Oleh: Agus Wahid
Sekali lagi, manuver Kang Dedy Mulyadi (KDP) – dalam perspektif teologi Islam – cukup menggambarkan kualitas dan komitmen keberagamaannya. Dia menjalankan perintah dan larangan-Nya terkait lingkungan yang jelas-jelas pro kebersihan dan pemeliharaan, sikap moral anti korupsi dan kepedulian terhadap kaum dlu`afa. Layak menjadi teladan, meski model atau pendekatannya bukan by management system. Dia lebih mengedepankan management by emotion (MBE).
Dan model managemen seperti itu pasti kacau, karena menegasikan peran struktural yang ada. Sementara, pemeritahan adalah lembaga yang bekerja, tidak hanya terkait struktural, tapi juga peran-peran lainnya. Bagaimana pun, pekerjaan pemerintahan perlu perencanaan matang dan penuh kalkulasi rasional. Mempertimbangkan banyak hal secara hermenetik, termasuk controlling system.
Dan – meminjam filsafat emanase – ia memancar terang, sehingga siapapun di sekitarnya tersedot perhatiannya ke dirinya. Ia menjadi panutan. Sangat disayangkan, amaliah itu semua terupload dan viral. Menimbulkan tanda tanya keikhlasannya. Sangat dekat dengan riya`. Dan sulit dihindari bisikan iblis, “inilah aku. Aku lebih baik, bahkan terbaik”. Ketika bisikan ini masuk dalam dirinya, maka KDM sejatinya sedang membangun politik pencitraan, bukan amaliah karena Allah dan Rasul. Ketika muncul sikap riya` dalam amaliahnya, semua amalnya habis. Bagai debu yang tersiram air atau terhempas angin.
Itulah tulisan yang berjudul Manuver KDM: Perspektif Teologi, edisi 9 Oktober 2025, yang mendorong di antara nitezen berkomentar sisi lain: bagaimana praktik ibadahnya sembari memposting ritual KDM yang sedang menyembah Sang Hyang…. Entah siapa tuhan yang disembah?
Perlu kita catat, jika kita buka biodata singkatnya, KDM merupakan salah satu kader dan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di sebuah perguruan tinggi di Purwakarta. Lembaga organisasi kemahasiswaan ini jelas identitasnya: Islam. Namun, tak dapat dipungkiri, ada keberagaman dalam menjalankan praktik keagamaan. Ada yang puritan dan ideologis. Ada pula yang sinkretis. Ada pula Islam KTP.
Bahkan, ada pula masuk ke HMI sebagai pion dan mata-mata. Ada juga yang berpretensi masuk ke HMI sebagai langkah penyelamatan diri agar tidak dikejar oleh dinas intelijen karena dirinya dulunya dari keluarga komunis. Ada beberapa contoh manusianya. Tak etis diungkap ke ranah publik. Yang jelas, di antara mereka kini sedang “bersinar”, menikmati hasil merayapnya di bawah ketiak HMI selama di kampus.
Dalam kontek budaya dan hak warga negara, siapapun berhak memilih atau menentukan serta mengartikulasikan sikap budayanya. Meski berbeda, harus dihormati. Tak boleh dicaci dan dihinanya. Keberbedaan itu pun dalam kontek keyakinan atau beragama dilindungi konstitusi (Pasal 28E ayat 1 dan 2 UUD 1945).
Namun demikian, dalam perpektif tauhid, KDM yang – dalam ritualnya -terang-terangan menyembah Sang Hyang… Disertai tabur bunga yang menjadi tradisi khusus pemujaan, bahkan perangkat sesembahan lainnya. Itulah – yang menurut KDM – dirinya sedang menjalankan agama Sunda Wiwitan. Tampaknya, karena kelekatannya dalam beragama Sunda Wiwitan, tempat tinggalnya bahkan sepanjang jalan yang melengkung ke rumahnya sarat dengan aroma mistik.
Sekali lagi, dalam perpektif kebudayaan, KDM tergolong melestarikan nilai-nilai budaya luhur. Harus dihormati. Dalam konteks kepercayaan pun – sesuai landasan konstitusi itu – praktik keibadahannya harus dihormati. Namun, dalam perspektif tauhid (Islam) KDM telah melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Allah).
Sekali lagi, dalam landasan Islam, perbuatan itu tidak diperkenankan. Jika kita mengacu pada kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW, kedua utusan Allah itu memporakpandakan patung-patung sesembahan yang ada kala itu. Sikap kedua utusan-Nya merupakan sikap empatif kemanusiaan kepada umat manusia. Misi utama untuk keselamat umat manusia dari kemarahan Allah. Karena itu, jika kita refleksikan dalam abad kekinian ataupun milenial dan zenial saat ini, tugas umat manusia yang bertauhid harus memusnahkan praktik keibadahan yang sarat dengan syirik itu. Setidaknya, ia harus terpanggil untuk menasehati agar tidak tenggelam pada praktik keibadahan syirik itu.
Sikap dan tindakan Ibrahim AS dan Muhammad SAW bukan hanya karena utusan Allah. Tapi, sebuah sikap bagi umat manusia yang harus terpanggil tindakan tauhidiyyah itu. Mengajak untuk misi menyelamatkan sesama umat manusia. Inilah sikap sosialisme Islam yang sarat dengan dimensi kemanusiaan yang selamat. Hal ini berarti, Islam bukanlah agama individual. Juga berarti, persoalan agama dan keberagamaan bukan saja urusan privat. Tapi, ada tanggung jawab sosial bagi setiap individu untuk menyelamatkan saudara-saudara lainnya yang seiman, bukan kepada umat yang berbeda keyakinan.
Syirik Politik
Jika kita refleksikan dalam persoalan politik, masalah syirik menjadikan dirinya sangat mudah untuk memuja-muja sesuatu yang dinilai wah (istimewa) dan karenanya harus dikejar. Dalam konteks ini jabatan atau kekuasaan menjadi obsesi. Bagai tuhan. Tapi, bukan Tuhan (Allah). Jabatan atau kekuasaan menjadi pendua dan disejajarkan bahkan lebih tinggi posisinya dari Allah. Inilah sikap, cara pandang dan tindakan berpolitik yang sudah tercebur dalam domain syirik.
Persoalannya tidak terhenti pada kategori syirik itu. Tapi, sikap, cara pandang dan tindakan politik syirkiyyah berpotensi mendorong dirinya untuk mengejar kekuasaan. Dengan cara apapun, ia berusaha menggapai kekuasaan itu. Ini berarti, terjadi tindakan moral hazard yang mengabaikan sejumlah dampak bagi sekitarnya.
Kita saksikan dalam panggung politik faktual. Demi mempertahankan kekuasaannya, ia rela membantai ratusan umat manusia tanpa memikirkan hak asasi setiap diri manusia. Demi kekuasaannya tetap langgeng di tangannya, ia pun demikian sadis kepada siapapun yang berlawanan secara politik. Tidak hanya persekusi, tapi juga kriminalisasi dan pencabutan nyawa secara biadab. Dan atas nama kekuasaan yang harus direngkuh, ia masa bodoh dengan kepemimpinan yang menghacurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuasaannya bikin mabuk. Hilang akal sehatnya.
Sikap syirik bagi sang pejabat atau pemilik kekuasaan, akan mendorong perilaku politiknya diktatoristik. Perilaku ini terpaksa dilakukan karena dirinya sudah terbayangi potensi lawan politiknya siap mengambil alih kekuasaan. Sementara, kekuasaan yang dipangkunya adalah segala-galanya. Posisi kekuasaan atau jabatan jauh lebih tinggi dari dzat Allah.
Karena itu, cara pandang yang berlebihan terhadap sesuatu yang material ataupun imaterial mengancam keselamatan dirinya. Posisinya semakin terancam ketika dirinya mendapat amanah rakyat. Sebab, ketika menduakan Allah dalam bentuk material ataupun imaterial seperti kekuasaan, ia akan bertindak lebih buas daripada binatang buas. Sungguh mengerikan.
Karena itu, ketika mencermati praktik keibadahan KDM bukan semata-mata masalah kebudayaan dan religi warisan nenek moyang (Sunda Wiwitan), tapi karena posisinya sebagai pemimpin bahkan berpotensi menjadi pemimpin nasional. Sikap dan pendirian keyakinannya terhadap Sang Hyang sungguh membahayakan bagi kepentingan bangsa dan negara. Bukan hanya dalam kaitan kehidupan beragama Islam, tapi peranannya kelak dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang akan membuat banyak distorsi.
Kiranya, sebagai insan beragama Islam yang taat, di antaranya mengenali masalah syirik, tak sepantasnya berdiam diri. Sebagai muslim, dirinya berhak menasehati: untuk keselamatan sesama saudara muslim. Jika keukeuh menolak dengan alasan hak privat, itu haknya, tapi harus dalam praktik senyap. Sangat personal. Agar tidak menjalar virus syirik itu ke ranah publik. Karena itu, tayangan praktik sembahyangnya harus ditake down. Jika tetap ditayangkan ke ranah publik layak dinilai sebagai pelecehan atai penistaan agama (Islam), karena dirinya mengaku beragama Islam. Berbeda posisi hukumnya bagi umat Hindu Bali, Budha, Kong Hu Tju dan Katholik. Mereka beridentitas jelas: bukan muslim. Karenanya, keberbedaan keyakinannya harus dihormati.
Sukabumi, 14 Oktober 2025
Penulis: analis politik
