oleh: Abdul Karim

Gagasan Zamakhsyari Dhofier dalam The Pesantren Tradition: The Role of the Kyai in the Maintenance of Traditional Islam in Java membuka tabir tentang bagaimana pesantren di Jawa bukan sekadar institusi pendidikan agama, melainkan sistem kehidupan yang menopang kesinambungan peradaban Islam tradisional. Ia menulis dari ruang sejarah dan etnografi dengan kedalaman analitis yang mengaitkan fungsi sosial, politik, dan spiritual kyai dalam menjaga kontinuitas nilai di tengah gelombang modernitas. Di dalam narasi itu, tradisi bukanlah residu masa lalu, melainkan kekuatan dinamis yang memproduksi makna dan identitas baru. Melalui kacamata teori otoritas, modernitas majemuk, dan sosiologi praktik, pesantren muncul bukan sebagai benteng konservatisme, tetapi sebagai laboratorium peradaban yang terus menegosiasikan antara yang ilahi dan yang duniawi.

Ketika Dhofier menempatkan kyai sebagai poros utama dalam reproduksi tradisi Islam di Jawa, ia sedang berbicara tentang mekanisme otoritas yang tumbuh dari sumber epistemik dan moral yang khas. Otoritas itu bukan hasil struktur birokratis, melainkan jaringan simbolik yang dibangun melalui sanad, ijazah, dan penguasaan ilmu agama. Dalam pengertian ini, pesantren adalah ruang di mana knowledge as virtue lebih utama daripada knowledge as power. Pengetahuan menjadi instrumen pembentukan adab, bukan alat produksi ekonomi atau politik. Kyai mewariskan cara berpikir, cara berdoa, dan cara hidup. Ia adalah penjaga teks dan penjaga ruh. Ketika murid mencium tangan gurunya, yang ia hormati bukan tubuh, melainkan sanad pengetahuan yang tak putus dari masa Nabi hingga tanah Jawa.

Dalam kerangka teori otoritas seperti yang diuraikan oleh Wael Hallaq dan Brinkley Messick, relasi kyai dan santri dapat dibaca sebagai konfigurasi unik antara teks dan tubuh. Kyai tidak berkuasa melalui kekerasan atau hukum positif, tetapi melalui penguasaan terhadap bahasa wahyu dan kemampuan menghidupkannya dalam perilaku. Otoritasnya bersifat performatif. Ia tidak hanya mengajar, tetapi menghadirkan kebenaran itu sendiri melalui amal. Dalam masyarakat modern yang terfragmentasi oleh sekularitas, figur seperti ini menjadi semacam counterpublic terhadap logika kekuasaan yang mengabaikan dimensi moral. Maka ketika Dhofier menulis tentang peran kyai dalam menjaga ahl al-sunnah wa’l jama‘ah, ia sebenarnya sedang merekam satu bentuk resistensi kultural terhadap kolonialisme epistemik yang memisahkan agama dari rasionalitas.

Pesantren bukan sekadar sekolah agama. Ia adalah jaringan pengetahuan yang hidup, tempat tradisi menjadi praksis sosial. Di dalamnya, teks tidak berhenti pada pembacaan, tetapi menjelma menjadi ritme keseharian. Santri tidak hanya membaca kitab, tetapi belajar mengatur waktu, menjaga kesederhanaan, menghormati guru, dan menundukkan diri kepada disiplin spiritual. Di titik inilah gagasan Pierre Bourdieu tentang habitus menjadi relevan. Pesantren melatih tubuh untuk mengingat Tuhan, mengatur makan, tidur, dan berbicara agar selaras dengan zikir. Habitus santri adalah habitus keimanan yang diproduksi secara kolektif melalui sistem simbolik yang stabil. Ia adalah “mesin etika” yang mengolah individu menjadi subjek religius.

Tradisi ini bertahan bukan karena tertutup dari perubahan, tetapi karena memiliki mekanisme reproduksi yang lentur. Seperti dijelaskan Dhofier, pesantren mempertahankan keaslian dengan cara memperbarui bentuknya: dari pengajian rumah, pondok bambu, hingga lembaga pendidikan formal yang memadukan kurikulum modern. Di sini, teori multiple modernities dari Shmuel Eisenstadt menemukan cermin konkretnya. Modernitas di pesantren bukan imitasi Barat, melainkan hasil tafsir ulang terhadap teks dan konteks. Kyai menafsirkan modernisasi bukan sebagai sekularisasi, melainkan sebagai peluang untuk memperluas peran dakwah dan pendidikan. Dengan demikian, pesantren tampil sebagai model modernitas Islam Nusantara yang menolak dikotomi tradisi–kemajuan.

Jejaring pesantren yang diuraikan Dhofier juga menunjukkan bahwa kekuatan Islam tradisional tidak bertumpu pada pusat tunggal. Ia beroperasi melalui jaringan horizontal yang saling terhubung oleh silsilah keilmuan dan pernikahan antar-keluarga kyai. Di sinilah konsep field dari Bourdieu kembali menemukan relevansinya. Dalam “medan keulamaan”, modal yang paling berharga bukan kekayaan material, melainkan reputasi moral dan legitimasi keilmuan. Modal simbolik ini diperoleh melalui penguasaan teks klasik, kemampuan retorika, dan karisma spiritual. Persaingan antar-pesantren, sebagaimana dicatat Dhofier, bukanlah perang politik, melainkan kompetisi simbolik untuk memelihara kredibilitas ilmiah dan moral. Dengan cara itu, pesantren menjadi sistem sosial yang otonom dari intervensi negara sekaligus mampu bernegosiasi dengan kekuasaan.

Hubungan antara pesantren dan negara selalu bersifat ambivalen. Dalam sejarah kolonial, kyai sering tampil sebagai oposisi moral terhadap penjajahan. Namun dalam periode pasca-kemerdekaan, banyak kyai justru memasuki ruang publik dan politik melalui organisasi seperti Nahdlatul Ulama. Fenomena ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren tidak beku, tetapi mampu bertransformasi menjadi kekuatan sosial yang rasional. Jika dibaca melalui kerangka Eickelman dan Piscatori tentang Muslim Politics, maka pesantren dapat dipahami sebagai arena politik moral yang mengatur legitimasi dan makna publik dari Islam. Otoritas kyai bukanlah residu feodal, melainkan representasi kultural dari etika tanggung jawab yang melampaui politik pragmatis.

Apa yang menarik dari analisis Dhofier adalah kesadarannya bahwa pesantren bertahan karena didukung oleh moralitas kolektif yang bersumber dari ahl al-sunnah wa’l jama‘ah. Ini bukan sekadar doktrin teologis, melainkan ethos sosial yang menekankan keseimbangan antara akal, wahyu, dan adab. Pesantren mengajarkan keteraturan spiritual yang menjaga masyarakat dari ekstremisme. Dalam hal ini, pesantren adalah ruang tengah antara rasionalisme modern dan mistisisme yang liar. Ia menumbuhkan moderasi sebagai kebiasaan, bukan sekadar slogan. Saba Mahmood dalam pembacaannya tentang politik kesalehan memberi lensa untuk memahami hal ini: ketaatan bukan bentuk pasifitas, melainkan tindakan kreatif untuk membentuk diri yang beretika. Santri yang patuh bukanlah korban indoktrinasi, tetapi subjek yang sadar akan makna disiplin.

Dharmanya pesantren terletak pada pertautan antara teks, praksis, dan etos. Melalui ritual harian, pengulangan doa, dan zikir, santri menubuhkan makna ke dalam tubuhnya. Dalam tradisi seperti ini, pendidikan adalah proses internalisasi spiritual, bukan sekadar transfer informasi. Konsep knowledge as piety menjadikan ilmu dan amal satu kesatuan. Jika dibandingkan dengan sistem pendidikan modern yang terfragmentasi, pesantren justru menghadirkan integrasi pengetahuan dan moralitas. Ia menolak dikotomi antara intelektualitas dan kesalehan. Dalam hal ini, Dhofier menawarkan sebuah paradigma epistemologi Islam yang khas: ilmu yang sejati adalah yang menghidupkan hati dan menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial.

Namun kekuatan ini juga menghadapi tantangan. Modernisasi pendidikan membawa tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar administratif negara. Kurikulum nasional, sertifikasi guru, dan sistem ujian formal berpotensi menggeser orientasi spiritual pesantren ke arah efisiensi teknokratis. Dhofier menyadari bahaya ini dan menunjukkan bagaimana kyai berupaya menyeimbangkan antara otoritas moral dan tuntutan modern. Mereka mendirikan sekolah formal di lingkungan pesantren tanpa meninggalkan sistem pengajian kitab kuning. Ini menunjukkan bahwa adaptasi bukan berarti penyerahan diri, melainkan strategi untuk memastikan bahwa nilai tetap hidup dalam bentuk yang baru. Dalam konteks ini, teori invention of tradition dari Hobsbawm dan Ranger memberi kunci: tradisi bertahan bukan karena keasliannya, tetapi karena kemampuannya untuk terus diciptakan ulang.

Kyai sebagai figur sosial memiliki peran ganda: pemimpin spiritual sekaligus agen perubahan. Ia mendidik masyarakat, menengahi konflik, dan mengarahkan pandangan moral komunitas. Dalam jaringan sosial Jawa yang kental dengan simbol dan kesopanan, karisma kyai menjadi bentuk capital moral yang menjaga keseimbangan sosial. Otoritasnya berakar pada keteladanan, bukan kekuasaan. Jika di Barat kepemimpinan spiritual sering dipisahkan dari fungsi sosial, maka di Jawa keduanya menyatu. Seorang kyai tidak hanya mengajar fikih, tetapi juga mengatur irigasi, pertanian, dan kegiatan sosial. Pesantren dengan demikian adalah model masyarakat miniatur yang mempraktikkan prinsip keadilan, kebersamaan, dan gotong royong dalam bingkai Islam.

Tradisi yang dipelihara kyai bukan konservatisme statis. Ia justru merupakan mesin dialektis yang menegosiasikan antara teks dan konteks. Ketika masyarakat menghadapi perubahan nilai akibat industrialisasi dan globalisasi, pesantren memberikan bahasa alternatif untuk memahami modernitas tanpa kehilangan spiritualitas. Dalam pandangan Charles Taylor, modernitas telah memunculkan krisis makna karena terputus dari horizon transenden. Pesantren menambal krisis itu dengan menegaskan kembali bahwa kehidupan rasional tidak harus menolak yang sakral. Kyai mengajarkan bahwa pengetahuan tertinggi bukanlah penguasaan terhadap dunia, tetapi penguasaan terhadap diri. Dengan itu, pesantren menjadi oase spiritual di tengah kegaduhan dunia modern.

Keberhasilan pesantren menjaga relevansinya juga terletak pada kemampuannya membangun komunitas belajar yang egaliter. Santri dari berbagai latar belakang sosial hidup dalam kesederhanaan yang sama. Mereka makan di dapur umum, tidur di lantai yang sama, belajar di bawah bimbingan kyai tanpa stratifikasi ekonomi. Model ini menumbuhkan solidaritas sosial yang kuat dan menghapus jarak antara pengetahuan dan kemanusiaan. Di sinilah letak kebijaksanaan pesantren: ia mendidik manusia bukan hanya agar pandai, tetapi agar memiliki kesadaran akan kesamaan nasib. Dalam masyarakat yang terfragmentasi oleh kapitalisme, nilai ini adalah bentuk radikalisme spiritual yang paling halus.

Dharmanya pesantren bagi dunia modern bukan hanya menjaga Islam tradisional, tetapi menghadirkan bentuk rasionalitas lain: rasionalitas yang berakar pada kesadaran etis. Dalam istilah Talal Asad, tradisi Islam bukan sistem doktrin, melainkan discursive tradition—sebuah praktik diskursif yang terus menegosiasikan makna dalam sejarah. Kyai dan santri berpartisipasi dalam tradisi ini bukan sebagai penghafal masa lalu, tetapi sebagai pelaku aktif yang menafsir ulang teks suci dalam konteks lokal. Setiap halaqah, pengajian, dan debat kitab adalah bentuk reproduksi intelektual yang menjamin bahwa Islam tetap hidup sebagai dialog, bukan dogma. Di sinilah kekuatan sejati pesantren: ia mengajarkan bahwa tradisi bukan rantai, melainkan percakapan yang tidak pernah selesai.

Jika Geertz pernah menggambarkan Islam pesantren sebagai bentuk religiusitas “kuburan dan ganjaran”, Dhofier membalikkan asumsi itu dengan data yang konkret dan analisis yang jernih. Ia menunjukkan bahwa pesantren tidak hanya berurusan dengan kematian, tetapi juga dengan kehidupan yang bermakna. Dunia santri bukan dunia yang beku, melainkan ruang pembelajaran yang dinamis. Ritual-ritualnya bukan ekspresi ketakutan, tetapi latihan kesadaran. Dengan mengembalikan kehormatan intelektual kepada pesantren, Dhofier sekaligus memulihkan martabat epistemik Islam Nusantara yang lama diabaikan oleh orientalisme akademik.

Ketika generasi baru santri memasuki era digital, tantangan pesantren bertambah kompleks. Arus informasi global menantang otoritas tradisional kyai, sementara logika pasar mengancam kesederhanaan hidup santri. Namun kekuatan pesantren justru terletak pada kemampuannya memaknai setiap perubahan sebagai ladang amal. Banyak pesantren kini mengajarkan teknologi, literasi media, dan kewirausahaan tanpa mengorbankan nilai spiritual. Ini membuktikan bahwa tradisi pesantren mampu menjelma menjadi tradisi pengetahuan yang relevan dengan zaman. Ia bukan museum masa lalu, melainkan taman pengetahuan yang terus tumbuh.

Pada akhirnya, gagasan Dhofier mengajarkan bahwa Islam tradisional bukan antitesis modernitas, melainkan bentuk modernitas yang lain. Pesantren menunjukkan bahwa rasionalitas dapat bersanding dengan spiritualitas, bahwa otoritas dapat hidup berdampingan dengan kebebasan, bahwa tradisi dapat menjadi sumber pembaruan. Dalam dunia yang kehilangan orientasi moral, pesantren berdiri sebagai penjaga keseimbangan. Kyai dan santri bukan sekadar figur lokal, tetapi simbol kontinuitas peradaban yang mengajarkan bahwa ilmu tanpa adab adalah kebutaan, dan modernitas tanpa ruh adalah kehampaan.

Kesimpulan dari seluruh pandangan Dhofier bukan hanya tentang lembaga pendidikan, tetapi tentang peradaban. Pesantren adalah miniatur dari kemungkinan manusia untuk hidup dalam kesatuan antara akal, hati, dan tindakan. Di sana, pengetahuan bukan sekadar informasi, tetapi jalan menuju kebijaksanaan. Tradisi bukan tembok, tetapi jembatan. Dan kyai bukan sosok mistik yang terasing dari dunia, melainkan arsitek moral yang membangun fondasi bagi masa depan. Dalam arus globalisasi yang menggoda manusia untuk melupakan asalnya, pesantren adalah pengingat bahwa akar adalah sumber kehidupan. Ia tidak menolak perubahan, tetapi menuntun agar perubahan tetap berpihak pada kemanusiaan. Dengan demikian, tradisi yang dijaga kyai bukanlah bayang-bayang masa lalu, melainkan cahaya yang terus menyala di timur.
Advertisement
Previous articleTNI Pejuang Demokrasi
Next articleMeriah, Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Warga Meunasah Aceh Yogyakarta.

Tinggalkan Komentar