Oleh: Made Supriatma

Presiden Prabowo hari ini mengunjungi polisi-polisi yang terluka ketika menghadapi demonstrasi. Harus diakui bahwa korban luka, bahkan korban jiwa, juga menimpa aparat keamanan. Mereka bertugas menghadapi para pengunjuk rasa. Tidak jarang ada bentrokan diantara keduanya.

Berkebalikan dengan itu, Presiden tidak mengunjungi korban-korban sipil. Hingga saat ini sudah tujuh orang meninggal akibat kekerasan massal ini. Presiden menengok mereka yang menyangga kekuasaannya.

Saya kira periode ‘crackdown’ atau tindakan keras sudah mulai. Setelah lumpuh karena diserang massa dan banyak kantornya dibakar massa, polisi mulai menyusun kekuatan lagi. Kali ini, militer pun turun. Jalan-jalan dipenuhi kendaraan-kendaraan militer — dari alat angkut hingga tank. Ini untuk menimbulkan kesan seram dan menakutkan sehingga massa yang beringas bisa tunduk.

Dua jam yang lalu saat saya menulis, aparat keamanan mulai masuk ke kampus-kampus yang dianggap sebagai pusat demonstrasi. Di Bandung, Universitas Pasundan dan Universitas Islam Bandung menjadi sasaran.

Selain itu, polisi juga menyasar individu-individu yang dianggap menjadi tokoh gerakan. Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru, sebuah lembaga advokasi hukum, dijemput paksa Polda Metro Jaya. Ratusan orang masih ditahan. Sebagian besar mahasiswa.

Para elit juga sudah mulai membingkai gerakan ini sebagai gerakan yang didanai asing. Presiden Prabowo menginsinuasi bahwa gerakan sosial rakyat ini sudah mengarah ke makar dan terorisme.

Sudah tampak bahwa para elit bersatu untuk menghadapi arus gerakan massa dengan tuntutan yang jika dipenuhi akan mengontrol kekuasaan para penguasa ini. Setidaknya, untuk saat ini mereka memperlihatkan persatuan setelah sebelumnya bermanuver di balik layar.

Seakan paduan suara, para elit dan pendukung serta pendengungnya berusaha untuk menggambarkan massa yang rusuh. Padahal dalam kenyataannya, saya kira, ada garis tegas antara demonstrasi (unjuk rasa) dan kerusuhan (riots).

Demonstrasi bisa keras — dimana aparat berhadapan dengan massa yang berunjuk rasa. Aparat biasanya menggunakan mekanisme ‘crowd control’ untuk memecah massa. Mereka yang belajar gerakan sosial pasti mengerti bahwa aparat keamanan memilii strategi dan taktik untuk menjinakkan massa — mulai dari perundingan hingga ke pembubaran paksa.

Kadang pada fase terakhir ini ada kekerasan. Di kalangan demonstran pun ada yang lebih suka bagian-bagian akhir ini. PAa banyak demo kita lihat remaja-remaja sengaja datang saat-saat akhir dan menunggu bentrok dengan polisi. Biasanya selesai disini.

Minggu lalu, demonstrasi berujung sangat berbeda. Ia berubah menjadi kerusuhan. Kantor-kantor polisi dan DPRD dibakar. Hari berikutnya, massa menyerbu dan menjarah rumah-rumah pribadi. Sasarannya pun sudah ditentukan: para artis anggota DPR. Juga rumah pribadi Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Kejadian ini membuat saya membuka-buka kembali buku lama saya tentang kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di berbagai negara, khususnya di negara-negara Asia Selatan.

Sekali lagi, kita harus membedakan demonstrasi dan kerusuhan. Selain itu juga penjarahan. Demonstrasi hampir pasti tidak akan berujung ada penjarahan. Namun kerusuhan hampir pasti diikuti oleh penjarahan.

Dari berbagai kasus kerusuhan selalu ada pola, yakni itu tidak dilakukan oleh orang-orang biasa. Aktor utama kerusuhan adalah apa yang dinamakan oleh para ahli sebagai ‘riot specialists’ atau kita sebut saja ‘ahli rusuh.’ Mereka tahu persis bagaimana membuat kerusuhan dengan memanfaatkan suasana kerumunan. Mereka akan ahli memprovokasi, membakar, emosi, membakar gedung, mendorong penjarahan, dan tahu kapan harus berhenti dan pergi.

Walaupu tampak remeh, membakar sebuah gedung itu membutuhkan keahlian tersendiri. Melempar batu untuk memancing emosi massa juga membutuhkan keahlian untuk menentukan waktu yang tepat. Dengan kata lain, para ahli sepakat bahwa tidak ada kerusuhan yang spontan. Anda baca saja buku-buku dari Stanley Tambiah, Paul Brass, Charles Tilly, Sidney Tarrow, atau para ahli yang mengamati konflik-kondlik komunal di Indonesia.

Apakah ketrampilan ini dimiliki oleh mahasiswa dan para aktivis pro-demokrasi yang sekarang turun ke jalan? Jelas tidak. Yang saya tahu, ketrampilan-ketrampilan macam ini dimiliki oleh kalangan intel — baik yang masih di struktur resmi maupun yang pernah bekerja untuk intelijen.

Jadi, jika sekarang tindakan keras (crackdown) itu diterapkan kepada mahasiswa dan para aktivis, apakah itu adil? Penguasa jelas tidak mau memeriksa aparatnya sendiri. Itu sikap terang benderan dari Presiden Prabowo. Ia bahkan menunjukkan pembelaannya kepada aparat yang jelas-jelas bertindak sangat brutal dan menggunakan kekerasan yang amat berlebihan.

Pertanyaan lain: Apakah mahasiswa punya kemampuan untuk membakar markas-markas polisi dan bahkan markas komando Brimob? Sulit diterima akal sehat. Menyerang markas Brimob sama seperti menyerang markas Kopassus.

Periode tindakan keras atau crackdown yang sekarang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran hampir pasti akan diikuti oleh pencarian kambing hitam. Harus ada yang disalahkan. Harus ada yang “bertanggungjawab.” Para elit dan para gedibalnya sudah punya jawaban: pihak asing — Soros, CIA, USAID, dan lain sebagainya. Jawaban yang gampang yang tidak meminta proses berpikir. Kalau ditanya lebih jauh, jawabannya selalu, “Adalah. nanti saya kasih tahu!”

Pengalaman di Indonesia, jika terjadi kerusuhan dan kekacauan seperti ini hampir pasti yang melakukan adalah para elit sendiri. Mereka sedang berebut sesuatu. Semua episode sejarah konflik di Indonesia selalu melibat institusi yang memegang senjata yaitu militer.

Kerusuhan Malari 1974 adalah karena faksionalisme militer. Demikian juga 1998 — tragedi menyakitkan yang pelaku-pelakunya masih hidup dan bahkan sekarang berkuasa kembali. Coba Anda cek siapa saja yang pada 1998 sekarang berkuasa. Apakah bukan kebetulan kalau kerusuhan dengan pola yang sama muncul kembali?

Alih-alih menuduh masyarakat sipil, pemerintah dan para elit seharusnya melihat ke dalam diri mereka sendiri. Jangan biarkan akal sehat rakyat membusuk karena menerima rekayasa tuduhan yang macam-macam. Atau, jika membuat tuduhan buatlah yang masuk akal.

Rakyat biasa membakar kantor polisi dan menyerbu markas Brimob? Gimana bisa, wong naik motor di depannya saja kami deg-degan!

Advertisement

Tinggalkan Komentar