Oleh: Abdul Karim
Peneliti Senior PolisInstitute
https://chat.whatsapp.com/FZkj9IbMowU8vHfnZgKrje
“Sejak 1948, bahkan satu pesawat pun tidak pernah berani terbang di atas Tel Aviv,” ujar Rafiq Nasrallah, penulis dan analis politik Lebanon, dalam nada yang tak sekadar mencatat fakta militer, melainkan juga membunyikan lonceng sejarah yang telah lama berdengung tanpa gema. Kata-katanya muncul dalam gelombang euforia yang dirasakan sebagian dunia Arab dan Muslim setelah Iran meluncurkan serangan rudal langsung ke wilayah Israel, termasuk dekat Tel Aviv. Sebuah peristiwa yang bukan hanya mengguncang langit Israel, tetapi juga membongkar mitos kekebalan militer dan membuka lembaran baru dalam perimbangan kekuatan kawasan. Bagi sebagian besar dunia, itu hanyalah sebuah insiden strategis. Bagi banyak lainnya, terutama yang telah lama hidup di bawah bayang-bayang ketakberdayaan, ini adalah peristiwa yang memberi mereka semangat baru, bahwa hegemoni bukanlah takdir.
Serangan itu bukan peristiwa militer biasa. Ia adalah simbol yang lama dinantikan. Serangan Iran ke jantung teritori Israel bukan sekadar aksi balas dendam atas penyerangan ke konsulatnya di Damaskus, melainkan pesan terbuka kepada dunia: bahwa kekuatan tidaklah abadi bila hanya bergantung pada dominasi teknologi dan perlindungan sekutu adidaya. John Mearsheimer dalam The Tragedy of Great Power Politics menjelaskan bahwa negara-negara besar tidak bisa berpuas diri dalam sistem internasional anarkis. Mereka harus terus memperluas kekuatan mereka untuk bertahan. Ketika Iran bertindak, ia tidak hanya merespons serangan, tetapi merebut ruang strategis dalam lanskap politik global—menyatakan bahwa regional hegemony Israel kini punya penantang serius yang memiliki kapasitas, kemauan, dan keberanian untuk melakukan apa yang selama ini hanya jadi retorika kosong dunia Arab.
Namun, serangan itu juga bukan hanya soal rudal dan radar. Ia adalah pernyataan keberanian yang lahir dari suatu formasi ideologis yang lama diasah dalam bara revolusi. Alastair Crooke dalam Resistance: The Essence of the Islamist Revolution menulis bahwa inti dari Revolusi Islam Iran adalah “menantang modernitas Barat yang telah kehilangan nilai manusia dalam politiknya.” Bagi Iran, perlawanan bukan sebatas kalkulasi geopolitik, tetapi perwujudan makna eksistensial—kembali kepada telos manusia sebagai makhluk yang diciptakan untuk keadilan, bukan dominasi. Dalam kerangka ini, keputusan untuk menyerang Tel Aviv bukan sekadar keputusan militer, melainkan tindakan filosofis dan spiritual. Ketika dunia Arab tercerai berai oleh kompromi dan ketakutan, Iran justru menunjukkan bahwa keberanian bisa dibangun dari nilai, bukan hanya dari kekuatan senjata.
Kata-kata Nasrallah membuka luka lama dalam ingatan dunia Arab. Sejak Nakba 1948, pendudukan Israel atas Palestina dibalut dalam narasi tak terkalahkan. Dunia Arab kalah perang demi perang. Ketika Mesir berdamai dengan Israel, dan banyak negara mengikuti jalur normalisasi demi keuntungan ekonomi dan jaminan stabilitas, hanya sedikit yang tersisa untuk bermimpi tentang kedaulatan sejati. Kebanyakan pemimpin Arab memelihara ketakutan dan menyamarkannya sebagai kebijaksanaan. Maka ketika rudal Iran menembus pertahanan udara paling canggih di Timur Tengah, dan mendekati pusat kekuasaan Israel, bukan hanya alarm yang berbunyi di Tel Aviv—tetapi juga harapan yang bangkit di Gaza, Beirut, Baghdad, dan mungkin di jantung rakyat Yaman dan Suriah yang masih bertahan di bawah reruntuhan.
Bagi Mearsheimer, dalam dunia tanpa pengatur mutlak, hanya kekuatan yang menentukan posisi. Kekuatan itu tidak selalu harus datang dalam bentuk superioritas militer teknis. Dalam hal ini, Iran memainkan peran klasik negara yang berusaha mendobrak status quo regional dan menantang dominasi satu aktor tunggal—Israel—yang selama puluhan tahun menikmati keistimewaan impunitas strategis. Dan yang lebih mengesankan: tindakan itu dilakukan tidak dengan sokongan dari koalisi negara besar, tetapi sebagai ekspresi kedaulatan yang dibentuk dari perjuangan internal. Bagi Crooke, perlawanan ini adalah bagian dari narasi “penemuan kembali makna manusia” yang tak tunduk pada nihilisme liberal atau rasionalitas instrumental Barat yang mengukur segala hal dari laba dan dominasi.
Serangan rudal itu juga membongkar sebuah ilusi yang telah lama dipelihara oleh banyak kekuatan internasional: bahwa stabilitas Timur Tengah hanya bisa dijaga melalui penjinakan Iran dan normalisasi dengan Israel. Ternyata tidak. Stabilitas semacam itu, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah, adalah bentuk ketidakadilan yang diperhalus, sebuah kedamaian palsu yang dibangun di atas penderitaan yang dibungkam. Ketika Iran membombardir wilayah Israel secara langsung, ia sedang menghancurkan ilusi moral dan strategis itu. Ia memaksa dunia melihat kembali siapa yang selama ini menjadi agresor, siapa yang selama ini tidak pernah diserang tetapi terus menyerang.
Tentu, bagi sebagian besar pengamat internasional yang terbiasa dengan kerangka liberal, tindakan Iran dianggap provokatif, membahayakan perdamaian, bahkan irasional. Namun, seperti ditunjukkan Crooke, pandangan semacam itu lahir dari kegagalan memahami cara berpikir dunia Islam—terutama Islam revolusioner. Revolusi Islam Iran memandang politik bukan sekadar arena tawar-menawar kepentingan, tetapi sebagai medium suci untuk menegakkan keadilan. Dalam pandangan ini, membombardir Tel Aviv adalah upaya meruntuhkan simbol penindasan dan bukan sekadar manuver militer. Dan justru karena itu, tindakan tersebut memiliki daya resonansi yang jauh melampaui efek destruktif rudalnya. Ia menggerakkan kesadaran, menyalakan kembali api yang telah lama padam.
Di mata banyak rakyat biasa yang telah lama merasa tak punya suara, tindakan Iran ini menegaskan satu hal penting: bahwa harga diri umat manusia, dan dalam hal ini umat Islam, tidak harus dikorbankan demi stabilitas semu atau mimpi integrasi ekonomi. Bahwa ada cara untuk mengatakan “tidak” yang tidak hanya terdengar, tetapi juga diperhitungkan. Dan bahwa ketakutan bukanlah nasib yang harus diwariskan lintas generasi. Di tengah kemunafikan global, di mana peluru-peluru yang membunuh anak-anak Gaza dibungkus dalam bahasa hak asasi manusia, satu rudal yang membelah langit Tel Aviv terasa seperti bait pertama dari bab baru dalam sejarah perlawanan.
Serangan itu mungkin tidak menghancurkan Israel secara fisik. Tapi ia telah mengguncang fondasi psikologis dari satu generasi yang terbiasa merasa tak tersentuh. Dan itu adalah kemenangan pertama bagi banyak orang yang telah lama merasa terkubur dalam kekalahan. Dalam kegelapan panjang sejak 1948, satu kilatan cahaya akhirnya menembus langit. Bukan karena menjanjikan akhir penderitaan, tetapi karena memberi keberanian untuk bermimpi dan berjuang kembali. Seperti yang dikatakan Nasrallah, “Akan tiba waktunya untuk mengatakan kebenaran.” Dan barangkali waktu itu telah tiba.
Jakarta, 14 Juli 2025
Daftar Pustaka:
Crooke, Alastair. Resistance: The Essence of the Islamist Revolution. Pluto Press, 2009.
Mearsheimer, John J. The Tragedy of Great Power Politics. Updated Edition. W. W. Norton & Company, 2014.