezim Netanyahu dan pasukannya yang terkenal bengis dan super kejam. Bukan hanya caci-maki, tapi rakyat Israel pun melempari pasukannya. Kenadaraan-kendaraan militernya pun menjadi sasaran amuk massa.

Kini, Netanyahu dan pasukannya diperhadapkan krisis ketidakpecayaan publik (public distrust) yang meluas. Bahkan, kini pun sedang meluas perang saudara. Itu semua akibat bombardir Iran yang tiada henti. Rakyat Israel meraung-raung minta Iran untuk menghentikan serangannya. Sementara, Iran tak bisa indahkan tangisan mereka. Karena, Netanyahu masih menunjukkan sikap pongahnya. Juga, belum menunjukkan sinyal goodwillnya terhadap hak-hak dasar bangsa bangsa Palestina menjadi negara merdeka.

Yang perlu kita catat, serangan Iran terhadap Israel membuka kesadaran berbagai elemen dunia. Masyarakat internasional yang tampak di beberapa negara Eropa, bahkan AS – secara heroik – tergerak untuk menunjukkan keberpihakannya untuk Palestina merdeka. “Free Palestine” menggema di berbagai sudut kota di Eropa dan Amerika. Kalau ditotal jumlahnya bisa mencapai jutaan orang.

Itulah realitas politik pro Palestina. Sunnatullah dukungan politik mereka. Mereka bukan hanya sudah muak dengan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel dan para Sekutunya. Tapi, memang sudah mencapai titik jenuh kemuakannya. Reaksi masyarakat internasional itu pun kini masuk ke walayah perdebatan di parlemen mereka. Sebagian pemimpin dunia yang masih pro Israel kini sedang diperhadapkan realitas anti-semitis (Yahudi) yang memang bromocorah (perusak dunia).

Itulah realitas yang membuat Joe Biden dan Barrack Obama mengancam akan membongkar keboborokan Trump jika tetap membela Israel, apalagi menyerang Iran lagi. Ancaman dua mantan Presiden AS – jika tak diindahkan – akan menjadi masalah serius bagi masa depan kepemiminanya di negeri Paman Sam itu. Sekali lagi, jika Trump mengabaikan peringatan Biden dan Obama, rakyat Amerika akan semakin massif berunjuk rasa. Dan itu berarti mempercepat kejatuhan Trump. Sejumlah sekitar 7,5 juta orang (2,5%) warga negara AS yang berdarah Yahudi sulit menghadapi kekuatan massif dari anasir non Yahudi.

Posisi sulit Trump dan dominasi para pemimpin negara-nerara Eropa yang juga dilematis untuk tetap berpihak pada Israel membuat Iran semakin kuat positioningnya. Positioning Iran itu juga mampu mengubah peta politik dunia Islam dan negara-negara Arab. Mereka menunjukkan sikap kebersatuannya bersama Iran. Meski beberapa waktu lalu, Qatar sempat tersinggung akibat pangkalan militer AS di al-Ubaid digempur. Namun, negara kecil Qatar (hanya seluas 11.851 km2) langsung menunduk karena nasehat politik Saudi Arabia. Catatan menunjukkan, Saudi Arabia saat ini totally support kebijakan Iran anti Israel.

Peta politik dunia Islam dan negara-negara Arab menunjukkan Iran kini tercatat sebagai protektor kepentingan umat dunia Islam. Bisa dikatakan baru kali ini terjadi dalam catatan abad modern. Meski Iran tidak menyatakan diri sebagai the leader of Islamic World Countries, kini sikap politik luar negeri Iran menjadi acuan bagi negara-negara Islam dan dunia Arab.

Yang perlu kita analisis dalam konteks globalisme, Iran sebagai the balance of power. Meski kini Iran bersekutu dengan Korea Selatan, Rusia, China dan Pakistan, tapi persekutuan itu mampu mampu mereduksi hegemoni AS dan Eropa yang telah berlangsung sejak Uni Sovyet bubar pada 25 Desember 1991. Sejarah mencatat, bubarnya Uni Sovyet menjadikan tiadanya balance of power, digantikan oleh kekuatan hegemonic Barat (AS dan Eropa). Mereka pun sering mendikte kepentingan straregisnya, tanpa perlawanan berarti. Itulah risiko kedigdayaan tunggal.

Perubahan geopolitik itu kiranya perlu dicatat sebagai prestasi politik internasional di bawah dinamo penggerak Iran. Sebuah renungan, apakah Iran akan menggunakan daya ekspansifnya untuk menaklukkan sejumlah negara di sekitarnya? No. Islamisme yang dikembangkan pemerntahan Iran tetap menghormati kedalautan negara-negara sekitar, termasuk aliran keberagamaannya. Iran lebih terpanggil untuk menjaga marwah umat Islam. Jika ada pihak yang mempertentangkan Syiah versus Sunni, itu hanyalah propaganda politik culas yang berusaha mendeskreditkan Iran, sekaligus sikap alergisnya terhadap kejayaan kembali Islam di tataran dunia internasional.

Harus kita cermati, kejayaan kembali Islam bukanlah malapataka, tapi justru karunia untuk berbagai bangsa di dunia ini. Inilah misi besar rahmatan lil`alamin Islam saat tampil di panggung dunia. Mirip seperti gambaran Islam pada masa keemasan pada abad VIII hingga XIII. Ditandai dengan puncak capaian keilmuan dan peradaban.

Saatnya, kita bermuhasabah. Apa yang membuat Iran berjaya secara sain dan teknologi. Jika kita telisik para pribadi mullah yang menjadi panutan dan penentu kebijakan, kita saksikan keyakinan penuh dalam beragama. Agama bukan hanya untuk praktik amaliah-ukrawiyah semata yang bersifat privat, tapi bersikap tegas bagaimana berhidup di alam dunia ini, berdimensi holistik, berpektrum dunia. Dan serangkaian prinsip itu diterjamahkan secara implementatif dalam sistem ketatanegaraan. Sistem theokrasinya untuk kemakmuran yang berkeadilan, kejayaan dan kemajuan negaranya. Inilah totalisme berislam yang dapat kita petik dari bumi Iran.

Totalisme itu tidaklah berarti memasung hak-hak keberbedaan rakyatnya. Namun, sebagai negara, para mullah berkepentingan untuk memarwahkan dinul Islam dalam dimensi nilai-nilai universal, yang sesungguhnya menjadi kebutuhan asasi setiap umat manusia. Fitrah. Inilah sikap keberagamaan yang banyak hilang dari berbagai belahan dunia Islam. Akibatnya, mudah terkooptasi oleh kekuatan asing, dalam wajah Yahudi atau lainnya.

Kita bersyukur. Sebagai muslim dla`if masih bisa melihat Iran yang – sejak berkonstitusi Islam per 1 April 1979 – mampu melepaskan diri bahkan melawan politik kooptasi dan hegemoni Barat yang terkenal dengan kebijakan stick and carrot itu: gempur jika melawan. Atau, suapin dengan fasilitas tak terbatas jika manut. Keberanian Iran yang konsepsional dan berintegritas dalam keberagamaan, akhirnya kita saksikan kedigdayaannya. Iran memang fenomenal. `Ajiib… Maasyaa Allaah….

Bekasi, 05 Juli 2025
Penulis: Analis Politik
Advertisement

Tinggalkan Komentar