Catatan Agus M Maksum

Sidang Umum PBB tahun ini benar-benar pecah telor. Bukan karena ada resolusi baru, bukan pula karena Amerika tiba-tiba sadar diri, tapi gara-gara dua pidato: satu dari Donald Trump, satu lagi dari Prabowo Subianto.

Duel gaya dua presiden itu ibarat dua genre musik. Trump tampil seperti heavy metal—gaduh, penuh teriakan, sarkasme di sana-sini. Prabowo datang dengan gaya simfoni—tenang, jelas, menusuk nurani.

Yang bikin publik makin heboh, Prabowo menyelipkan satu kata sakti: anjing.
“Selama berabad-abad, rakyat Indonesia hidup di bawah dominasi kolonial, penindasan, dan perbudakan. Kami diperlakukan lebih buruk daripada anjing di tanah air kami sendiri,” ujar Prabowo dengan suara datar, tapi tegas.
Boom! Tepuk tangan. Sebagian diplomat kaget, sebagian buru-buru buka Google Translate. Para penerjemah simultan panik: “Bro, translate dog atau hound? Atau biar puitis, creature of loyalty but despised?” Terlambat. Dunia sudah keburu heboh.

Itu momen ketika filsafat anjing resmi naik kelas jadi filsafat internasional. Dari pepatah “anjing menggonggong, kafilah berlalu”, Prabowo menciptakan versi baru: “anjing menggonggong, kolonialis tertegun, dunia pun tepuk tangan.”

Tapi bukan itu saja. Ada gaya lain yang mencuri perhatian: Prabowo mengetuk podium. Tidak keras, tapi cukup membuat Donald Trump, sang raja panggung gaduh, berkomentar kagum.
“You too, my friend. Great speech. You did an amazing job by tapping your hand on that table. You did an amazing job. Thank you very much,” kata Trump usai sidang.
Bayangkan, Trump yang biasa menunjuk-nunjuk dengan suara lantang, justru terkesan dengan ketukan sederhana Prabowo di podium.

Prabowo tahu betul, diplomasi global butuh shock therapy. Dari pada bicara 54 menit penuh jargon yang bikin ngantuk, lebih baik satu kata “anjing” plus satu ketukan meja bikin ruangan hening.

Lalu bandingkan dengan Trump. Teleprompter macet, ia panik. Alih-alih mengendalikan situasi, ia menyalahkan operator. Isi pidatonya? PBB gagal, dunia menuju neraka, energi hijau penipuan besar, imigrasi harus ditutup. Sungguh, kalau bukan forum internasional, cocok jadi konten stand up comedy.

Prabowo sebaliknya. Ia bicara tentang Gaza. Tentang anak-anak kelaparan, rumah sakit hancur, masa depan yang direbut peluru. Ia menolak kekerasan, menyerukan solusi dua negara, bahkan menawarkan pengakuan Palestina sekarang juga.

Tidak berhenti di kata-kata, ia siap mengirim pasukan perdamaian, siap menanggung ongkos, siap berkorban demi keadilan. Kalimatnya sederhana, tapi bobotnya membuat ruangan hening. Itu bukan pidato, itu tamparan lembut untuk dunia yang sudah terlalu pandai pura-pura tuli.

Di forum itu, Trump keluar sebagai badut podium. Prabowo? Filsuf damai. Yang satu menjual ketakutan, yang satu menjual harapan. Yang satu membangun tembok, yang satu membangun jembatan.

Kalau pidato itu karya seni, pidato Trump laku di pasar loak politik, penuh karat dan teriakan. Sedangkan pidato Prabowo layak dipajang di galeri retorika—elegan, bernilai, abadi.

Jangan lupa, di balik “anjing” dan ketukan podium, ada pesan besar: solidaritas global. Prabowo mengingatkan dunia agar tidak mengulang sejarah, agar manusia tidak lagi diperlakukan lebih hina dari anjing.

Hari itu, seekor “anjing” resmi masuk sejarah PBB. Dan seorang presiden dari negeri kepulauan membuktikan, pidato bisa lebih tajam dari peluru.

Konon, usai sidang, delegasi Indonesia mampir ke Warkop NYC di 366 W 52nd St.
“Ngapain, wirr?”
“Makan mie sedap rasa soto.” Ups.
Dunia boleh tegang, tapi Indonesia tetap punya gaya.
Advertisement
Previous articleKebohongan Dalam Politik
Next articleRasio Gaji BUMN yang Tidak Rasional

Tinggalkan Komentar