Oleh: Agus Wahid

Suatu saat seseorang datang ke rumahnya sambil mengetuk pintunya. Dijawab, “Tak ada Siti Jenar. Yang ada Allah”. Itulah sebuah kalimat singkat Syeikh Siti Jenar yang mengguncang masyarakat saat itu. Kalimat itu pun akhirnya sampai ke di antara Walisongo.

Maka, Walisongo pun memanggil Siti Jenar. Untuk diminta keterangan. Di hadapan para Walisongo itu, akhirnya disimpulkan, secara “ma`rifat”, kalimat Siti Jenar benar adanya. Saat mengatakan “Tidak ada Siti Jenar, yang ada Allah”, kalimat itu disampaikan Siti Jenar sedang keadaan “fana” (tak sadar dirinya), karena demikian tenggelam dzat Allah bahkan “menyatu” dalam dirinya. Itulah kondisi “wihdatul wujud” (manunggaling dzat Allah dalam diri seorang hamba).

Walisongo yang sama-sama bisa mencapai puncak ruhaninya sangat memahami dan merasakan gelombang jiwa itu. Karenanya, Walisongo pun menerima puncak rasa “wihdatul wujud” Syeikh Siti Jenar. Namun demikian, Walisongo keberatan Siti Jenar ketika ungkapan jiwanya disampaikan ke hadapan masyarakat biasa, yang umumnya baru sebatas bersyariah. Kualitas ruhani masyarakat baru sebatas menjalankan prinsip-prinsip bersyariah, masih jauh dari tangga ma`rifat.

Karena itu, Siti Jenar dinilai bersalah secara syariah. Namun, Siti Jenar tetap dalam pendiriannya. Tak mau disalahkan, karenanya terus mempertahankan pendiriannya: ketika lagi “fana”, Siti Jenar tetap mengatakan, “Tak ada Siti Jenar. Yang ada Allah”.

Mempertimbangkan kepentingan keselamatan umat, maka Siti Jenar dihukum. Dan – sekali lagi, karena perlawanan Siti Jenar – membuat Walisongo mengejarnya. Siti Jenar pun akhirnya dihukum mati.

Yang perlu kita catat dari dialog Siti Jenar – Walisongo adalah sikap ketauhidan umat. Islam sebagai agama non-individual, harus diselamatkan dari anasir yang menyesatkan, meski – secara pribadi – Siti Jenar ketika “fana” sesugguhnya tidak menyesatkan. Namun, kondisi umat hanya umumnya dalam tangga syariah akan berbahaya untuk memahami tangga ma`rifat. Problem kebahayaan bagi umat itulah yang tidak boleh terjadi.

Hal itu menunjukkan sikap Walisongo yang peduli terhadap nasib tauhid umat. Dalam kaitan kepedulian Walisongo itulah kita perlu merefleksi praktik ritualitas Kang Dedy Mulyadi (KDM) yang pernah tertangkap kemera: sedang menyembah Sang Hyang…. Yang perlu kita catat, apakah saat menjalankan ritualitas itu KDM sedang “fana” atau sadar? Kalau fana, mengapa terdapat banyak orang meliput kegiatan ritual Sunda Wiwitan itu? Dapat disimpulkan secara simplistis, banyaknya pihak yang memfasilitasi ritualitas KDM ditambah pihak yang merekamnya menunjukkan kondisi batiniah KDM lagi sadar.

Dapat digaris-bawahi, ritualitas KDM – jika dokumentasinya untuk pribadi – tentu tidak membahayakan umat. Biarlah urusan pribadi KDM dengan Allah. Namun demikian, masyarakat yang mengetahui praktik ritualitas KDM yang dipancarluaskan ke ranah publik, maka harus menjadi mendorong para ulama peduli. Persis seperti Walisongo peduli dan menyikapi. Pertanyaannya, apakah para ulama di Purwakarta atau bahkan ulama se-Jawa Barat dan nasional peduli terhadap praktik keibadahan KDM? Lalu, bagaimana organisasi keislaman seperti Muhamadiyah, Nahdhatul Ulama, PUI dan ormas keagamaan lainnya?

Sejauh ini belum terlihat suara para ulama lokal Purwakarta atau Jawa Barat, apalagi nasional. Juga belum pernah terdengar oramas-ormas keagamaan bersikap. Dalam hal ini keabsenan sikap para ulama dan ormas-ormas keagamaan Islam bisa dinilai membiarkan, bahkan – secara ekstrim – tergolong membiarkan praktik ritual KDM.

Tak bisa disangkal, ulama dan ormas-ormas keagamaan Islam tidak menjalankan pembinaan sikap ketauhidan umat. Sementara, dengan posisi KDM saat ini, jelaslah punya pengaruh bagi umat. Meski awalnya respek terhadap gerakan sosial dan pembangunan wilayah yang besifat duniawi, tapi keterkaguman itu pada akhirnya akan mentolelir praktik ubudiyah KDM yang membahayakan secara tauhid.

Karena itu, tiadanya teguran para ulama terhadap praktik ubudiyah KDM menjadikan ulama dan ormas keagamaan Islam harus bertanggung jawab atas kemelencengan ubudiyah KDM. Kelak – di Padang Makhsyar, ketika Allah mengadili seluruh umat manusia – para ulama dan para fungsionaris ormas-ormas keagamaan Islam yang mengetahui praktik ubudiyah KDM akan ditanya, mengapa tidak menegurnya, tidak menasehtinya. Inilah pertanggung-jawaban ulama dan ormas keagamaan Islam yang – salah satunya – bertugas membimbing untuk keselamat umatnya, termasuk urusan tauhid.

Untuk itu, tak ada kata lain bagi ulama dan ormas-ormas keagamaan Islam. Mereka harus bersikap. Memanggil atau mendatangi KDM. Meminta klarifikasi praktik ubudiyahnya (menyembah Sang Hyang). Jika praktik ubudiyahnya sebagai kepentingan pribadi, para ulama harus menasehatinya tentang perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Tergolong dosa besar yang tak terampuni kecuali taubat nasuha. Lebih dari itu, perlu dipertanyakan maksud penayangannya ke publik. Dalam hal ini, ulama dan para pemimpin ormas keagamaan Islam harus lebih tegas. Prinsipnya “jangan kotori umat dari hal-hal yang menyesatkan tauhidnya”.

Jika KDM mengabaikan teguran para ulama dan ormas keagamaan Islam, maka – persis yang dilakukan Walisongo terhadap Siti Jenar – ulama harus mengambil tindakan hukum. Pertama, sebuah fatwa tentang penyimpangan praktik ubudiyah KDM. Kedua, jika tetap melakukan ritualitas sesembahan dan dipublikasikan secara ekstensif, maka ulama dan atau ormas keagamaan Islam harus mengambil melangkah ke lembaga peradilan. Pasalnya jelas: telah menistakan agama (Islam).

Berangkat dari data faktual dan para hakimnya juga memahami prinsip-prinsip Islam dan keimanan, ditambah pengetahuan yang mendalam para ulama dan para tokoh ormas-ormas keagamaan Islam, maka sudah sepatutnya hakim yang mengadili perkara itu harus tegas saat menjatuhkan putusan. Meski tidak sampai ke hukuman mati seperti yang diputuskan Walisongo terhadap Siti Jenar, namun gerakan KDM tak boleh dibiarkan. Hal ini bisa dibatasi dengan cara KDM hidup di belakang jeruji besi. Terbatasi aksesnya ke dunia luar, termasuk membuat konten.

Sebuah renungan, apakah ulama dan para tokoh ormas keagamaan Islam berani mengambil langkah responsif itu? Jika tak berani, potret ulama dan pra pemimpin ormas keagamaan Islam seperti itu tercatat sebagai sosok yang terlibat dalam gerakan kemusyrikan. Keterlibatannya sama posisinya dengan KDM yang – secara personal – sedang menjalankan praktik menyekutukan Allah. Wahai ulama dan para pemimpin ormas keagamaan Islam… Sikap kalian yang membiarkan praktik ubudiyah sesat itu sama artinya membolehkan bahkan ikut serta menyiarkan perbuatan syirik. Pasti dan pasti, hukumannya jauh lebih berat di mata Allah.

Ngeri? Kalau dinilai mengerikan, sadarlah dan segeralah mengambil tindakan nyata untuk menyelematkan sikap tauhid KDM. Demi keselamatan tauhid umat. Inilah pertanggungjawaban sosial-keagamaan para ulama sebagai pewaris nabi.

Legoso, 17 Oktober 2025
Penulis: analis politik dan pembangunan

Advertisement
Previous articleKetika Sistem Tak Lagi Mendengar
Next articleDari Whoosh ke Whoops!

Tinggalkan Komentar