Oleh: Indro Suprobo

Dalam kolom Udar Rasa, Kompas, 2 November 2025, mengutip kriteria yang ditulis oleh Allison & Goethals dalam buku Hero: What They Do and Why We Need Them (2020), Alissa Wahid menulis bahwa almarhum mas Kyai Haji Imam Aziz, memiliki delapan karakter pahlawan, yakni bijaksana, kuat, tangguh, dapat diandalkan, kharismatik, welas asih, rela berkorban, dan menginspirasi. Ia juga menegaskan bahwa gelar pahlawan tidak dapat diberikan kepada sembarang orang. Mengacu kepada tulisan Franco, Blau & Zimbardo (2011) dalam artikel, ”Heroism: A Conceptual Analysis and Differentiation between Heroic Action and Altruism”, Alissa Wahid menegaskan bahwa para pahlawan menunjukkan dua kualitas yang membedakan dengan orang biasa, yakni kesetiaan pada nilai-nilai moral dan kesediaan untuk menanggung risiko pribadi demi mengemban nilai-nilai moral tersebut. Kedua acuan tentang kepahlawanan yang ditunjukkan ini, secara tegas menyatakan apa yang paling penting dalam diri seseorang yang mencerminkan karakter pahlawan itu, yakni integritas nilai-nilai etis dan laku pengorbanan. Integritas adalah perjumbuhan antara pengetahuan dan kesadaran tentang nilaip-nilai utama yang perlu ditegakkan dan perwujudan nilai-nilai utama itu di dalam tindakan. Maka integritas adalah menyatunya nilai-nilai di dalam tindakan nyata. Laku integritas itu sendiri dengan sendirinya melahirkan risiko yang menuntut pengorbanan diri.

Dalam pandangan saya, semua karakter yang mencerminkan nilai kepahlawanan itu bermuara pada apa yang oleh tradisi agama-agama kuno disebut sebagai kenosis (mengosongkan diri, melepaskan ego), yang dengan demikian sekaligus merupakan gerakan batin untuk memberikan ruang yang ramah dan luas bagi kehadiran orang lain, serta menempatkan “orang lain dengan segala pengalamannya” di pusat perhatian, bukan dirinya sendiri. Seseorang yang menjalani laku kenosis, tidak pernah menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian, melainkan menjadikan orang lain sebagai pusat utama perhatian, terutama mereka yang mengalami penderitaan, kesulitan, diskriminasi dan ketidakadilan.

Orang yang sanggup menjalani laku kenosis, pada umumnya adalah orang yang juga memiliki welas asih yang sedemikian besar, yang oleh Karen Armstrong disebut sebagai compassion. Welas asih atau compassion ini tidak sama dengan rasa kasihan, melainkan lebih tepat digambarkan sebagai bela daya, yakni suatu gerak batin yang mewujudnyata dalam tindakan untuk mengenali, memahami, mengakui, seluruh pengalaman penderitaan orang lain, lalu membelanya dengan segala upaya agar mereka yang mengalami penderitaan itu memiliki daya (resilience) untuk menghadapi kenyataan itu dalam suatu pengharapan. Pengharapan itu muncul karena mereka yang menderita itu mengalami dan merasakan secara nyata “kehadiran” orang lain dalam situasinya yang paling sulit.

Saya sependapat dengan mbak Alissa Wahid bahwa di dalam diri mas Kyai Haji Imam Aziz, karakter dasar kenosis dan welas asih (compassion) itu tercermin secara nyata di dalam seluruh laku hidupnya, terutama dalam aktivitas pembelaannya terhadap hak-hak para penyintas tragedi 1965 dan terhadap hak-hak warga Wadas. Karakter dasar yang tercermin dalam diri mas Kyai Haji Imam Aziz itu merupakan buah dari habitus yang sangat panjang, yang dibentuk dalam kesadaran pikiran dan dilatihkan dalam perilaku atau tindakan sejak ia belajar di dalam keluarga melalui keteladanan (implisit habitus) dari orang-orang di sekitarnya, dan ketika ia belajar di pondok pesantren sebagai santri melalui keteladan para kyai guru dan perluasan wawasan nilai-nilainya, serta ketika ia belajar sebagai mahasiswa. Karakter dasar ini dilengkapi oleh pengayaan bacaan intelektualnya yang terutama berfokus kepada persoalan keadilan sosial masyarakat, dan dipertajam terus-menerus secara kontinu melalui aktivitasnya di lapangan, untuk bersama-sama orang-orang konkrit memperjuangkan keadilan. Jadi mas Kyai Haji Imam Aziz dilatih dan melatih dirinya sendiri dengan memperluas wawasan (pemikiran, intelektualitas) dan mempertajam kepekaan dalam keterlibatan nyata. Selain itu, ia melakukan unsur ketiga, yakni menuliskan gagasan, analisis dan refleksinya. Tak heran ketika masih menjadi mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, ia sudah menulis artikel di Kedaulatan Rakyat, tahun 1988.

Dari penelusuran dan kesaksian orang lain atas pengalaman mas Kyai Haji Imam Aziz ini, tampaknya dapat dijumput pembelajaran penting bahwa mendidik integritas itu merupakan gabungan dari empat habituasi penting yang meliputi:

1. Spiritualitas (kenosis – melepaskan ego, peralihan dari self-center menjadi other-center)
2. Perluasan wawasan (on going learning) utk pemikiran kritis
3. Penajaman kepekaan sosial melalui keterlibatan langsung (on going contextual participation)
4. Menuliskan gagasan sebagai upaya mempertajam, memperjelas, dan menyatukan antara pemikiran dan pengalaman nyata (reflection and action).

Di tengah-tengah hiruk pikuk negeri yang para pejabatnya telah benar-benar kehilangan integritas, yang justru lebih menjadikan diri dan kepentingannya sendiri sebagai prioritas, empat habituasi itu merupakan inti pokok yang terus-menerus perlu dilatihkan secara berkualitas. Tantangan ini menjadi semakin berat ketika para pejabat sudah tak lagi dapat membedakan dan memisahkan esensi kepahlawanan dari semua tindakan yang disebut jahat. Ini merupakan tanda bahaya karena setiap orang atau setiap bangsa yang tak lagi dapat memisahkan dan membedakan kriteria dasar tentang apa yang disebut sebagai tindakan kepahlawanan dan tindakan kejahatan, ia merupakan subyek yang berpotensi besar untuk mereproduksi dan mengulangi tindakan jahat di kemudian hari.

Indro Suprobo, Penulis, Editor, Penerjemah Buku, tinggal di Jogyakarta.

Advertisement
Previous articleKarya Fotografi Sonia Prabowo ; Fotografi dari Sudut Pandang Berbeda
Next articleGus Dur: Pahlawan Garis Lucu

Tinggalkan Komentar