Oleh: Peter F. Gontha

Vonis 4,5 tahun penjara terhadap Thomas “Tom” Lembong menyisakan luka yang dalam—bukan hanya bagi pribadi yang dijatuhi hukuman, tetapi bagi seluruh publik yang masih percaya bahwa hukum adalah tempat terakhir berpijaknya keadilan. Tom adalah seorang teknokrat—bukan politisi partisan, bukan pelobi, bukan pemain lama dalam sirkuit kuasa. Ia dikenal bersih, tajam secara intelektual, dan konsisten mengedepankan akal sehat dalam kebijakan.

Namun hari ini, ia dijadikan simbol “kesalahan” dalam perkara impor gula putih—komoditas yang telah lama menjadi arena kotor tarik-menarik kepentingan antara birokrasi, pengusaha, dan politisi. Dalam skema yang sudah berlangsung bertahun-tahun, dengan praktik yang dilakukan lintas pemerintahan, Tom bukanlah aktor sentral. Tapi dialah yang dihukum.

Dan ini bukan terjadi dalam ruang kosong.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tekanan politik tidak selalu datang melalui jalur terang. Sebelum ini, bahkan tokoh sekelas Airlangga Hartarto pun sempat disebut-sebut mendapat tekanan politik serupa: jika tidak mundur dari posisi pentingnya, maka kasus-kasus hukum yang mengendap bisa ‘dihidupkan’. Apakah ini sekadar kebetulan, atau bagian dari skema sistematis yang memakai hukum sebagai alat kontrol dan intimidasi?

Kalau hari ini Tom dijatuhi hukuman karena “kesalahan administratif” dalam kebijakan publik, lalu bagaimana dengan mereka yang secara terang benderang mengatur kuota, bermain dalam kartel, atau membiarkan mafia gula merajalela?
Mengapa mereka tidak tersentuh?
Siapa sebenarnya yang sedang dilindungi? Siapa pula yang sedang ditumbalkan?

Kita sedang diuji—bukan hanya dalam kesabaran, tapi dalam ingatan kolektif.

Benar, memori publik bisa pendek. Hari ini heboh, besok terlupa. Tapi sejarah tidak demikian. Sejarah mencatat. Luka masyarakat tidak sembuh hanya karena waktu berlalu. Ia mengendap, lalu muncul kembali di generasi berikutnya. Kasus-kasus yang tampak tenggelam dalam 10, 20, atau bahkan 30 tahun lalu—sering kali muncul kembali, dengan nama-nama baru, tapi pola lama.

Mereka yang hari ini menekan orang baik demi mempertahankan kuasa, akan dikenang bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai pengkhianat keadilan. Dan masyarakat Indonesia tidak akan diam terus-menerus.

Rakyat semakin cerdas. Media sosial tidak tidur. Generasi muda merekam semuanya—dari cara jaksa bertindak, hakim memutus, hingga siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan. Mungkin mereka tidak bereaksi hari ini, tapi percayalah, hukum yang manipulatif akan meninggalkan jejak dendam sejarah yang panjang.

Dan kelak, ketika kekuasaan berganti, semua pertanyaan yang hari ini ditutup akan kembali dibuka.
Semua aktor yang hari ini bersembunyi di balik layar akan ditarik ke terang.
Semua korban kriminalisasi akan mendapatkan pembelaannya.

Vonis terhadap Tom Lembong bukan akhir cerita. Ini adalah awal babak baru—bukan hanya bagi perjuangan keadilan, tapi juga bagi rakyat yang sudah muak melihat hukum dipakai sebagai senjata politik.

Hari ini mungkin milik mereka yang berkuasa. Tapi esok adalah milik mereka yang tidak lupa.

Foto: hukumonline.com

Advertisement

Tinggalkan Komentar