Karena banyaknya warisan dari para pendahulu dan nenek moyang, hari ini kita menerima warisan tersebut sebagai tumpukan. Kalau kita tangkas mengelola tumpukan tersebut, dia bisa sedikit terstruktur. Kalau tidak tangkas, warisan itu lebih sebagai kerancuan.
Keduanya berjalan bersamaan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa yang terjadi adalah kontestasi antara “yang sedikit terstruktur” dengan “kerancuan”. Setiap periode rezim, sejak zaman kolonial penjajah, hingga kini, selalu terjadi dengan dominasi yang bergantian. Tampaknya kini, manusia rancu jauh lebih dominan.
Di tambah dengan teknologisasi (digitalisasi) kehidupan, kadang biasa pula disebut sebagai era disrupsi. Kemudian, disrupsi bisa pula dipahami sebagai gaya hidup. Mungkin dalam gaya hidup itu sebagian lebih sebagai strategi, sebagaian atas nama kebijakan, tapi bisa jadi atas nama kekacauan itu sendiri.
Salah satu pewarisan yang perlu disinggung adalah pewarisan magisme dan realisme. Magisme cukup beragam, realisme juga beragam. Ini juga mengindikasikan pewarisan Timur dan Barat. Ini juga mengindikasikan pewarisan tradisionalisme dan modernisme. Ini juga mengindikasinan berbagai bentuk “dikotomis” dan “kontradiktif” lainnya.
Hidup dan dunia harus berjalan terus. Yang mampu menata warisan, “yang sedikit terstruktur” sebagian bisa menjadi manusia “kosmopolit” (dalam berbagai variannya). Yang tidak mampu menata warisan, jadilah manusia-manusia rancu (juga dalam berbagai variannya).
Seperti disinggung di atas, yang berbahaya adalah ketika manusia rancu justru tampil dominan. Manusia rancu akan mengacaukan ruang dan waktu, yang berimplikasi pada identitas. Manusia rancu juga sering tidak sadar atau tidak tahu, mana ruang privat dan mana ruang publik.
Sekarang, itulah yang sering dan sedang terjadi. Pada tataran masyarakat awam atau rakyat, kekacauan ruang waktu, identitas, ruang privat dan publik, tentu sangat berbahaya. Kekerasan dan berbagai kejahatan yang banal adalah arena dan muara yang kita terpaksa hidup di dalamnya.
Yang lebih berbahaya adalah kekacauan yang datang dari mereka yang dianggap terpelajar, dan terutama para elit dan pemimpin, di levelnya masing-masing. Kekacauan dan kejahatan bukan karena kondisi terpaksa seperti yang dilakukan para rakyat. Kekerasan dan kejahatan justru hadir karena sesuatu yang dipikirkan dan direncanakan. Ini sangat mengerikan.
Kita bisa membayangkan jika manusia rancu tersebut justru adalah para pemimpin elit Indonesia, seperti presiden dan wakilnya, para menteri, para anggota DPR dan MPR, para pengusaha besar, bahkan, yang luar biasa, para seleb Indonesia.
Sekali lagi, inilah yang sedang terjadi. Kita hidup dalam ruang waktu yang disruptif. Acuan etika waktu dan ruang dipakai dan dimanfaatkan seenaknya. Identitas diberdayakan untuk pamer dan cari duit.
Yang lebih menggelikan lagi, bahwa manusia rancu tidak bisa membedakan mana hal privat dan mana hal publik. Publik mengganggu privat atas nama kebersamaan. Privat mengganggu publik atas nama cari makan.
Sebagai resikonya, kekacauan, kekerasan dan kejahatan, akan sering terjadi tidak mengenal tempat, tidak mengenal waktu. Seperti klitih di Yogya, yang hingga hari ini tidak bisa didentifikasi polanya, tempat dan waktunya. Klitih adalah cerminan kerusakan bangsa miskin.
Tentu ada pertanyaan berikutnya, bagaimana solusinya. Ini yang berat. Ruang-ruang pendidikan, yang selayaknya menjadi arena dan ruang “strukturasi” justru menjadi tempat dan cermin kekacauan struktur itu sendiri.
Saya berpikir, mungkin yang masih bisa diharapkan adalah komunitas-komunitas independen. Tentu berat, karena banyak komunitas yang berusaha independen hancur karena kuatnya dorongan dan tekanan manusia rancu.
Mereka yang benar-benar “masih rakyat” tentu sangat bisa diharapkan. Sedikit dengan sentuhan kasih sayang dan kebajikan, maka mereka akan menjadi bertransformasi menjadi manusia waspada.
Sayang, kasih sayang dan kebajikan pun akan diserang oleh manusia rancu. Tapi, tidak ada salahnya selalu berusaha. Nilai penting dari hidup adalah berusaha untuk mendapatkan hal yang, disepakati, ada sesuatu yang lebih baik.
Oh ya. Karya sastra yang bagus sangat bisa diharapkan untuk melakukan konsolidasi kontestasi antara “yang sedikit terstruktur” dan “manusia rancu. Sayangnya, tidak cukup banyak karya sastra yang bagus, tidak cukup banyak juga pembaca serius yang membaca sastra serius. @@@
Advertisement
