Saya berterimakasih kepada Presiden Prabowo yang telah memobilisasi penggunaan kata/frasa/istilah “omon-omon” (izin: selanjutnya disebut kata). Waktu itu, Prabowo menggunakan kata tersebut dalam “ketidaktegaan”-nya untuk menyebut kata “omong-omong”.
Dalam konteks tertentu, penggunaan kata omong-omong untuk mengatakan pihak tertentu yang bisanya hanya omong-omong, beretorika tanpa bukti kerja nyata. Kalau dalam bahasa Jawa, seperti ndobos. Suatu pernyataan yang berarti hanya berbicara/berkata-kata, karena praktiknya cuma omong-omong itu sendiri.
Kemudian, kata omong-omong itu diplesetin sedikit oleh Prabowo untuk menimbang perasaan pihak yang dikritiknya. Ada maksud ingin guyon supaya situasi tidak bertambah tajam pertentangannya. Memang waktu itu musim kampanye, tentu ada dramaturgi dan politisasi. Tapi, paling tidak Prabowo masih berusaha memperlihatkan moralnya.
Kini, banyak pihak yang menggunakan kata omon-omon dalam berbagai kepentingan, tujuan, motif, dan dalam berbagai situasi yang berbeda. Kata omon-omon telah berdiri sebagai kata tersendiri.
Pertama, bagi yang tidak suka Prabowo, kata itu dipakai untuk menyerang Prabowo dan para pengikutnya. Bagi yang suka Prabowo, kata itu masih dipakai untuk menyindir lawan-lawan politik Prabowo, tentu juga lawan politik pengguna kata tersebut.
Kedua, omon-omon bukan lagi plesetan dari omong-omong. Kata itu berfungsi untuk menjadi maklumat untuk menetralisir suasana, oposisi, dan diskursus agar tidak menjadi serius. Serius memang bukan sesuatu yang penting, dan terkadang sangat simbolik. “Ini saya cuma omon-omon saja loh, teman-teman.”
Ketiga, karena hal kedua, kata omon-omon tidak lagi menyerang atau menyindir, tapi menunjuk ke ruangnya sendiri, bukan omong-omong, tapi ya juga sekedar omong-omong.
Keempat, karena hal kedua dan ketiga, kini masyarakat Indonesia memiliki kosa kata baru untuk mengatakan dan untuk meredam omong-omong simbolik yang cuma beretorika.
Tapi, nah ini agak serius. Saya ingin mengikuti pemikiran Julia Kristiva. Pada awalnya, kata omon-omon yang dipakai oleh Prambowo adalah suatu bentuk ekspresi semiotik individual yang dihadapkannya dengan sesuatu yang simbolik.
Dalam kontek itu, paling tidak Prabowo telah memberi pelajaran kepada masyarakat bahwa ekspresi semiotik perorangan (dekat dengan parole) bisa dan boleh dimanfaatkan sebagai “perlawanan” terhadap kontrol dan tekanan simbolik.
Artinya, kita perlu dan boleh memiliki keberanian dan kelonggaran hati untuk menghadirkan “kata-kata baru”, tetap dalam frame moral yang santun, untuk berhadapan dengan dan dalam cengkraman simbolik. Omon-omon, saya juga harus bertanggung jawab dengan hal-hal ekspresi semiotik saya.
Dengan demikian, ekspresi individual semiotik tersebut diharapkan akan mendapat ruang yang lebih besar dalam berbagai tatanan simbolik; simbolik bernegara, simbolik kapitalisme, simbolik ekonomi global, simbolik beragama, dan sebagainya.
Namun, kenyataannya hal-hal sembolik masih sangat kuat dan terlanjur mapan. Bahkan tidak jarang banyak pihak memanfaatkan dan memanipulasi hal-hal simbolik tersebut untuk menekan dan menyingkirikan hal-hal semiotik.
Saya menduga, mereka yang “hidup lebih bebas”, seperti para penyair dan sastrawan, para pemikir dan seniman-budayawan yang independen, punya peluang yang lebih besar untuk menjadi semiologis/semiotikus.
Memang, banyak pernyataan dari para seniman independen membuat tidak nyaman. Namun, kenyamanan memang banyak dalam posisi dan di ruang simbolik.
Secara umum, pemerintah/penguasa (atas nama negara) akan banyak di ruang simbolik. Itulah sebabnya, biasanya, para penguasa tidak terlalu suka dengan para seniman independen tersebut. Mungkin sebagian pura-pura suka, ya atas nama dan sekedar omon-omonlah.
Advertisement











