Arah pendidikan nasional bangsa Indonesia hari ini dipacu untuk menguasai ilmu dan pengetahuan yang lebih diorientasikan kepada teknologi modern yang kini telah mencapai four point zero. Akibatnya, kemerosotan dalam bidang budi pekerti — yang meliputi etika, moral dan akhlak mulia — jadi semakin terabaikan. Karena itu kenakalan remaja cenderung meningkat. Tata krama terhadap orang tua — termasuk guru yang mengajar di kelas — seakan hanya diperlukan untuk memberi nilai semata agar dapat terus melanjutkan studi pada tingkat selanjutnya.
Pendidikan di perguruan tinggi pun, semakin tampak abai pada etika, moral dan akhlak, karena dipacu untuk menguasai teknologi terapan yang semakin jauh meninggalkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, konsepsi hablumminallah, hablumminannas sangat jelas mengisyaratkan betapa pentingnya tata hubungan manusia dengan Tuhan dan tata hubungan manusia dengan manusia harus dipedomani sebagai tujuan dari kemuliaan hidup sebagai khalifah — wakil Tuhan — di bumi. Pada akhirnya, orientasi mencari ilmu dan pengetahuan sekedar untuk memanjakan hidup, bukan untuk menemukan keselarasan antara apa yang ads di bumi dengan apa yang ada di langit.
Pengertian dan pemahaman terhadap spiritual sebagai penjaga sekaligus penuntun etika, moral dan akhlak mulia sebagai bekal jalan menuju Tuhan dianggap tak lagi penting ketimbang ilmu dan pengetahuan yang lebih bersifat duniawi, seperti kegilaan terhadap harta, tahta dan wanita hingga mabuk dan tamak dengan menghalalkan segala cara, seperti fenomena korupsi di Indonesia yang telah menjadi budaya tanpa rasa risi dan malu mau melakukannya, tak perduli telah melabrak hukum untuk sekedar memuluskan hasrat jahatnya.
Begitulah kini di Indonesia, hukum ditegakkan tanpa etika dan moral. Karena itu, putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang pernah melanggar etika dan cacat moral itu akan dikenang terus sepanjang masa, sebagai preseden buruk penanda perilaku khianat terhadap kesepakatan dari negara hukum yang menyunggi Pancasila dan UUD 1945.
Pelanggaran etika dalam penegakan hukum seperti yang telah dilakukan oleh MK tanpa rasa risi dan rasa malu itu merupakan puncak dari pembelajaran etika dan moral yabg telah ambruk di Indonesia.
Lalu bagaimana mungkin orientasi dari pendidikan nasional kita bisa memposisikan pembekalan etika, moral dan akhlak mulia, ketika menyaksikan realitas kehidupan dalam masyarakat melihat contoh nyata yang justru dilalukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Persis seperti aparat pencegah dan pemberantas Narkoba yang justru menikmati (mengonsumsi) barang haram itu, tanpa perduli pada sanksi hukum yang jelas akan menjeratnya juga.
Istilah setali tiga uang ini pun sama dengan petugas pajak yang tidak taat membayar pajak. Guru yang justru meruntuhkan moral anak didiknya sendiri. Bahkan, mereka yang mengusung ajaran dan tuntunan agama, malahan banyak berbuat yang tidak senonoh. Lantas, etik dan moral seperti apa yang masih tersisa dan bisa diharap untuk membentengi akhlak mulia sebagai khalifah — wakil Allah — di bumi.
Mungkin yang tersisa dari bilik lembaga pendidikan kita sekarang di Indonesia adalah, memperbanyak pendidikan dari lingkungan keluarga sendiri, tanpa lagi perlu menaruh penuh kepercayaan pada lembaga atau instansi pendidikan manapun. Sebab makna merdeka belajar dengan belajar merdeka tidak hanya mengesankan liberalisasi yang kental beraksen materialistik dari tampilan lembaga pendidikan di Indonesia hari ini. Lebih dari cukup meyakinkan pula kegandrungan dari arah lembaga pendidikan kita pun sudah membuka lapak di pasar bebas, sebebas-bebasnya seperti perguruan tinggi yang harus mencari sumber pembiayaan sendiri. Persis seperti Ormas Keagamaan yang kini mendapat jatah konsesi legal usaha pertambangan.
Banten, 21 Juni 2024