Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Ketika pemerintah membuka jalan bagi koperasi untuk mengelola izin tambang mineral dan batubara, publik terbelah antara optimisme dan kecemasan. Bagi sebagian orang, langkah ini adalah koreksi atas sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam yang dikuasai segelintir korporasi besar. Namun bagi sebagian lain, kebijakan ini justru dikhawatirkan menjadi pintu baru bagi para pemodal dan elite politik untuk bersembunyi di balik baju koperasi.
Kita tahu, sejarah pertambangan di Indonesia lebih banyak menyisakan luka daripada kesejahteraan. Nyawa rakyat kecil banyak menjadi korban, lingkungan rusak, dan solidaritas sosial hancur karena adu domba.
Negara tampak kalah di depan kuasa korporasi. Perusahaan tambang datang dengan izin lengkap, aparat menjaga operasi mereka, sementara masyarakat yang menolak dicap penghambat pembangunan. Putusan pengadilan yang memenangkan rakyat pun sering diabaikan, seperti terjadi di Kendeng.
Kini, setelah sekian lama tambang hanya dikuasai segelintir oligarki, pemerintah tiba-tiba memberi ruang bagi koperasi rakyat untuk mengelola sumber daya tambang. Melalui PP Nomor 39 Tahun 2025, koperasi diperbolehkan memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) dengan luasan maksimal 2.500 hektare. Menteri Investasi dan Menteri Koperasi menyebut kebijakan ini sebagai bentuk keberpihakan pada ekonomi rakyat dan keadilan sosial.
Secara ideologis, arah kebijakan ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, apakah langkah ini benar-benar membawa kedaulatan rakyat atas sumber daya alam, atau sekadar mengulang pola lama dengan wajah baru?
Pertanyaan ini penting karena pengalaman menunjukkan, label koperasi sering dijadikan alat untuk melegitimasi kepentingan modal. Dalam banyak kasus, koperasi hanya dijadikan nama di atas kertas untuk memuluskan izin tambang atau proyek besar. Koperasi menjadi “topeng hukum” yang menutupi praktik korporasi kapitalistik. Karena itu, sebelum kebijakan ini dijalankan luas, negara harus menjawab dulu tiga hal mendasar, yaitu kapasitas koperasi, kerangka pengawasan, dan jaminan lingkungan hidup.
Koperasi sejati adalah organisasi ekonomi berbasis anggota, bukan perusahaan berbaju rakyat. Dalam praktiknya, koperasi tambang hanya akan berdaya bila memiliki kapasitas teknis, keuangan, dan tata kelola yang profesional. Tanpa itu, koperasi hanya akan menjadi korban permainan para broker izin.
Di Kanada dan beberapa wilayah Amerika Utara, koperasi dan komunitas adat justru berhasil mengelola tambang secara berkelanjutan melalui model kemitraan komunitas. Pemerintah memberikan ruang bagi koperasi lokal untuk memiliki saham dan kendali dalam pengelolaan tambang, disertai kewajiban transparansi, kompensasi sosial, dan investasi lingkungan. Kuncinya ada pada tata kelola yang transparan dan akuntabel, serta sistem akreditasi yang memastikan koperasi benar-benar milik masyarakat, bukan boneka pengusaha.
Kita tidak boleh menutup mata bahwa tambang, sekecil apa pun skalanya, pasti menimbulkan kerusakan lingkungan. Jika koperasi diberi izin tambang tanpa kapasitas ekologis yang memadai, maka bencana sosial dan lingkungan tinggal menunggu waktu.
Kita pernah belajar dari tambang rakyat di berbagai daerah yang meninggalkan lubang menganga tanpa reklamasi. Banyak anak-anak yang meninggal tenggelam di bekas lubang tambang batubara di Kalimantan Timur. Di Bangka Belitung, tambang timah rakyat yang tak terkelola dengan baik menimbulkan kerusakan parah pada hutan bakau dan pesisir.
Maka, tanggung jawab lingkungan tidak boleh dihapus hanya karena yang menambang adalah koperasi. Justru karena koperasi adalah entitas rakyat, standar etikanya harus lebih tinggi. Prinsip koperasi yang berkeadilan sosial seharusnya menjadi benteng terhadap kerakusan, bukan pembenaran untuk menggantikan korporasi dengan rakyat yang melakukan hal serupa.
Masalah tambang tidak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi politik global. Selama puluhan tahun, sistem kapitalisme ekstraktif menguasai perekonomian negara berkembang melalui investasi, utang, dan penguasaan pasar komoditas. Indonesia pun terjebak dalam pola ini.
Dalam konteks ini, pemberian izin tambang kepada koperasi seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai kebijakan ekonomi, tetapi sebagai strategi dekolonisasi ekonomi. Negara perlu memastikan bahwa kekayaan alam kita tidak lagi menjadi obyek eksploitasi global, melainkan sumber daya bagi kedaulatan dan kesejahteraan rakyat sendiri.
Namun, tujuan itu akan gagal total bila koperasi hanya menjadi kendaraan bagi elite politik dan pengusaha nasional yang berkolusi dengan modal asing. Koperasi harus menjadi benteng melawan kapitalisme ekstraktif, bukan sekadar pemain baru di arena lama.
Agar semangat keadilan tidak berhenti pada wacana, pemerintah perlu menata ulang langkah ini dengan serius. Perlu dibangun sistem akreditasi koperasi tambang. Hanya koperasi yang benar-benar beranggotakan masyarakat lokal dan memiliki tata kelola baik yang boleh mendapat izin. Pemerintah dapat menggandeng lembaga independen dan perguruan tinggi untuk menilai kesiapan koperasi secara teknis, sosial, dan ekologis.
Penerapkan mekanisme pengawasan partisipatif sangat penting. Masyarakat sekitar harus dilibatkan langsung dalam pemantauan dampak lingkungan dan keuangan koperasi tambang. Transparansi menjadi kunci, dan seluruh data operasi harus dapat diakses publik.
Perlu diwajibkan program reklamasi dan investasi sosial. Setiap koperasi tambang harus memiliki rencana pascatambang yang jelas: pemulihan lingkungan, pemberdayaan ekonomi alternatif, dan peningkatan kapasitas anggota.
Perlu dicegah kooptasi politik. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memastikan koperasi tidak dijadikan alat untuk bagi-bagi izin menjelang tahun politik. Koperasi tambang harus bebas dari pengaruh partai dan kepentingan pribadi pejabat.
Perlunya integrasikan prinsip ekonomi hijau. Koperasi tambang harus diarahkan pada sektor mineral strategis yang mendukung transisi energi bersih.
Mengelola tambang melalui koperasi bukan hal mustahil. Tapi itu hanya akan berhasil jika negara berani keluar dari paradigma lama dengan melihat tambang sebagai sumber pendapatan cepat, bukan aset publik jangka panjang. Koperasi tambang harus menjadi instrumen untuk memperkuat ekonomi lokal, memperluas kepemilikan rakyat atas sumber daya alam, dan menegakkan etika ekologis dalam pembangunan.
Kita tidak bisa terus membiarkan kekayaan bumi ini menjadi sumber konflik dan air mata. Tidak boleh lagi ada lokasi tambang yang parah. Bumi bukanlah komoditas yang diperjualbelikan, melainkan ruang hidup bersama yang harus dijaga dan diatur secara demokratis.
Koperasi tambang akan menjadi berkah bila tetap setia pada nilai dasarnya, yaitu kedaulatan rakyat atas ekonomi, solidaritas sosial, dan tanggung jawab ekologis. Bila tidak, ia hanya akan menjadi bab baru dari drama lama fimama rakyat tetap jadi korban, sementara bumi terus dikuras tanpa ampun.
Kita masih punya kesempatan untuk memilih jalan yang benar, jalan demokrasi ekonomi yang berpihak pada manusia dan alam, bukan pada modal dan kuasa. Dan di situlah sesungguhnya arti penting koperasi menghadirkan keadilan dari perut bumi.
Jakarta, 17 Oktober 2025
