Oleh: Radhar Tribaskoro

Kata amok mungkin terdengar arkais, seolah milik kamus antropologi kolonial. Namun sebenarnya ia tetap hidup dalam ingatan sosial kita. Running amok sudah masuk dalam bahasa Inggris, dipakai untuk menggambarkan kekerasan mendadak, brutal, dan sulit dikendalikan. Tetapi bagi masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, amok bukan metafora asing; ia adalah bagian dari sejarah sosial, bahkan psikologi kolektif.

Amok adalah ledakan emosional dari frustrasi yang lama dipendam. Ia terjadi ketika saluran komunikasi politik tersumbat, ketika keadilan terasa jauh, dan ketika harga diri direndahkan. Dalam kondisi itu, amok menjadi bahasa terakhir rakyat: kasar, destruktif, tetapi penuh makna.

Mengapa Amok Terjadi?

Psikologi sosial menjelaskan amok sebagai hasil dari akumulasi frustrasi yang berujung pada agresi. Clifford Geertz (1976) dalam studinya tentang budaya Jawa menyinggung bahwa perilaku ekstrem sering lahir ketika keseimbangan sosial dan rasa ajining diri — martabat — diguncang. James C. Scott (1985) menambahkan bahwa ketika bentuk perlawanan sehari-hari tidak efektif, masyarakat yang tertindas bisa meluapkan amarah mereka dalam bentuk amuk terbuka.

Dengan kata lain, amok adalah tanda kegagalan sistem sosial. Ia bukan semata tindakan individu yang “hilang akal,” sebagaimana dulu dipahami Belanda di masa kolonial. Ia adalah cermin dari struktur yang menutup jalan dialog, membuat rakyat merasa tak punya pilihan selain menghancurkan.

Sejarah Indonesia menyimpan banyak contoh amok kolektif

Kerusuhan Mei 1998 menjadi salah satu gambaran paling jelas. Awalnya dipicu oleh krisis moneter yang membuat harga melambung, tetapi kerusuhan itu meluas karena rakyat menyimpan kemarahan yang lebih dalam: korupsi yang merajalela, nepotisme keluarga penguasa, dan ketidakadilan hukum yang telanjang. Demonstrasi, penjarahan, dan kerusuhan besar yang mengguncang Jakarta dan kota lain akhirnya memaksa Soeharto mengakhiri 32 tahun kekuasaannya (Aspinall, 2005).

Beberapa tahun kemudian, di Ambon, 1999–2002, sebuah pertengkaran kecil di terminal berubah menjadi kerusuhan komunal. Absenya mekanisme penyelesaian konflik yang adil dan kepercayaan antarkelompok yang rapuh membuat peristiwa itu membesar menjadi amok berdarah, menelan ribuan korban.

Bahkan pada masa kolonial, Belanda kerap melaporkan orang pribumi “mengamuk” tanpa alasan. Catatan itu sering memberi stigma seolah amok adalah “penyakit jiwa orang Timur.” Tetapi studi mutakhir (Winzeler, 1990) memperlihatkan bahwa amok adalah respon sosial terhadap ketidakberdayaan struktural — protes terakhir yang lahir ketika tidak ada lagi jalan untuk bersuara.

Amok di Dunia

Fenomena amok tidak terbatas pada Indonesia. Dalam berbagai rupa, ia muncul di banyak negara.
Di Chile tahun 2019, protes besar bermula hanya dari kenaikan tarif metro sebesar 30 peso. Bagi sebagian orang, jumlah itu kecil. Tetapi di baliknya tersimpan akumulasi kemarahan atas ketimpangan sosial yang ekstrem. Rakyat menjerit karena pendidikan dan kesehatan mahal, sementara elite politik menikmati privilese. Dari protes tarif, api menyebar menjadi kerusuhan nasional. Jalan-jalan Santiago terbakar. Pemerintah akhirnya dipaksa menjanjikan konstitusi baru (Somma et al., 2020).

Prancis pada 2018–2019 juga mengalami “amok modern” lewat gerakan gilets jaunes (rompi kuning). Aksi dimulai karena pajak bahan bakar yang dianggap memberatkan. Namun kemarahan meluas karena rakyat melihat gaya hidup elite yang dianggap pongah dan terputus dari realitas rakyat kecil. Blokade jalan, pembakaran, dan bentrokan dengan polisi menjadi simbol perlawanan. Protes itu tidak hanya soal harga bensin, tetapi juga soal martabat rakyat pekerja.

Kasus paling dramatis terjadi di Tunisia tahun 2010. Mohamed Bouazizi, seorang pedagang kaki lima, ditampar dan dihina aparat karena dianggap melanggar aturan. Ia lalu membakar dirinya sebagai bentuk protes. Tindakan tragis itu memicu gelombang amok kolektif: protes meledak di seluruh negeri, rezim Ben Ali tumbang, dan Arab Spring dimulai (Hmed, 2020).

Pola yang terlihat sama: pemicu kecil menjadi percikan, penghinaan terhadap harga diri menjadi bahan bakar, dan akumulasi ketidakadilan berubah menjadi ledakan. Amok, dengan demikian, adalah fenomena universal. Ia lahir bukan dari kebudayaan tertentu, melainkan dari kegagalan negara modern mengelola kompleksitas sosial.
Tujuan Tersembunyi dari Amok

Mengatasi Amok

Prabowo adalah satu-satunya tokoh politik yang berada pada dua peristiwa Amok terbesar di Indonesia: Amok 1998 dan Amok 2025. Ia terlempar pada amok pertama, apakah ia akan terlempar lagi dari amok kedua?

Meski tampak tanpa tujuan selain menghancurkan, amok sebenarnya membawa pesan tersembunyi. Ia berusaha mendobrak kebuntuan: ketika protes rasional diabaikan, amok memaksa elite untuk memperhatikan. Ia menuntut keadilan: rakyat tidak sekadar marah karena ekonomi, tetapi karena hukum dan kebijakan tidak lagi berpihak. Dan ia ingin mengembalikan harga diri kolektif: rakyat yang dihina, dipermalukan, atau diabaikan memilih berkata dengan cara paling keras: kami masih ada.

Menghentikan amok tidak bisa hanya dengan gas air mata atau represi. Represi mungkin memadamkan api di permukaan, tetapi tidak menyentuh bara. Cara efektif menghentikan amok adalah dengan pengakuan: pemerintah harus mengakui penderitaan rakyat, bukan meremehkannya.

Selain itu, tindakan simbolis juga penting. Membatalkan kebijakan yang melukai rasa keadilan, menghukum pejabat korup, atau menurunkan gaji berlebihan anggota dewan dapat menjadi sinyal moral yang menenangkan. Namun yang lebih penting adalah solusi konkret: mengendalikan harga pangan, membuka lapangan kerja, dan memastikan hukum ditegakkan setara.

Mencegah Amok

Pencegahan amok jauh lebih sulit, karena ia menuntut transformasi sistemik. Rakyat hanya akan menahan diri bila ada trust kepada institusi. Francis Fukuyama (1995) menyebut kepercayaan sebagai modal sosial yang memungkinkan masyarakat bekerja sama tanpa curiga. Bila rakyat percaya hukum berlaku adil, mereka tidak akan mencari jalan kekerasan.

Keadilan yang konsisten adalah syarat utama. Hukum harus tajam ke atas dan ke bawah. Elite harus hidup wajar, tidak pamer kekayaan di tengah kesulitan rakyat. Media bebas, forum publik, dan partisipasi rakyat harus dijaga sebagai katup sosial yang sehat. Dengan begitu, energi sosial bisa disalurkan ke dalam kanal yang produktif, bukan meledak menjadi amok.

Penutup

Amok adalah jeritan rakyat yang kehilangan bahasa. Ia muncul di Jakarta 1998, Ambon 1999, Santiago 2019, Paris 2018, Tunis 2010. Pemicu bisa kecil: harga naik, pajak, atau penghinaan aparat. Tetapi pesan yang dibawanya besar: keadilan tidak boleh diabaikan, harga diri rakyat tidak boleh diinjak.

Hannah Arendt (1958) mengingatkan bahwa “keadilan adalah syarat dasar agar manusia dapat hidup bersama tanpa saling menghancurkan.” Selama keadilan gagal diwujudkan, amok akan selalu menjadi bayangan yang menghantui demokrasi. Ia adalah bahasa terakhir dari rakyat yang merasa tidak dipercaya, tidak dihormati, dan tidak didengar.

Advertisement

Tinggalkan Komentar