
Oleh: Aprinus Salam
Memang, kemudian, perlu dibedakan apa yang dimaksud dengan pengetahuan dan ilmu. Pengetahuan, dari asal kata tahu, adalah bagaimana seseorang banyak tahu, mengetahui banyak informasi. Akan tetapi, yang namanya informasi, ada yang benar ada yang palsu. Seseorang sangat mungkin berpengetahuan luas, tapi sangat mungkin pula dalam pengetahuan yang luas tersebut seseorang tidak berilmu.
Dalam hal ini ilmu adalah bagaimana seseorang berpikir, menilai, melakukan berbagai perspektif dan kategori, mengambil posisi dan pilihan terhadap berbagai informasi. Hal yang lebih utama setelah melakukan hal tersebut adalah bagaimana seseorang meyakini pengetahuannya. Aspek inilah yang jarang dilakukan. Kenapa itu terjadi? Karena masyarakat-orang memang tidak diajarkan untuk berpikir.
Banyak yang merasa puas dengan pengetahuannya yang luas. Dengan perasaan berpengetahuan yang luas tersebut, mereka menekan bahkan tidak jarang menyerang mereka yang dianggap tidak cukup berpengetahuan. Debat-debat kusir banyak terjadi di ruang ini. Hanya debat informatif. Bahkan sangat jarang dipersoalkan apakah informasi tersebut benar atau salah.
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara berpengetahuan dan berilmu. Kalau seseorang berpengahuan tanpa proses klarifikasi ilmu, tanpa dukungan pikiran dan pemikiran, maka orang tersebut tidak lebih hanya menjadi penggembira pengetahuan tanpa keyakinan. Bedanya lagi, seseorang yang berilmu, biasanya juga memiliki pentahuan yang luas, tidak bisa sebaliknya.
Para penguasa, pejabat, dan petinggi, mohon maaf, banyak yang dalam posisi berpengetahuan luas. Paling tidak, saya percaya mereka menyerap banyak hal dan kemudian menjadi pengetahuannya. Dengan modal pengetahuan itu, mereka memutuskan banyak hal. Tapi, keputusan mereka sangat sering tidak didukung dengan ilmu.
Kenapa mereka para penguasa, pejabat dan petinggi yang saya sorot. Karena merekalah yang banyak menentukan nasib negeri ini. Saya tidak perlu berharap banyak bahwa masyarakat yang menentukan nasib negeri. Masyarakat lebih banyak dalam posisi diatur, bukan mengatur.
Dan masyarakat yang diatur pun sebenarnya masyarakat yang berpengetahuan. Belum tentu juga masyarakat yang berilmu. Tentu ada, tapi tidak ada mandat apapun yang perlu menuntut masyarakat yang banyak diatur tersebut, yang nasibnya diatur oleh negara, untuk memiliki ilmu.
Mekanisme bernegara dan bermasyarakat tidak secara disiplin dan sistematis bisa mengatur dan menyebabkan masyarakat memiliki ilmu. Karena, para penguasa tahu jika masyarakat banyak memiliki ilmu, hal tersebut akan menjadi lawan berat para penguasa. Para punguasa akan goncang jika masyarakat banyak yang berilmu.
Kembali ke persoalan para penguasa, pejabat dan petinggi yang tidak berilmu, artinya akan banyak keputusan, sikap politik dan ekonomi para penguasa tersebut tidak didasari keilmuan yang berkeyakinan. Inilah yang banyak terjadi sehingga kita menjadi tahu, dan terpaksa menerima sangat banyak keputusan politk dan ekonomi justru mendatangkan kerugian, bencana, bahkan kebodohan yang berkelanjutan.
Kadang agama membantu seseorang untuk meyakini sesuatu. Masalahnya, banyak juga agama yang menjadi pengetahuan belaka, bukan ilmu. Agama menjadi semacam sekawanan informasi tentang bagaimana menyelenggarakan hidup. Akan tetapi, karena agama hanya menjadi sekawanan informasi, bukan ilmu yang diyakini, maka kita menjadi tahu sangat banyak orang yang katanya beragama, justru paling banyak melakukan hal-hal tidak benar yang bertentangan dengan agamanya sendiri.
Saya menduga inilah salah satu masalah dan bencana besar yang dihadapi negeri ini. Yakni, ketidakmampuan menjadikan pengetahuan sebagai ilmu, tidak adanya prinsip dasar bagaimana berpikir, memiliki pikiran, dan setelah itu meyakini hasil pikirannya. Kita bukan bangsa yang suka dan terbiasa berpikir. Banyak keputusan ekonomi dan politik yang bukan hasil pikiran berbasis ilmu.
Sebagai risikonya, banyak kejahatan dan bencana bukan karena iri, dengki dan kerakusan. Hal itu terjadi karena masyarakat-orang tidak berpikir yang berimplikasi langsung dengan kebodohan. Mengadopsi pemikiran Hannah Arendt secara bebas, bencana besar kemanusiaan kita adalah karena manusia tidak mau berpikir. Karena tidak berpikir, manusia menjadi bodoh. Itulah bencara yang besar. @
Aprinus Salam, Guru Besar FIB UGM











