Oleh: Agus Wahid
Ada beberapa wajah Jokower. Siapa dan bagaimana potretnya, dapat kita telaah dengan pendekatan anatomi politik. Layak kita cermati, dari sisi karakter, kepentingan sempit bahkan kepentingan yang sangat ideologis. Urgensinya bukan sekedar mengenalinya. Tapi, masyarakat yang masih berakal sehat dan bernurani harus lebih terpanggil secara bersama-sama menghadapi sikap apriori kaum Jokower yang jelas-jelas merugikan kepentingan nasional. Tak boleh dibiarkan. Wajah-wajah Jokower memang harus disirnakan dari Tanah Air ini. Itulah sikap nasionalisme sejati.
Jokower Grass-root: Wani Piro. Pragmatis
Secara anatomis, level terendah pertama adalah para pemilih Jokowi saat kontestasi kepresidenan. Level terendah ini sejatinya buta politik, bahkan a politik. Yang dilihat bukan program apalagi cita-cita perbaikan nasib bangsa dan negara ke depan. Di matanya hanya “cuan” yang dilihat atau dijadikan pertimbangan utama memutuskan sikap politik.
Selagi ada kandidat presiden yang memberi uang atau bantuan apapun, maka ia memilihnya. Dirinya tak peduli masalah money politics yang dilarang UU Politik No. 7 Tahun 2017 yang sebenarnya bersanksi pidana, apalagi larangan agama yang sanksinya hanya etis (moral) selagi di dunia.
Dalam hal itu peneliti BRIN, Dr. Firman Noor – dalam diskusi publik di DPD RI (Senayan), sekitar September 2017 mencatat, panorama politik uang dalam pilpres membuat biaya perhelatan demokrasi (pemilu) di Indonesia termahal di dunia.
Lalu, salahkah sikap pemilih itu? Tak bisa disalahkan sepenuhnya. Persoalannya, selagi masyarakat pemilih ada dalam garis kemiskinan, maka kontestasi politik yang dibarengi penggelontoran uang tak bisa disalahkan. Mereka berfikir bagaimana lebih mendahulukan perutnya, meski hanya untuk makan sehari, bahkan hanya untuk sekali makan.
Apapun reasonnya, kalangan pemilih yang besikap “wani piro” tak akan pernah bicara idealitas dari tujuan kontestasi pemilihan presiden. Dan tiga kali pilpres (2014, 2019 bahkan 2024), uang selalu berhamburan. Untuk membidik kaum pemilih yang wani piro itu. Mereka dijadikan komoditas politik sempit kandidat. Dengan jumlah penduduk kemiskinan yang cukup tinggi, mereka selalu target komoditas politik yang cukup empuk.
Data bicara, existing kemiskinan pada 2014, jumlahnya mencapai 27,73 juta orang (10,96%). Catatan sosial ini dimainkan Jokowi pada pilpres 2014, meski melalui tangan-tangan bohir China dalam negeri dan Chinese Overseas. Pendanaan yang “tak berseri” untuk “membeli” suara kaum miskin. Dengan strategi politik ini para Jokower baru selaku pemilih sudah terkantongi suara yang tergolong signifikan.
Dan pada 2019, jumlah penduduk miskin – secara nasional – mencapai 24,79 juta orang (9,22%). Lagi-lagi, kaum miskin menjadi target utama. Kali ini – sehubungan dengan Jokowi telah berkuasa – semburan cuannya ditambah dengan bantuan sosial dengan nama program Beras Sejahtera (Restra), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan Batuan Keluarga Harapan (PKH). Total anggaran yang digelontorkan mencapai Rp 137,3 triliun.
Kebijakan sosial itu harusnya dikucurkan pada Januari atau Februari 2019. Namun, sejalan dengan perhelatan pemilu pada 17 April 2019, bantuan sosial itu baru direalisasi pada Maret dan awal April 2019. Dapat dipahami waktu pengucuran itu. Arahnya agar rakyat penerima bansos menilai, “inilah bantuk nyata perhatian dan besarnya rasa kemanusiaan Pemerintah kepada rakyat”. Sebuah empati yang sesungguhnya ekspolitatif dan bernuansa abuse of power.
Dan pada pilpres terakhir (2024) juga tak jauh beda. Untuk kepentingan puteranya (Gibran), Jokowi tetap mengeksploitase kebijakan bantuan sosial (bansos). Pada 2024, jumlah penduduk miskin mencapai 24,26 juta orang (8,57%). Kelompok penduduk miskin ini tetap dijadikan komoditas politik utama. Total dana bansos untuk tahun anggara 2024 jauh lebih fantastik: sebesar Rp 496,8 triliun.
Memang, bansos merupakan program nasional. Tapi, pengucuran dana bansos sekitar sebulan jelang hari “H” pencoblosan sangat berpengaruh. Salah satu narasumber di Karni Ilyas Channel edisi Januari 2024 menegaskan, sebesar 63,9% penerima bansos menyebut dukungan politiknya pada pasangan capres yang diback up Jokowi.
Itulah politisasi bansos untuk kepentingan politik puteranya. Dengan pencairan dana bansos, masyarakat awam politik menjadi Jokower yang tak tergoyahkan, sampai hari pencoblosan. Perlu kita catat, pencairan dana bansos merupakan hak rakyat, tanpa memilah pilihan politiknya. Tapi, politisasi itu jelaslah menunjukkan malpraktik jabatan atau abuse of power.
Namun, pelanggaran serius terhadap keuangan negara untuk kepentingan sempit politiknya tetap diabaikan. Tabiat penguasa semau dewe. Dan para penerima bansos pun tak peduli masalah penyalahgunaan kekuasaan itu. Inilah “keberhasilan” politisasi bansos yang sesungguhnya menjijikkan. Tapi, pandangan moral ini diabaikan. Yang penting, kepentingan dirinya tercapai. Itulah Machiavalian sejati, yang tetap menjalankan prinsip penghalalan segala cara.
Jokower Dalam Wajah Operator dan Timses
Keterlaksanaan bagi-bagi uang ditentukan oleh operator di lapangan. Level terendah kedua ini muncul karena pertimbangan mendasar. Ia atau mereka ikut serta dalam barisan Jokowi kala itu karena memang berhasil mengeruk cuan yang tidak sedikit. Meski sebagai operator setingkat RT-RW, apalagi sampai kelurahan dan daerah, mereka benar-benar “panen”. Tidak hanya saat distribusi uang, tapi sejumlah kebutuhan taktis terkait pemilu seperti alat peraga yang beragama jenis. Nilai rupiahnya tentu sangatlah fantastik. Inilah “panen raya” sebagai Tim Sukses (timses), termasuk para operator di lapangan.
Sekali lagi, bagi mereka, pilpres merupakan panen raya per lima tahunan. Karenanya, keterlibatannya dalam barisan Jokowi lebih dikarenakan cara pandang dalam melihat peluang besar untuk mendapatkan sejumlah uang, meski atas nama biaya operasional dan kebutuhan taktis kampanye dan pemenangan.
Yang jelas, saat membagikan “santunan” atau biaya pengadaan peraga dan lain-lainnya, mereka punya kesempatan untuk menyunat sebelum sampai ke tangan masyarakat pemilih. Dengan mengantongi daftar pemilih dalam jumlah besar, atau luasnya wilayah yang dikuasai, maka total yang dikantonginya bisa jauh lebih besar. Inilah yang mendorong kalangan timses dan operator lapangan demikian antusias menjadi organ penting Jokowi.
Karekter Jokower level kedua itu – terutama operator – hanyalah berfikir sesaat. Hanya semasa perhelatan pemilu. Tidak lagi merasa punya kewajiban moral untuk memelihara basis pemilih Jokowi. Pendek kata, dirinya merasa sudah “jual putus”.
Namun, beda halnya dengan timses yang tercatat resmi seperti PROJO, DULUR JOKOWI, Jokowi Lover dan kumpulan Jokower lainnya. Jika ia berada di level nasional, maka potret Jokower ini bisa berharap banyak atau lebih besar: di antaranya menjadi komisaris perusahaan negara, duta besar, pimpinan lembaga negara non kementerian, bahkan salah satu anggota kabinet. Inilah kepentingan pragmatis yang membuat sang Jokower berjibaku (all out) untuk kemenangan sosok Jokowi.
Jokower Dalam Wajah Surveyor
Perlu kita catat, keberadaan para operator lapangan tak lepas dari tim politik yang ahli merekayasa lapangan. Inilah level terendah ketiga, yang umumnya diduduki kalangan surveyor. Mereka – sedari awal, sejak terbangun kontrak kerjasama pemenangan politik – telah mensett up berbagai rupa. Untuk “menjual produk” yang siap diperdagangkan harus bagus dan sempurna. Pendek kata, mampu meyakinkan berbagai elemen. Untuk itulah diperlukan lembaga survey.
Survey yang banyak dilakukan survey intervensi. Dengan pendekatan random dan margin error kecil, semua itu bisa dirancang yang hasilnya bisa meyakinkan kandidat presiden. Dan langkah ini diperlukan untuk meyakinkan para ketua umum partai. Agar memberikan partainya sebagai kendaraannya ke kontestasi kepresidenan. Dan tak bisa diabaikan, hasil survey itu juga dirancang untuk menggiring kaum bohir bersama kandidat yang dipoles itu.
Bagi surveyor, prinsip yang dikedepankan adalah kesepakatan kerjasama bisnis, bukan panggilan idealistik. Misi finansial inilah yang membuat kalangan surveyor tak peduli dengan kualitas kandidat, meski sejatinya bermasalah secara moral, kemampuan dan lainnya. Bahkan, tak peduli melakukan pembohongan publik. Demi “produk” politiknya layak jual dan laku keras. Tidak hanya terhadap lapisan masyarakat yang buta politik, tapi kalangan intelektual pun terkesima.
Seperti kita saksikan pada panorama Jokowi yang ndeso dan lugu, mau bekerja keras sehingga rela masuk gorong-gorong, bahkan terkesan bersih sehingga diyakini “mustahil” melakukan korupsi. Semua ini dikemas menjadi brand Jokowi yang memukau. Inilah yang membuat berbagai elemen intelektual dan kalangan profesional terkesima terhadap Jokowi tanpa menyaring atau menelusuri asal-usulnya, dari keluarga siapa, bahkan bagaimana kualitas moral dan pendidikannya.
Hanya orang-orang tertentu yang tak mau terjebak pada potret lahiriahnya, karena relasi ideologisnya – setelah ditelusuri oleh BIN dan petinggi TNI – ternyata dari gerombolan PKI. Setidaknya, melalui penelusuran ayahnya: Oei Hong Liong, sang ajudan DN Aidit. Bagi pembelajar ideologi komunisme, pasti memahami karakter politiknya yang menghalalkan segala cara, anti agama, benci terhadap umat beragama. Maka, dipoles apapun, termasuk naik haji dan mau shalat, tapi manusia komunis tetap komunis. Tapi, dia cukup piawai menyembunyikan jatidirinya sebagai sang ideolog komunis.
Itulah – setelah mulai berkuasa – jatidirinya mulai tersingkap jelas, tidak hanya perilakunya, tapi kebijakan yang dilahirkannya: anti umat, Pancasila hanyalah slogan, suka mengadu-domba antaumat atau sesama anak bangsa. Dan semua itu berhasil dirancang-bangun oleh para punggawa lembaga survey. Bagi punggawa surveyor, kerjasamanya memaksa dirinya rela memanipulasi data, saat beranjak (proses politik), bahkan merancang hasil yang ditentukan pemanangnya sejak dini.
Itulah barisan Jokower yang tak bisa dipandang sebelah mata. Barisan ini sesungguhnya merupakan perampok demokrasi. Sebab, penentu hasil bukan dari fakta riil hasil suara, tapi suara yang telah dimanipulasi. Hasil manipulasi inilah yang kemudian dihembuskan ke ranah publik secara meluas. Sementara, penyelenggara pemilu seperti KPU didesain agar angka yang keluar tak jauh beda dengan desain angka yang ditentukan lembaga-lembaga survey itu. Terjadilah bangunan persepsi di tengah masyarakat: kandidat yang statusnya sebagai kliennya sudah menjadi pemenang sebelum KPU mengumumkan hasilnya secara resmi.
Itulah sebabnya, model kerja lembaga-lembaga survey pada tiga pilpres Indonesia tak pernah sunyi dari keberatan secara hukum. Bukan sekedar sengketa perbedaan suara, tapi praktik simsalabim dalam penghitungan hasil suara. Maka, tidaklah aneh ketika Jenderal Riyankudu – usai pilpres 2014 – menyampaikan kepada Prabowo. “Wo, lu sebenarnya yang menang”, ujarnya. Prabowo sendiri pun – di luar negeri (Inggris) – pernah menyampaikan dirinya dirampok suaranya. Karena itu, gagal menjadi Presiden 2014 – 2019.
Tipologi kerja lembaga-lembaga survey, sejak 2014 hingga 2024 tak berubah. Kerja mereka semakin tertata kuat untuk memenangkan kepentingan Jokowi. Inilah anatomi politik dari kaum surveyor, yang benar-benar keji dalam membrangus hak-hak politik anak bangsa.
Kekejiannya juga berlanjut: usai pilpres, di antara aktor surveyor seperti M. Qodari demikian lantang menjaga positioning politik Jokowi. Seperti kita ketahui, Qodari terus menghembuskan gagasan masa jabatan presiden bisa tiga periode. Dengan alasan kinerja baik (hasil survey yang dilakukan mencapai 70% lebih tingkat kepuasan public terhadap kinerja Jokowi), maka cukuplah rasional bagi Jokowi untuk diberi kesempatan berkuasa sampai 2029, meski tetap melalui pemilu.
Gerakan pemikiran Qodari jelaslah melanggar konstitusi (Pasal 7 UUD 1945). Sebagai orang yang mengenali konstitusi, sang komprador yang bernama Qodari sengaja menghembuskan gagasan tiga periode bagi Jokowi. Itulah wajah Jokower yang luar biasa. Dan gerakan pemikirannya tak lepas dari timbal jasa: uang dan uang, yang nilainya bukan lagi ratusan juta rupiah, tapi milyaran. Potret Jokower ini sesungguhnya pedagang yang profit taking oriented. Orientasi seperti ini tak peduli masalah ketentuan konstitusi, atau reaksi antagonis rakyat.
Jokower Berwajah Savety Plating: Elemen ASN/TNI-POLRI
Yang tak kalah mirisnya adalah Jokower level terendah keempat. Mereka berkarakter savety playing (cari aman atau selamat). Wajah Jokower ini tampak dalam barisan ASN dan aparat keamanan (TNI-POLRI).
Di lapangan, kita saksikan, sebagian mereka tahu persis kebobrokan kekuasaan Jokowi. Tapi – demi keselamatan dirinya secara fisik ataupun posisinya – mereka lebih menggunakan hak takutnya dengan dalih ASN/TNI-POLRI tak boleh berpolitik praktis.
Anehnya, sebagian mereka justru ikut berjuang ekstra untuk kepentingan Jokowi. Tak mau berpolitik praktis karena dilarang dalam UU ASN/TNI-POLRI. Tapi – dengan gagah – rela menampakkan diri sebagai “pahlawan” Jokowi. Yang lebih memprihatinkan, tak sedikit dari mereka mengintimidasi bahkan mengkriminalisasi berbagai komponen masyarakat yang mencoba mengritik rezim Jokowi.
Data di lapangan menunjukkan, dalam beberapa hal, Jokower dari elemen ASN dan aparatur keamanan menjadi barikade terdepan dalam menghadapi kekuatan massa kontrarian Jokowi. Dalam hal pelaksanaan pemilu (semasa kampanye apalagi hari pencoblosan), mereka melakukan mobilisasi basisnya dengan misi utama pemaksaan memilih Jokowi. Sampai-sampai, seluruh kepala desa – secara nasional – pun dikerahkan dan dikumpulkan. Arahnya, doktrinasi politik. Tak boleh beda pilihan politik. Hanya untuk sosok Jokowi dan atau Gibran saat maju dalam pilpres kemarin.
Sementara, para pimpinan dari anasir kementerian atau BUMN-BUMD, demikian tegas mengeluarkan instruksi: harus mengikuti pilihan politiknya. Jika berbeda atau melawan, langsung dihardik: bisa mutasi bahkan pecat. Sebegitu ketetnya daya kontrol dan intimidasi terhadap korp ASN/TNI-POLRI.
Yang lebih memprihatinkan lagi – seperti yang terjadi pada pilpres 2019 – aparat keamanan yang harusnya netral justru menjadi kekuatan penghancur (destroyer) terhadap rakyat yang menuntut kejujuran saat penghitungan suara.
Unjuk rasa demi tegaknya pemilu jujur justru dihadapi dengan tangan besi. Sebagian ditendangi seperti binatang. Sebagian lagi diangkut entah ke mana, yang nasibnya ga pulang hingga kini. Hilang. Alias mati. Itulah potret Jokower yang begitu bengis. Posisi dan perannya berubah menjadi alat penguasa, bukan alat negara. Inilah potret Jokower yang jelas-jelas menodai prinsip kemanusiaan. Bagi mereka, pelanggaran kemanusiaan dipandang sebelah mata, sepanjang junjungannya (Jokowi) tersenyum happy. Sungguh memprihatinkan.
Jokower Savetry Player: Elemen Pejabat Negara
Ada lagi yang lebih memprihatnkan. Terlihat tak bermasalah secara kemanusiaan. Tapi, sesungguhnya daya penghancurannya jauh lebih dahsyat. Itulah potret Jokower terendah kelima. Mereka berkarakter savety playing juga, tapi dari komponen pejabat negara. Jokower ini bertugas membangun kerangka kebijakan, tapi lebih merupakan upaya memenuhi kepentingan strategis Jokowi. Kebijakannya – atas nama cari aman atau selamat – selalu menguntungkan Jokowi, secara ekonomi ataupun politik.
Potret Jokower tersebut – meski dirinya tahu tentang pelanggaran bahkan kejahatan yang dilakukan Jokowi – ia tak pernah menegaskan sikap obyektifnya. Savety playing yang dilakukan adalah diam atau mendiamkan.
Mereka tak sadari, diamnya seseorang yang mengetahui kejahatan dan atau keamburadulan penguasa akan menjadi malapetaka besar bagi kepentingan anak bangsa dan negara.
Sikap Jokower fasiq itu tak peduli dengan nasib bangsa dan negara yang berantakan. Karena, jika berani bersebrangan dengan the boss atau mengutik-utik jatidiri the boss, sama artinya “bunuh diri”. Bersiaplah dicopot jabatannya. Itulah yang kita saksikan pada Anies Baswedan (mantan Menteri Pendidikan) dan Fachrurozi (mantan Menteri Agama). Dengan mendasarkan risiko itu, maka lebih baik cari aman atau selamat.
Atau, menggunakan opsi lain: menjilat dan terus menjilat. Agar positioningnya jauh lebih kuat. Sungguh memprihatinkan, potret Jokower fasiq demikian dominan dalam postur pemerintahan, tanpa risi melihat dampak destriktif bagi rakyat yang kian menderita, negara kian dijadikan bancakan asing.
Yang lebih memprihatinkan lagi, model Jokower fasiq itu menjadi panutan dari kalangan sebagian akademisi, kyai atau ulama dan ustad. Maka, kita juga saksikan tak sedikit wajah-wajah Jokower dari elemen akademisi, kyai atau ulama dan ustad. Barisan orang-orang berilmu ini tak peduli dengan imbalan dirinya kelak di hadapan Allah atas peranannya sebagai orang fasiq.
Jokower Savety Playing: Elemen Politisi
Masih dalam karakter savety playing, terdapat wajah Jokower yang menampak pada kaum politisi yang berkasus hukum. Level terendah ketujuh ini, Jokower dari kalangan politisi tak berani berkutik untuk bersikap beda dengan Jokowi. Berani berseberangan, maka kasus hukumnya diungkap. Bersiap-siaplah menjadi manusia pesakitan. Tinggal di sebuah kamar berterali besi, berukuran sempit. Karenanya, mereka tersandera oleh kasus hukumnya.
Mencermati ancaman sistematis ini, kaum politisi – terutama ketua umum partai – lebih memilih mendukung kemauan Jokowi. Atas nama keamanan dan atau keselamatan dirinya, Jokower dari wajah politisi tarus bersanding mesra dengan Jokowi, apalagi dirinya menjadi anggota Kabinet. Kemesraan itu juga diterjemahkan lebih jauh dalam wilayah parlemen. Seluruh anggota fraksinya diwajibkan sejalan dan atau mengamankan kebijakan sang rezim. Jika mbalelo, maka nasibnya direcall oleh ketua umumnya. Atau, jika sang Ketua Umum tak bisa “mengamankan” anak buahnya di parlemen, maka posisinya direshuffle.
Itulah wajah Jokower dari elemen politisi. Itu pula yang membuat parlemen mandul. Tak berani mengkritisi kebijakan rezim, meski jelas-jelas menyayat perih hati rakyat. Bagi anggota parlemen lebih baik tunduk pada kemauan dan atau kepentingan rezim, daripada diamputasi karir politiknya. Wajah Jokower ini lebih rela digonggong rakyat, meski dulunya “mengemis” saura rakyat. “Emang gue pikirin”, ucapnya imajiner. Serangkaian sikap politik ini karena sikap savety playing dan demi keamanan posisinya. Hak rakyat? No way. Wassalam.
Jokower Dalam Wajah Kesamaan Etnik
Wajah Jokower dari elemen politisi tersebut bisa dipahami, karena pertimbangkan hubbud dunya. Dalam sketsa sosial, terdapat anatomi politik dari anasir kesamaan etnik. Seperti kita ketahui, Joko Widodo yang bernama Cinanya Wie Yo Koh bin Oei Hong Liong jelaslah berdarah China, meski berdarah campuran.
Yang menarik adalah karena kesamaan etnik, di antara mereka demikian antusias menjadikan dirinya sebagai Jokower sejati, tanpa reserve. Tak peduli muasal Jokowi yang terindikasi jelas PKI. Tak peduli dengan riwayat pendidikannya yang absurd. Juga, masa bodoh dengan kapasitas Jokowi yang jauh di bawah standar. Juga, masa bodoh dengan kelakuannya yang banyak menghancurkan sendi-sendi kebernegaraan. Juga tak peduli dengan kelakuannya yang mengobral tenah negara dan hal ini merupakan bukti pengkhianatan terhadap NKRI.
Wajah Jokower karena anasir kesamaan etnik sungguh memprihatinkan bagi kepentingan nasional. Sebab, empatinya terhadap Jokowi tanpa reserve bukan semata-mata panggilan solidaritas etnik, tapi dampak destruktifnya bagi kepentingan nasional. Mereka, disadari atau tidak, ikut memperkuat dan membiarkan kadzaliman yang dilakukan Jokowi selama pemerintahannya. Kejahatannya dianggap sepi atau tiada.
Solidaritas atas nama etnis wajar. Tapi, harusnya introspeksi: negeri ini bukan hanya tempat buang air besar dan tidur semata. Negeri ini bukanlah tempat singgahan atau transit sementara. Tapi, mereka yang lahir dan dibesarkan di negeri ini harusnya menyadari kewajibannya sebagai warga negara. Negara punya hak untuk diisi dengan benar dan baik, berkejujuran dan berkemajuan. Bukan mensukunh eksploitase sang rezim. Inilah potret Jokower dari anasir kesamaan etnik.
Wajah Jokower ini sungguh menonjol sejak Jokowi tampil di jagat politik Indonesia. Yang memprihatinkan adalah polarisasinya demikian dahsyat dan mengakibatkan kerusakan yang cukup dahsyat pula. Maka, panoramama wajah Jokower seperti ini haruslah disikapi kritis.
Jokower Selaku Aktor Utama
Dan yang terakhir, adalah Jokower level tertinggi, yang sesungguhnya merupakan aktor utama, bahkan menjadi designer maha utama. Mereka adalah kumpulan oligarki dan elitis asal Tiongkok, sebagai negara ataupun korporasi.
Sejak dini, mereka menjadi fasilitastor proses politik Jokowi menuju singgasana. Atas nama kesamaan etnis dan ideologis, maka negeri Bambu itu mengerahkan kekuatannya secara all out, untuk keberhasilan Jokowi duduk di singgasana Bumi Pertiwi.
Yang perlu kita sikapi, dukungan all outnya bukanlah gratis, meski ada irisan kesamaan etnis dan ideologis. Dan kita saksikan, sejak Jokowi tampil di panggung kekuasaan, betapa dahsyat imbalan jasanya diberikan Jokowi kepada manusia-manusia China. Yang memprihatinkan, imbalannya sampai mengarah ke gerakan pembiaran menuju kolonialisasi negeri ini. Indochina adalah sketsa politik yang memang menjadi grand design. Dan itulah yang dapat kita saksikan dalam perjalanan politik regionalnya.
Sebuah renungan atau muhasabah. Dengan menelaah anatomi politik wajah-wajah Jokower, apakah anak bangsa ini harus diam dan membiarkan gerakan sistematis China yang demikian menentukan nasib bangsa dan negeri ini? No. Sebagai manusia non-Jokower haruslah terpanggil untuk bersikap ekstra. Tak ada kompromi. Inilah sikap nasionalis sejati. Hubbul wathan minal iimaan. Sebuah kalimat yang perlu dijabarkan dalam agenda politik nyata: lawan Jokowi dan kaum Jokowernya. Satu paket, kecuali Jokower musiman, level grass-root. Sebab, pendekatan solusinya haruslah mengentaskan kemiskinannya. Sebuah tantangan tersendiri. Dan diperlukan agenda besar untuk merekonstruksi kondisi kemiskinan struktural itu.
Ciputat – Tangsel, 17 Juli 2025
Penulis: analis politik
Advertisement