Oleh : Agus Wahid

Blingsatan. Setidaknya cemas. Karenanya, mereka berusaha mendekati bahkan merayu. Setidaknya, menilai kritis terhadap rencana aksi yang akan diambil. Itulah sikap para elitis pendukung pasangan Ridwan Kamil – Suswono (RK-Sus). Sebuah reaksi sejalan dengan “anak-anak abah” siap melakukan perlawanan politik secara terencana, sistematis dan masif (TSM).

Seperti yang tersiar meluas, tanpa komando “abah”, anak-anak abah akan melalukan “coblos semua” atau tak hadir dalam acara pilkada 27 November mendatang. Golput. Sebuah sikap sekaligus jawaban atas penjegalan para pimpinan partai-partai politik terhadap Anies Baswedan, yang kadang dipanggil abah.

Haruskah sikap politik anak abah disalahkan? Tidak. Sikap anak-anak abah merupakan reaksi. Dan itu merupakan sikap kausalitas dari aksi “keroyokan” para elitis partai politik (parpol). Hanya karena bermain aman (savety playing), bahkan terdapat kepentingan pragmatis, mereka lebih tega jegal Anies secara sangat tidak etis. Bahkan, paradoks dengan kiprah dirinya sebagai penjaga pilar demokrasi.

Wahai para penjegal, sadarkan kalian, bahwa gerakan kalian yang sangat tidak etis itu merobohkan sistem demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan jiwa-raga dan berdarah-darah, bahkan merenggut nyawa?

Kalian tentu tahu atau paham, untuk membangun sistem pemerintahan yang baik diperlukan posisi penyeimbang. Oposisi. Mengapa kalian – secara berbondong-bondong – menyatu dalam satu gugus besar, lalu membegal calon pemimpin yang berpotensi beda dengan kekuatan rezim?

Boleh jadi, kalian beralibi: langkahnya menyatu bersama KIM karena dipaksa Undang-undang, yang mewajibkan jumlah 20% untuk bisa mengusung calon kepala daerah. Tapi, dengan hadirnya putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, praktis menggugurkan jumlah ambang batas 20% itu. Dan dirinya seperti PKS sangat bisa mengajukan calon pemimpin kepala daerah sebagai satu partai sendiri. Lalu, mengapa harus tetap ngotot bersama KIM.

Ada apakah wahai para junjungan elitis partai dakwah yang notabene partai berakhlak? Pertanyaan yang senada, ada apa gerangan wahai para elitis NasDem, PKB? Sebuah pertanyaan yang menggiring publik berspekulasi: mengonfirmasi dugaan liar tentang diri kalian memang tersandera kasus hukum. Posisi hukum ini – sulit dibantah – membuat seluruh partai, termasuk PDIP yang non-KIM – harus tunduk pada cengkeraman rezim Jokowi.

Catatan tambahan, apa yang kalian lakukan sebagai pembegal itu berlawanan dengan kehendak rakyat luas. Mereka membutuhkan sosok pemimpin yang mampu memberikan hal yang terbaik bagi rakyatnya. Committed to a justice and prosperity for all people. Bukankah komitmen seperti ini yang sering kalian kumandangkan, wahai para politisi penjegal?

Hak kalian untuk melawan kehendak rakyat. Hak kalian untuk membokongi harapan dan keinginan rakyat. Tapi, kalian hadir di panggung politik karena suara rakyat, bukan satuan suara kaum oligarki dan rezim yang hanya beberapa gelintir jumlahnya. Mengapa kalian harus lupa daratan? Tapi, itulah karakter jahat. Ketika diberi amanah, berkhianat. Ketika berjanji pun mudah mengingkari. “Munafik”, kata Rasulullah.

Menjawab politik pat-gulipat para elitis seluruh parpol itu, maka hanya satu sikap jelas dan tegas anak-anak abah: coblos semua, atau golput. Memang, perlawanan politik anak abah ini tidak mempengaruhi hasil pilkada. Berapapun minimnya tingkat partisipan pilkada dan suara yang sah, itulah yang dijadikan landasan siapa peraih suara terbanyak. Menentukan pemenangnya.

Namun demikian, minimnya tingkat partisipasi politik dalam pilkada dan atau pemilu merupakan cermin jelas tentang ketidaksertaan publik dalam kontes demokrasi itu. Implikasinya pada krisis legitimasi politik. Secara hukum tak ada persoalan. Tapi, secara moral politik, itu merupakan persoalan serius.

Krisis legitimasi dan atau moral itulah, yang kini mendorong sejumlah elitis parpol dari KIM Plus atau PDIP berusaha merayu anak-anak abah bahkan ke abah itu sendiri. Ada dengan pendekatan narasi ilmiah. Ada pula dengan lontaran percikan kata-kata singkat, tapi bermakna.

Sebuah pertanyaan, mengapa kalian merayu bahkan mengemis-ngemis ke abah untuk mempertemukan abah dengan kandidat gubernur dan atau wakil gubernur? Begitu entengnya merayu dan atau mendekati abah tanpa risi, seolah tak pernah berbuat yang tak senonoh (menjegal dan melecehkan). Ga malu tah?

Sebagai insan berakhlak mulia, Anies hanya tegaskan, fakta tidak bisa maju ke pilkada Jakarta saat ini qadarullah. Karenanya, abah akan selalu tampilkan wajah respek kepada siapapun. Tapi, anak-anak abah tak akan rela, karena motif eksploitasi. Suara anak-anak abah tentu menjadi juga pertimbangan abah.

Sebagai politisi rai gedhek, tak kenal rasa malu. Usaha tetap dan harus dijalankan. Karena itu, satu-satu jalan adalah merayu. “Anak abah sayang…. Yuk, yuk kita…”. Berharap ada sinyal positif. Tapi, di antara mereka sah saja menegaskan, “nDasmu peyang”. Emangnya, gua anak ingusan. Dikasih permen karet, langsung tergiur. Sorry nieeeee.

Bekasi, 13 September 2024
Penulis: analis politik
Kans Jawara

Tinggalkan Komentar