Literasi Ekologi dalam Lensa Ekosistem Kebudayaan dan Kerakusan Ekonomi

Oleh: Gus Nas Jogja
Samudra Hati yang Terlupa
Aceh, Serambi Makkah, sebuah negeri yang diukir oleh spiritualitas yang dalam dan sejarah ketahanan yang legendaris oleh para pemimpin spiritual terpilih, kini sering dikunjungi oleh paleh (bencana atau kemalangan). Banjir bandang dan longsor, yang datang dengan frekuensi dan intensitas yang mengkhawatirkan, bukan lagi sekadar siklus alam yang wajib diterima. Ia adalah air mata duka dari Ekosistem Kebudayaan yang terluka, sebuah Pesan keras yang dikirimkan oleh hutan, sungai, dan pegunungan Gayo-Leuser.
Banjir Aceh—seperti halnya musibah di bentang alam Sumatera lainnya yang dipicu oleh kerusakan penyangga hidrologis—memaksa kita untuk mempertanyakan: Apakah bencana ini benar-benar datang tanpa diduga, ataukah ia adalah hasil logis dari kerangka filosofis dan ekonomi yang keliru?
Esai ini bertujuan untuk melakukan pembacaan kritis terhadap musibah hidrologis di Aceh melalui empat peribahasa kunci (atau hadih maja) yang mewakili empat fase bencana: Paleh Guda (Celaka Tak Terduga), Paleh Krong (Celaka Kelalaian), Paleh Keubeue (Celaka Kebodohan Struktural), dan Paleh Inong (Celaka Ketidakberdayaan). Narasi ini akan menyintesiskan literasi ekologi modern dengan kearifan spiritual dan sastrawi Aceh, mengungkapkan bahwa paleh hari ini adalah manifestasi fisik dari Kerakusan Ekonomi yang gagal membaca amanah spiritual dan lingkungan.
Epistemologi Musibah: Celaka yang Mengabaikan Tanda
Paleh Guda Jeungeuk Mon
Celaka kuda melihat ke dalam sumur
Peribahasa ini menggambarkan kerugian atau kemalangan yang datang tiba-tiba dan tak terhindarkan. Kuda, makhluk kuat dan waspada, tiba-tiba celaka hanya karena mencondongkan kepala ke sumur. Dalam interpretasi pertama, ini adalah narasi Takdir: bahaya yang melekat pada eksistensi yang fana.
Namun, dalam lensa Literasi Ekologi, celaka kuda ini bukanlah tak terhindarkan, melainkan diabaikan. Lingkungan Aceh—dengan topografi curam dan curah hujan tinggi—adalah sebuah sumur raksasa yang selalu menuntut kewaspadaan tertinggi. Kearifan Aceh telah lama memagari “sumur” ini dengan hukum adat yang sakral, seperti larangan menebang pohon di daerah hulu dan pengakuan terhadap hutan adat [1].
Celaka kuda hari ini terjadi bukan karena kuda itu penasaran, melainkan karena pagar pelindung sumur telah dirobohkan oleh Kerakusan Ekonomi. Perizinan deforestasi dan eksploitasi yang masif di hulu –untuk perkebunan, pertambangan, atau infrastruktur– adalah tindakan yang secara sengaja menghilangkan penyangga ekologis. Hujan deras yang seharusnya disaring dan ditahan oleh kanopi hutan purba kini langsung terjun ke lereng gundul, membawa lumpur dan entropi.
Filosofisnya, “Paleh Guda” mengajarkan bahwa di hadapan alam, kekuatan dan kelalaian adalah satu kesatuan. Manusia modern merasa kuat dengan teknologi dan modal, namun kelalaian dalam menjaga integritas hulu hutan membuat kita sama bodohnya dengan kuda yang jatuh ke sumur yang seharusnya ia kenali batasnya. Bencana ini adalah kritik spiritual: kesialan yang datang tiba-tiba selalu berakar pada kelalaian yang dilakukan perlahan-lahan.
Etika Kesiapan: Lumbung yang Kosong dan Moralitas Cadangan
Paleh Krong Hana Asoe
Celaka lumbung tidak ada isinya
Peribahasa ini mencerminkan bahaya besar yang muncul akibat ketidakmampuan dalam persiapan yang memadai, terutama terkait cadangan atau kebutuhan pokok. Lumbung (krong), simbol kemandirian pangan dan kearifan masa depan, seharusnya menjadi benteng terakhir masyarakat.
Dalam konteks bencana banjir, “Paleh Krong Hana Asoe” memiliki tiga dimensi kekosongan yang saling berhubungan:
Kekosongan cadangan ekologis hulu. Lumbung Ekologi Aceh adalah hutan tropisnya. Hutan, dengan keanekaragaman hayati dan daya serapnya, adalah tabungan Negentropi (keteraturan) yang menyimpan air dan menahan tanah. Kerakusan ekonomi telah melihat hutan bukan sebagai lumbung, melainkan sebagai stok komoditas yang harus diuangkan. Jutaan hektar telah diubah dari lumbung air menjadi ladang monokultur yang rapuh [2]. Akibatnya, saat hujan datang, tidak ada cadangan serap. Lumbung alam kosong, sehingga air bah menerjang tanpa penahan.
Kekosongan cadangan kebijakan dan kacaunya regulasi. Celaka ini terjadi karena lumbung regulasi juga kosong. Setelah bencana besar, janji-janji tata kelola berkelanjutan seringkali menguap. Kebijakan yang seharusnya memprioritaskan mitigasi, restorasi, dan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan (gabak ekologis), justru melemah. Ini adalah celaka lumbung: sistem hukum yang seharusnya melindungi rakyat tidak memiliki “isi” moral dan kekuatan untuk melawan izin-izin korporasi.
Kekosongan Spiritual dan abai pada amanah. Di mata spiritual, lumbung yang kosong melambangkan kegagalan amanah (trusteeship). Filsafat Islam, yang sangat berakar di Aceh, mengajarkan bahwa kekayaan alam adalah pinjaman Ilahi. Menghabiskan cadangan hutan demi keuntungan pribadi atau segelintir korporasi adalah pelanggaran terhadap kontrak sosial dan kontrak kosmik. Lumbung yang kosong adalah cerminan hati yang kosong dari kesadaran Tauhid ekologis.
Falsafah Kelalaian: Kebodohan Struktural dan Tindakan Keliru
Paleh Keubeue Jisantok Jok
Celaka kerbau menabrak pohon aren
Paleh Leumo Jipok Keunamban
Celaka sapi/lembu menabrak tiang ikatan
Dua peribahasa ini secara langsung menyiratkan kemalangan yang disebabkan oleh kebodohan, kelalaian, atau kesalahan tindakan sendiri. Kerbau/sapi, sebagai makhluk yang seharusnya berguna, justru merusak elemen vital (jok/keunamban – pohon aren/tiang ikatan).
Dalam konteks literasi ekologi, kerbau/sapi yang bodoh ini adalah metafora bagi Kerakusan Ekonomi yang didorong oleh Kelalaian Struktural.
Kelemahan Regulasi sebagai Kebodohan: Jok (pohon aren) dan keunamban (tiang) melambangkan prinsip-prinsip Adat dan Hukum Tata Ruang yang seharusnya menjadi penopang kehidupan. Perusahaan yang melakukan penambangan ilegal, illegal logging, atau membuka lahan di kawasan konservasi adalah “kerbau” yang menabrak “tiang ikatan” sosial-ekologis.
Anehnya, kerbau ini seringkali diberikan izin dan dukungan oleh sistem. Bencana yang menimpa masyarakat kemudian bukan celaka tanpa sebab, melainkan celaka yang disubsidi. Sapi menabrak tiang ikatan menunjukkan ketidakmampuan kolektif dalam menjaga sumber daya. Kita membiarkan aset yang paling berharga (hutan penyangga) dirusak oleh tindakan yang keliru demi keuntungan satu musim tanam atau satu periode konsesi.
Narasi Spiritual: Konsep Dosa Ekologis: Secara spiritual, tindakan menabrak pohon aren –simbol kemakmuran jangka panjang dalam budaya Melayu– atau merusak tiang ikatan adalah dosa ekologis (al-fasad fil-ardh). Ini adalah perusakan yang dilakukan oleh kehendak bebas yang tidak berhikmah. Bencana banjir bandang kemudian menjadi pembalasan kosmik (karma) atas kebodohan kolektif yang menganggap alam sebagai entitas mati tanpa hak.
Konsekuensi Akhir: Ketidakberdayaan dan Keputusasaan yang Sia-sia
Paleh Inong Hana Lakoe
Celaka perempuan tidak ada suami
Geutanyoe grob, patah pha-pha, laba tan dipade: Kita berusaha sampai melompat, patah kaki, tiada laba barang sepadi
Dua peribahasa terakhir ini mewakili fase keputusasaan dan konsekuensi sosial-politik dari bencana.
Pertama, celaka ketidakberdayaan struktural:
“Paleh Inong Hana Lakoe” –Celaka perempuan tidak ada suami– menggambarkan keadaan yang tidak berdaya dan rentan terhadap ancaman, sebuah kondisi yang secara filosofis setara dengan sebuah negeri yang kehilangan pelindungnya atau pemimpin yang adil. Dalam konteks bencana, celaka ini menimpa masyarakat adat dan rakyat kecil yang kehilangan kekuatan suami –perlindungan hukum, dukungan struktural, dan kepemimpinan yang berhikmah–.
Aceh yang rentan terhadap banjir adalah negeri tanpa payung hukum yang kuat yang bisa menahan hujan modal dan eksploitasi. Rakyat kecil, yang rumah dan sawahnya disapu oleh luapan air yang seharusnya ditahan oleh Hutan Larangan Adat, menjadi pihak yang paling tidak berdaya. Perlindungan telah diserahkan, dan kini mereka menghadapi musibah dengan tangan kosong.
Kedua, puncak frustrasi, usaha yang tampaknya sia-sia:
“Geutanyoe grob, patah pha-pha, laba tan dipade” –Kita berusaha sampai melompat, patah kaki, tiada laba barang sepadi– adalah puncak narasi sastrawi ini. Ia melukiskan upaya heroik masyarakat dan relawan dalam masa tanggap darurat, sebuah perjuangan yang melelahkan dan penuh pengorbanan (patah pha-pha).
Namun, karena akar paleh—yaitu kerakusan dan deforestasi di hulu—tidak pernah dicabut, hasil dari upaya heroik ini menjadi nihil (laba tan dipade). Berapa pun banyak bantuan yang dikirim, berapa pun kuatnya kita melompat untuk menyelamatkan korban, bencana akan terus berulang selama lumbung ekologis tetap kosong, dan kerbau bodoh dibiarkan menabrak tiang-tiang penopang. Ini adalah tragedi upaya yang sia-sia di hadapan entropi yang disubsidi oleh sistem.
Merajut Kembali Kain Ekosistem Kebudayaan
Banjir Aceh, dengan segala kepedihan dan kehancurannya, adalah sebuah manifestasi termodinamika dari kegagalan spiritual dan literasi ekologi. Kita telah menukar lumbung untuk kenyamanan sementara, dan mengabaikan tanda-tanda di hulu demi uang. Bencana ini adalah pesan yang menuntut Revolusi Kesadaran dari rakyat dan para pemangku amanah.
Masa depan Aceh terletak pada kemampuan kolektif untuk kembali membaca hadih maja bukan sebagai folklor, melainkan sebagai kode etik ekologis yang mengikat. Kita harus kembali menjadikan Adat dan Syarak sebagai pagar yang kokoh melindungi sumur kehidupan.
Paleh dapat dihindari jika kuda waspada, lumbung terisi, dan kerbau terikat pada akal sehat. Celaka sejati bukanlah banjir itu sendiri, melainkan ketulian hati kita di hadapan jeritan alam yang telah dinubuatkan oleh para leluhur melalui petatah petitih yang tak lekang dimakan waktu. Kita dituntut untuk menjadi pemimpin yang melindungi, agar negeri ini tidak menjadi “perempuan tanpa suami” yang terus-menerus dirundung paleh akibat kerakusan yang diizinkan.
Wallahu A’lam
Catatan Kaki
[1] T. M. J. Iskandar, Hukum Adat dan Pelestarian Lingkungan di Aceh, Jurnal Hukum, 2018. (Membahas peran hukom adat dalam zonasi dan perlindungan sumber daya alam di Aceh, termasuk hutan adat).
[2] WALHI Aceh, Laporan Tahunan Kondisi Ekologi Aceh: Eksploitasi dan Dampak Bencana, 2024. (Data empiris mengenai tren deforestasi dan konsesi izin tambang/perkebunan di wilayah hulu Aceh, khususnya di Ekosistem Leuser, yang berkontribusi pada kerentanan hidrologis).
[3] S. H. Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, Unwin Paperbacks, 1990. (Argumentasi filosofis bahwa krisis lingkungan berakar pada pemisahan spiritualitas dari alam, yang berlawanan dengan prinsip Tauhid yang mendalam di Aceh).
[4] J. Rifkin, Entropy: A New World View, Bantam Books, 1989. (Konsep termodinamika Entropi yang diterapkan pada sistem sosial dan ekologis, menjelaskan bagaimana eksploitasi sumber daya menyebabkan kekacauan sistemik).
[5] P. K. Nas, The Power of Minangkabau: An anthropological approach to the social, political and economic organization of the Minangkabau people, Universitas Leiden, 1993. (Meskipun berfokus pada Minangkabau, karya ini relevan untuk memahami kerangka Ekosistem Kebudayaan dalam masyarakat Melayu Sumatera).
Daftar Pustaka
Iskandar, T. M. J. Hukum Adat dan Pelestarian Lingkungan di Aceh. Jurnal Hukum, 2018.
Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Unwin Paperbacks, 1990.
Rifkin, Jeremy. Entropy: A New World View. New York: Bantam Books, 1989.
WALHI Aceh. Laporan Tahunan Kondisi Ekologi Aceh: Eksploitasi dan Dampak Bencana.











