Oleh: Aprinus Salam
Pemahaman, praktik, dan sikap-sikap hidup berkebudayaan, memang cukup beragam. Yang banyak berlangsung adalah kebudayaan lebih sebagai konstruksi sosial agar manusia hidup berbudaya. Hidup berbudaya itu maksudnya hidup dengan keadaban yang normatif, menjaga kerukunan, dan solidaritas,
Tentu kebudayaan seperti ini akan sangat didukung oleh pemerintah yang berkuasa. Pemerintah membutuhkan ketertiban, keteraturan (yang terlihat dalam berbagai regulasi), dan yang penting warga bisa bekerja dan memenuhi hidupnya.
Prof Dr Aprinus Salam
Namun, kebudayaan seperti itu jelas menyembunyikan banyak hal. Kebudayaan seperti itu menyembunyikan ketidakadilan di satu sisi, dan penderitaan rakyat di sisi yang lain.
Kebudayaan seperti itu juga cenderung kompromi dengan kekuasaan (pemerintah yang berkuasa). Karena banyak yang merasa kehidupan sosial bergantung dengan pemerintah. Padahal pemerintah tidak lain hanya institusi yang “ditunjuk dan diminta oleh rakyat” untuk mengelola negara dan masyarakat. Orang-orang yang ditunjuk sebagai “pemerintah” juga akan berganti. Paling tidak di atas kertas tertulis 5 tahunan, atau mungkin maksimal 10 tahunan.
Yang membuat kekuasaan menjadi edan berkelanjutan dikarenakan penguasaan SDA dan SDM, dan terutama uang, ada di tangan pemerintah. Akhirnya, semua bergantung pemerintah, karena pemerintah yang megang uang.
Dalam rentang waktu yang panjang, itulah yang terjadi. Genre kebudayaan seperti ini berjalan terus dengan selebrasi yang keren. Promosi kebudayaan termasuk yang paling heboh. Ketidakadilan dan penderitaan rakyat juga berjalan terus.
Sebaliknya, sikap kritis dan kritik menjadi lucu dan dianggap baper. Sikap kritis dan kritik dianggap seperti ahistroris. Sikap kritis dan kritik dibung ke tong sampah. Sikap kritis dan kritik bahkan dianggap muncul dari rasa iri. Sikap kritis dan kritis telah terbunuh, tetapi juga tidak dikuburkan.
Karena tidak dikuburkan, sikap kritis dan kritik menjadi hantu bergentayangan. Bahkan sebagai hantu pun, hanya muncul dengan agak takut dan cemas. Hantu-hantu kritis muncul dalam kegamangan dan ragu dengan nasibnya sendiri.
Orang-orang seperti Cak Nun dan Rocky Gerung tentu tetap bermunculan. Namun, dalam genre kebudayaan yang dijalani, suara-suara beliau lebih sebagai hantu-hantu penghiburan. Bahkan menjadi ruang gaduh secara eksklusif, seolah kemudian ada demokrasi di negeri ini.
Yang parah adalah dalam ruang seni dan sastra, yang dalam sejarahnya lebih sebagai ruang resistensi. Kenyataannyam yang selalu diharapkan adalah segudang harapan dan pujian. “Hati-hati kau kalau mengkritik puisi. Siap-siap tidak disukai dan siap-siap tersingkir.”
Tapi, kita tahu, kebudayaan telah melahirkan banyak seniman, budayawan, dan intelektual tradisional, berbasis tradisi dan kebudayaan itu sendiri. Sebagian besar mereka telah terserap dalam kekuasaan dominan/pememang.
Banyak seniman, budayawan, dan para intelektualitas tidak bisa bernyanyi nyaring lagi. Nyanyian nyaring bisa mengganggu berasapnya dapur.
Mungkin sekali-sekali bernyanyi. Tapi, para intelektual yang berposisi lebih sebagai pembeda “politik tertentu”, pembela partai tertentu, pembela kekuasaan tertentu. Sudah sangat jarang dalam semangat pembela keadilan, pembela penderitaan rakyat.
Semangat untuk menjadi pahlawan kemanusiaan telah terkubur dalam peradaban yang memang tidak membutuhkan pahlawan. Ini zaman hanya membutuhkan sukarelawan.
Memang, dari dunia yang tidak adil dan penuh penderitaan ini tetap lahir lahir para penyair kehidupan. Mereka tetap membuat puisi protes. Itu pun karena ternyata memang hidupnya susah dan tidak gembira. Sayangnya, puisi protesnya pun terkesan dekaden dan sumbang.
Apakah kemudian negara dengan genre kebudayaan seperti yang sedang berjalan tidak bisa menemukan jalan keluar? Masih mungkin. Yang kita butukan sekarang adalah keberanian dan kejujuran.
Tapi, jika itu pun sudah ketelingsut, maka mari kita bersama-sama hidup dalam hilangnya harkat dan martabat kemanusiaan kita.
