Oleh : Pril Huseno
Ruang ICU adalah ruang paling hening. Ada 5 bed pasien. Sewaktu aku masuk ke ICU RS Bethesda Lempuyangwangi, hanya aku dan satu pasien lain di bed sebelahku. Seorang laki-laki paruh baya yang jantungnya juga mengkhawatirkan. Di sisi samping dan atas bed ku, terdengar kontinyu bunyi-bunyian berbagai alat monitor jantung, tensi darah, dan lain-lain. Suaranya seperti mainan game anak-anak yang kadang teratur, kadang berpola.
Kabel menempel di mana-mana bagian tubuhku. Kabel monitor jantung di dada, kabel tensi darah, kabel infus di dua tangan, kabel oksigen di hidung dan macam lainnya. Sungguh penampakan mengerikan jika ada yang sempat memfoto kondisiku.
Adapun perihal “second attack”, Alhamdulillah setelah melewati waktu 15 – 30 menit, tak terjadi padaku. Berbagai ayat Quran kubaca, memohon perlindungan Allah SWT.
Istri dan anakku, menunggu di luar ruang ICU. Siapapun tidak boleh bezoek bila bukan pada jam bezoek. Istimewanya, tidak ada kamar mandi di ruang ICU. Jadi segala urusan buang hajat kecil atau besar, dilayani oleh perawat yang berjaga. Pasien ICU harus total bed rest. Oleh karenanya aku malu bukan main ketika dalam beberapa hari di sana aku mules, dan hendak pub. Dilayanilah oleh perawat yang membersihkan bagian bawahku. Alamak….
Saat-saat perawatan di ICU, pening yang kurasakan di kepala ketika awal serangan, lumayan berkurang. Badan juga mulai agak ringan. Tidak ada sesak napas. Obat-obatan yang diberikan tim dokter yang merawatku pastilah obat paten semua.
Tapi ada yang paling sengsara kurasakan sewaktu di ICU, yakni ketika diberikan obat pengencer darah yang harus disuntikkan di sekitar pusar di perut. Ada 5 kali pemberian obat suntik selama 5 hari aku dirawat di ICU. Sakit sekali rasanya ketika jarum suntik ditusukkan di kulit perut. Sampai-sampai mengepal keras tanganku menahan sakit. Titik suntiknya mengelilingi pusar, jadi bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya. Jangan lagi lah merasakan suntik di perut.
Tim dokter yang merawatku dikepalai oleh dr Maria Debby Maharatno, Sp.JP. atau biasa dipanggil dr Debby, dokter ahli jantung dan penyakit pembuluh darah RS Bethesda pusat. Ketika dr Debby memeriksa awal, beliau sudah katakan beberapa hal, selain dari pembengkakan jantung, aku juga mengalami semacam Aritmia, yaitu penyakit irama jantung yang tidak teratur. Aritmia jenis penyakit kelainan jantung yang lumayan banyak juga penderitanya di Indonesia. RS Jantung Harapan Kita Jakarta, menyediakan ruangan khusus rawat jalan bagi pasien penderita aritmia.
Aritmia, ditandai dengan detak jantung yang berbunyi tidak stabil atau tidak konsisten. Pada jantung yang normal tanpa aritmia, bunyi detak jantung kita seperti ting….ting….ting….ting, dengan bunyi teratur yang terdengar dari alat monitor jantung pasien sebelahku. Tapi kalau nada detak jantungku menjadi…ting….senyap tidak ada bunyi, lalu…ting..lagi, ting…lalu senyap lagi. Begitu terus, dan kadang bunyinya jadi tidak teratur seperti bunyi-bunyian permainan game ding dong jaman dulu. Aku suka menghitung berapa kali bunyi nada detak jantungku di layar monitor. Ternyata memang tidak konsisten.
Istri temanku di Jogja, saudara Army, dia kawan sekelas dulu sewaktu kuliah di FEB UII Yogyakarta, juga penderita aritmia. Bahkan istrinya itu pernah collapse ketika mengendarai mobil sendirian di Jakarta. Betapa berbahayanya…!. Pengakuan istri Army kepadaku, kepalanya serasa berputar, dan tidak fokus. Maunya pingsan. Tapi dia paksakan terus sadar sampai akhirnya jumpa rumah sakit kecil di sekitaran Cempaka Putih Jakarta. Setelah dirawat, ketahuan bahwa jantungnya bermasalah dan cenderung mengarah ke aritmia.
(Bersambung)