Oleh: Dikdik Sadikin


“Jangan hitung hari-harimu dengan angka, hitunglah dengan cahaya yang telah kau nyalakan dalam kehidupan orang lain.”
– Rabindranath Tagore


DI USIA SERATUS, sebagian manusia telah menjadi catatan kaki sejarah. Tapi Tun Dr. Mahathir Mohamad masih menulis lembarannya sendiri.

Dalam dunia yang mengira umur panjang datang dari laboratorium atau ramuan mistik, Mahathir berjalan tegak di usia satu abad. Tanpa tongkat, tanpa kursi roda, tanpa ragu untuk terus berpikir, tanpa keluhan sendi yang jadi syarat umum usia renta, dan berbicara seolah waktu tak pernah benar-benar tua. Bukan karena ia kebal usia, tapi karena ia sahabat kedisiplinan.

Kita menyebutnya anomali. Ia menyebutnya kebiasaan.

Mahathir hadir sebagai pengingat: bahwa umur bisa diperpanjang oleh niat, oleh pikiran yang terus bekerja, dan tubuh yang tak malas bergerak. Barangkali inilah yang disebut “menunda tua”. Bukan dengan menyembunyikan keriput, tapi dengan terus mengisi hidup dengan makna.

Bagaimana menjelaskan tubuh yang bertahan seratus tahun, tetap berfungsi seperti jam tangan Swiss, presisi dan berdetak pelan? Mungkin jawabannya bukan pada ramuan dari Himalaya atau suplemen canggih dari farmasi Eropa, tapi justru pada hal yang paling sederhana: ketekunan.

Mahathir adalah bukti hidup bahwa usia tua tak harus identik dengan ketergantungan. Dalam wawancara yang ringan namun menyengat, ia menyebut kuncinya: jangan duduk terlalu lama, jangan makan terlalu banyak, jangan berhenti berpikir. Sebuah trilogi sederhana, tapi diabaikan mayoritas manusia modern.

Kita, generasi rebahan yang mendewakan me time. Kita hidup dalam paradoks: ingin panjang umur, tapi enggan berjalan kaki. Ingin sehat, tapi malas berpikir. Ingin kuat, tapi takut berkeringat. Padahal, seperti kata Nietzsche, “Tubuh adalah puisi yang harus terus ditulis ulang.”


Disiplin dan Tubuh yang Diingat Tuhan

Mahathir tak merokok. Tak minum alkohol. Berat badannya tetap 62 kg selama lebih dari setengah abad, angka yang lebih stabil daripada inflasi. Ia tidur cukup, bangun pagi, sesekali tidur siang, dan yang paling penting: tetap punya tujuan.

Laporan World Health Organization (2023) mencatat bahwa healthy life expectancy atau usia harapan hidup sehat di Asia Tenggara rata-rata hanya 63 tahun. Di Malaysia, angka itu mencapai 67 tahun. Tapi Mahathir hidup sehat jauh di atas ambang itu. Ini bukan soal genetik. Ini tentang cara berpikir dan mengelola diri. Disiplin adalah doa yang ditunaikan lewat tubuh.

Sayangnya, kedisiplinan ini semakin langka di dunia modern yang makin nyaman, namun makin tak bergerak. Kita memasuki era yang disebut para ahli sebagai era sedentari atau gaya hidup minim aktivitas fisik. Terlalu lama duduk, dan jarang menggerakkan tubuh. Seharian di kursi kantor, malamnya di sofa empuk menonton layar. WHO menyebut gaya hidup sedentari (sedentary lifestyle) sebagai “pandemi diam-diam” karena dampaknya yang luas: dari obesitas, diabetes, hipertensi, hingga penurunan fungsi otak. Dalam hidup seperti itu, tubuh berhenti menulis puisi harian dan berubah menjadi mencatat rekaman medis.

Di Jepang, negeri para centenarian, kebiasaan makan dalam porsi kecil, dengan istilah hara hachi bu atau makan hanya sampai 80% kenyang, berjalan kaki, dan hidup bermakna, membuat Okinawa dijuluki sebagai “Zona Biru” tempat orang hidup lama. Bukan karena mereka ingin panjang usia, tapi karena hidup mereka memang belum selesai.


Panjang Umur, Tapi Untuk Apa?


Mahathir tak hanya hidup lama. Ia tetap hidup dalam arti yang sesungguhnya: berpikir, menulis, berbicara, dan mengambil peran. Banyak yang berumur panjang, tapi tidak hidup. Mereka hidup dalam reruntuhan waktu yang hampa makna.

“Kalau hidupmu berguna, kamu akan terus ingin hidup,” katanya. Kalimat ini menggemakan Viktor Frankl, dalam bukunya Man’s Search for Meaning (1959), bahwa manusia bisa bertahan dalam penderitaan jika hidupnya memiliki tujuan. Gagasan ini juga bergema dalam sabda Nabi Muhammad SAW:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”.

Maka hidup yang panjang tidak cukup, jika tidak dibarengi dengan kebermanfaatan. Dan Mahathir memilih untuk terus bermanfaat, di usia yang membuat banyak orang memilih diam.

Dan Mahathir punya tujuan, bahkan ketika jantungnya sudah dioperasi tiga kali. Ia pernah terinfeksi paru-paru, pernah dilanda badai COVID, tapi tak menyerah pada tubuhnya. Banyak dari kita, baru saja terkena flu sudah merasa dunia akan berakhir.


Kebiasaan Kecil yang Terlupakan

Hidup sehat bukan tentang makanan organik yang seharga motor, atau keanggotaan di gym elite. Mahathir menunjukkan bahwa cukup dengan menolak satu sendok nasi tambahan dan memilih berjalan kaki alih-alih stres, kita sudah mulai menyelamatkan hidup.

Studi Harvard tentang kebahagiaan (Harvard Study of Adult Development) menunjukkan satu hal sederhana: orang yang hidup sehat dan bahagia adalah mereka yang punya hubungan sosial yang bermakna dan hidup yang terstruktur. Tidak perlu serum anti-aging atau meditasi sembilan jam sehari. Cukup tidur yang cukup, makan sewajarnya, berpikir positif, dan berbuat sesuatu yang punya dampak.

Mahathir memilih berjalan saat stres. Bukan marah di Twitter atau memaki pemerintah dari sofa. Ia memilih berpikir saat dunia kebingungan, dan diam saat dunia berisik. Menjadi tua, kata Simone de Beauvoir, adalah sebuah perlawanan terhadap kepunahan perlahan. Tapi Mahathir tampaknya malah menunda itu dengan cara yang elegan.


Belajar dari Mahathir, Bukan Memujanya


Ia bukan pahlawan super. Tak punya serum dari Wakanda. Tapi ia tahu caranya hidup panjang dengan martabat. Bukan dengan memperpanjang napas, tapi memperluas manfaat hidup itu sendiri.

Sebaliknya, kita terlalu sibuk mencari shortcut. Padahal seperti kata Mahathir, “Saya sehat karena saya tidak makan banyak.” Kalimat yang terdengar biasa, tapi mengandung revolusi diam-diam.

Kita mau awet muda tanpa mau awet niat. Ingin hidup seperti Mahathir, tapi tak siap menolak gorengan atau menunda scrolling.

Mungkin benar kata Albert Einstein, “Hidup seperti mengendarai sepeda. Agar seimbang, kamu harus terus bergerak.” Dan Mahathir, dengan tubuh 100 tahun dan semangat yang tak lapuk, tetap mengayuh. Pelan, tapi pasti.

Kita? Baru hidup setengah jalan, tapi sudah letih. Sudah ingin pensiun dari berpikir. Sudah menyerah sebelum waktunya.

Ketika usia panjang sering kali berarti istirahat panjang, Mahathir justru terus berfungsi. Ia seperti jam yang tak sekadar berdetik, tapi juga sebagai alarm beker yang terus membangunkan.

Ia hidup bukan hanya napas yang panjang, tapi juga pikiran yang dalam. Ia tak meminta hidup seratus tahun. Tapi karena ia tetap berguna, waktu pun seolah menunda kewajibannya.

Kita terlalu sering menghitung usia dengan kalender, lupa bahwa hidup tak diukur dari berapa lama kita hidup, tapi seberapa kita memberikan makna kepada hidup di antara waktu yang diberikan. Kita lebih takut uban daripada kehilangan makna. Kita lebih khawatir keriput daripada kehampaan.

Mahathir mengajarkan bahwa yang harus ditunda bukan sekadar tua, tapi ketiadaan gairah hidup. Dan menunda tua bukan soal wajah tanpa kerut, tapi semangat tanpa jeda.

Jika hari ini kita masih bisa berjalan, makan enak, dan tertawa, maka itu bukan hal biasa. Itu karunia. Maka jagalah. Rawatlah. Mulailah dari hal-hal kecil: jalan kaki usai makan, tidur cukup, menolak satu gorengan, atau belajar bilang “cukup” sebelum perut berkata “tolong”.

Hidup sehat bukan tentang umur berapa lama lagi kita mati, tapi seberapa manfaat kita sebelum mati. Mahathir telah membuktikan itu.

Ia tidak menaklukkan usia. Ia hanya bersahabat dengannya, dengan cara yang paling manusiawi: hidup dengan penuh kesadaran. Dan mungkin, itulah definisi umur panjang yang sesungguhnya.


Bogor, 15 Juli 2025

Advertisement

Tinggalkan Komentar