Oleh: Dr. Ari Yusuf Amir, SH, MH

Pernah Bang Hotma Sitompul tiba-tiba muncul di rumah saya pada pukul 7 pagi, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Meskipun agak heran karena jam kunjungan yang tidak lazim itu, saya tidak terlalu kaget. Ia memang sering mampir ke rumah saya.

Saya menganggap kunjungan mendadak yang terlalu pagi itu bukan karena kesewenangan sikapnya terhadap saya, tapi justru karena ia merasa dekat dengan seorang yang dipandangnya sebagai adiknya.

Ternyata ia hanya ingin mengingatkan saya agar mengurangi komentar-komentar tajam saya terhadap kepolisian, dalam konteks kasus hukum yang sedang saya tangani. Saya menanggapinya dengan santai saja, bahkan sambil bercanda dan ketawa. Kami berseberangan pendapat, dan ia menghormati sikap saya.

Bang Hotma pun berpamitan. Ia gagal menunaikan misinya, tapi ia pulang dengan ringan dan tanpa hard feelings. Di situ pula saya semakin respek kepadanya — seorang senior yang mau berlapang dada meski anjurannya disanggah telak oleh juniornya.

Sejak pertama kali kami berkenalan 16 tahun lalu, sikap semacam itulah yang membuat saya terkesan. Waktu itu saya masuk dalam tim pengacara Antasari Azhar, ketua KPK yang didakwa membunuh seseorang. Saya yang termuda di antara begitu banyak advokat senior yang punya nama besar di bidang lawyering, termasuk Bang Hotma, yang selalu berpakaian rapi dan necis.

Sebagai yang termuda dan paling tak dikenal di ruangan itu, saya bisa merasakan bagaimana para senior itu bersikap “look down” kepada saya. Sangat terasa bagaimana opini-opini saya hampir selalu dimentahkan, dengan gaya otoritatif berdasar senioritas — mungkin juga disertai pretensi selebritas — bukan dengan counter-argument selayaknya.

Bang Hotma adalah satu-satunya advokat senior yang menunjukkan apresiasi yang wajar terhadap sikap dan pendapat saya.

Hari itu, dan tahun-tahun selanjutnya, kami jadi dekat — sambil terus saling menghormati perbedaan-perbedaan di antara kami, baik yang insidental maupun perbedaan primordial (ia, misalnya, semakin bertendensi menjadi pendeta Protestan). Tak jarang kami juga saling berkirim makanan favorit ke rumah masing-masing.

Ia mendirikan lembaga bantuan hukum Mawar Saron sebagai ekspresi pengamalan ajaran Kristianinya; sebuah kantor pro-bono untuk kalangan tak mampu yang terjerat kasus hukum. Ia juga mendorong saya untuk membentuk lembaga serupa, dan saya memenuhi anjurannya dengan mendirikan LBH Yusuf.

Kami saling bertukar gagasan dan pengalaman (lebih tepat: LBH Yusuf banyak menimba pengalaman dari para advokat Mawar Saron). Pada beberapa kesempatan, kedua lembaga yang sedikit-banyak dilandasi semangat kekristenan dan keislaman itu bahkan bekerja sama dalam menangani sejumlah kasus hukum.

Ketika suatu kali saya menyatakan bahwa saya tidak menyukai Adnan Buyung Nasution, Bang Hotma mengingatkan bahwa Bang Buyung tidak seperti yang saya persepsikan. Bang Buyung, katanya, justeru mengamati dan menyukai karya saya.

Maka pada suatu malam, ia sengaja memperkenalkan saya kepada Bang Buyung, seorang pengacara-pejuang demokrasi yang menjadi panutan banyak aktivis politik dan hukum selama lima dekade, dan Bang Buyung menyalami saya dengan hangat, dan menyatakan beliau menyukai buku yang saya tulis (tentang manajemen kantor hukum).

“Bagus buku kau itu, Abang baca,” kata Bang Buyung. “Sering-seringlah menulis. Bikin lagi buku-buku semacam itu.” Persepsi lama saya tentang advokat legendaris itu buyar malam itu, berkat jembatan yang dibangun oleh Bang Hotma — terima kasih, Bang.

Ketika tim kami membela Antasari Azhar tersebut, ada seorang jaksa yang selalu bersikap arogan, bahkan beberapa kali menantang Bang Hotma berkelahi dengan sikap kasar dan merendahkan. Bang Hotma hanya tersenyum menanggapi sikap yang tak pantas itu.

Saat si jaksa menantangnya untuk yang ke sekian kali, saya tak tahan lagi. Sayalah yang kemudian meladeni tantangannya. Tapi Bang Hotma justeru melerai kami dengan santun dan bijaksana. Belakangan, ia menasihati saya: “Buat apa kau berkelahi dengan orang itu? Who the hell is he? He is not on your level. You are bigger than him!”

Baru kali ini saya membela orang, tapi orang itu justeru “memarahi” saya. Tapi saya mendapat pelajaran penting dari kearifan Bang Hotma.

Sejak beberapa tahun terakhir kesehatannya terus menurun. Ia mengidap komplikasi penyakit dan harus rutin cuci darah, sampai pada titik tak mau ditengok oleh sahabat-sahabat terbaiknya sekalipun. Ia tak ingin kondisi fisiknya dilihat kawan-kawannya. Saya hanya sanggup berprihatin dan mendoakan yang terbaik buat Bang Hotma.

Rabu siang lalu penderitaan panjangnya berakhir. Advokat berpengalaman yang selalu tampil fashionable itu, dengan kejernihan penalaran legal yang tajam dan dengan artikulasi yang kuat dalam mengekspresikan ide dan opini-opini legalnya, menutup mata selamanya. Ia hanya didampingi anak-anak dan kerabat terdekatnya.

Bagi saya kenangan terhadap Bang Hotma tak mungkin terhapus. Di mata saya ia adalah pengacara tangguh yang terbebas dari seniority complex. Ia selalu menunjukkan respek dan persahabatan hangat yang tak pernah berkurang, termasuk ketika ia tak setuju dengan sahabatnya itu dalam isu-isu fundamental.

Ia bahkan menyatakan mendukung dan bersedia menjadi penasihat Tim Hukum pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) dalam pemilihan presiden yang baru lalu. Beliau sangat menghargai permintaan saya, padahal siapapun tahu bahwa secara politik ia tak cocok dengan garis ideologi pasangan tersebut.

Bang Hotma tak pernah berceramah tentang pentingnya toleransi. Ia hanya mengamalkannya dengan teguh dan konsisten. Saya beruntung pernah dalam masa yang cukup panjang menikmati sikap tolerannya yang inspiratif itu.

Di pagi yang sendu ini, saat saya turut mengantar Bang Hotma ke peristirahatannya yang terakhir, saya terus terkenang pertemanan kami yang melampaui hubungan kolegial.

Terima kasih untuk persahabatan hangat kita, Bang.

Advertisement

Tinggalkan Komentar