Oleh: Timothy Apriyanto

Ekonomi Indonesia pasca kemerdekaan Republik Indonesia dirancang dengan semangat kemandirian, keadilan sosial, dan kesejahteraan bersama. Arah ini tertuang dalam gagasan Ekonomi Pancasila, sebuah paradigma yang menggabungkan efisiensi pasar dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Namun, dalam praktiknya sejak Orde Baru hingga era kontemporer, arah pembangunan ekonomi Indonesia perlahan tapi pasti mengalami deviasi yang tajam: dari ekonomi berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa menjadi ekonomi yang cenderung predatoris, yakni sebuah sistem di mana segelintir elite (baik lokal maupun global) mengeruk keuntungan besar dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak dan keberlanjutan.

Ekonomi Pancasila merupakan gagasan khas Indonesia yang pertama kali dirumuskan secara serius oleh Prof. Emil Salim, Prof. Mubyarto, dan para ekonom UGM pada 1970-an sebagai alternatif dari sistem ekonomi kapitalis-liberal maupun sosialis-komando. Namun Ekonomi Pancasila kini makin nampak sebagai cita-cita yang terpinggirkan. Ciri utama praktik Ekonomi Pancasila bisa dilihat dari hadirnya semangat demokrasi ekonomi yang bisa dilihat dari adanya partisipasi rakyat dalam proses produksi dan distribusi berkeadilan. Masihkah kita bisa merasakan partisipasi tersebut secara sistemik dalam sistem perekonomian Indonesia?

Ciri berikutnya adalah hadirnya koperasi sebagai sokoguru dan bukan sekadar pelengkap, tetapi benar-benar merupakan alat utama dalam pengorganisasian ekonomi rakyat. Kita melihat dan merasakan bahwa koperasi cenderung hadir sebagai bentuk program kelembagaan dan bukan sebagai spirit apalagi sebagai pilar utama ekonomi kerakyatan. Ciri lainnya yang sekaligus prinsip demokrasi Pancasila adalah hadirnya negara sebagai pengatur dan pelindung yang proaktif, terutama dalam sektor-sektor strategis. Alih-alih negara hadir sebagai pengatur dan pelindung ekonomi berkeadilan, justru kepentingan negara untuk memajukan kesejahteraan umum sering takluk oleh kepentingan investasi modal secara pragmatis.

Perekonomian dengan sistem Ekonomi Pancasila berorientasi pada kesejahteraan, bukan sekadar pertumbuhan. Namun, dalam implementasinya, prinsip-prinsip ini sering dikesampingkan, terutama sejak Indonesia memasuki gelombang liberalisasi ekonomi yang semakin dalam setelah krisis 1998 dan program-program reformasi struktural IMF.

Kapitalisme sebagai bagian dari realita sistem ekonomi telah mengalami berbagai transformasi sepanjang sejarahnya, dari bentuk laissez-faire klasik hingga bentuk neoliberal kontemporer. Dalam spektrum ini, muncul varian yang lebih agresif dan eksploitatif, yaitu Kapitalisme Predatoris (Predatory Capitalism). Bentuk kapitalisme ini dikritik karena mengejar keuntungan tanpa batas melalui eksploitasi sumber daya, manusia, dan kebijakan negara.

Adam Smith (1776, The Wealth of Nations), sebuah kapitalisme yang menyerukan kebebasan pasar tanpa intervensi negara disebut Kapitalisme Laissez-faire, yang ditulis dalam kutipan: “It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker, that we expect our dinner, but from their regard to their own interest.” Seiring perkembangan revolusi industri di Eropa dan Amerika, yang fokus pada produksi massal dan manufaktur, muncullah suatu bentuk kapitalisme industri didominasi oleh akumulasi modal dalam sektor produktif.

Pada perkembangan model kapitalisme terjadi hibridisasi antara perencanaan negara dan mekanisme pasar yang disebut Kapitalisme Negara (State Capitalism). Negara mengambil peran dominan dalam kepemilikan dan kontrol atas perusahaan dan sumber daya (contoh: Tiongkok modern). Dimulai sejak 1970-an oleh tokoh seperti Milton Friedman dan Friedrich Hayek, muncul kapitalisme neoliberal yang menyerukan deregulasi, privatisasi, dan pengurangan peran negara, dengan ungkapan populer “There is no such thing as a free lunch.” – Milton Friedman. (…)

Advertisement

Tinggalkan Komentar