Jakarta, Kansnews.com – Beberapa hari terakhir, publik Indonesia dikejutkan oleh situasi chaos politik dan sosial yang merebak di berbagai daerah. Pertanyaan besar pun muncul: apa sebab utama dari gejolak ini, dan bagaimana bisa situasi demikian cepat meletus?

Dr. I Yudhi Soenarto, seorang akademisi dan analis politik, mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan pendekatan yang berbeda. Ia menggunakan dua kerangka analisis lintas disiplin, yakni teori dramaturgi dan Chaos Theory, untuk membaca dinamika politik Indonesia dari era Reformasi hingga Pilpres 2024 dan dampaknya pada kondisi terkini.

Politik sebagai Drama di Panggung Besar

Dalam perspektif dramaturgi, politik dipandang sebagai sebuah drama yang dimainkan di atas panggung, lengkap dengan aktor, naskah, sutradara, dan penonton. Para politisi dan elite digambarkan sebagai aktor yang memainkan peran dengan narasi tertentu, sementara masyarakat menjadi audiens yang menyaksikan jalannya cerita.

“Masalahnya, panggung politik Indonesia tidak pernah sepenuhnya mengikuti naskah. Banyak improvisasi yang dilakukan para aktor demi kepentingan sesaat. Akibatnya, drama yang seharusnya berjalan teratur malah berubah menjadi konflik terbuka,” jelas Dr. Yudhi.

Chaos Theory: Kupu-Kupu yang Mengguncang Demokrasi

Sementara itu, Chaos Theory menjelaskan bagaimana sistem kompleks—seperti demokrasi—sangat rentan terhadap gangguan kecil yang bisa memicu dampak besar. Fenomena ini dikenal sebagai butterfly effect. Dalam konteks Indonesia, sebuah isu yang awalnya kecil dapat berkembang menjadi gelombang besar ketika dipicu oleh krisis ekonomi, polarisasi identitas, hingga peran media sosial yang masif.

“Sejak 1998 kita menyaksikan pola yang berulang. Tahun 2014 dan 2017 memperlihatkan eskalasi polarisasi, dan Pilpres 2024 menegaskan bahwa turbulensi politik bisa meledak kapan saja. Inilah wajah chaos demokrasi yang sesungguhnya,” papar Dr. Yudhi.

Belajar dari Kasus Global

Untuk memperkaya analisis, Dr. Yudhi juga menyinggung sejumlah kasus internasional. Arab Spring pada 2011, misalnya, menunjukkan bagaimana media sosial mampu mengguncang rezim otoriter hanya dalam hitungan minggu. Krisis politik Brasil pada 2016 juga menjadi bukti bahwa demokrasi bisa runtuh dari dalam akibat sabotase elite dan lemahnya lembaga.

“Indonesia tidak kebal dari fenomena serupa. Kita harus belajar dari kegagalan negara lain dalam menjaga stabilitas demokrasi,” tambahnya.

Mahabharata: Cermin Kehancuran dari Pertarungan Internal

Sebagai penekanan, Dr. Yudhi menggunakan kisah klasik Mahabharata untuk menggambarkan dampak perang saudara. Pertarungan antara Pandawa dan Kurawa, meski dibungkus dengan nilai kebenaran dan keadilan, tetap berakhir dengan kehancuran besar. Bahkan pihak yang menang pun kehilangan banyak hal.

“Kisah ini menjadi pengingat bahwa konflik internal bangsa, tanpa komunikasi dan rekonsiliasi, hanya akan meninggalkan luka dan kehancuran bagi semua pihak,” ungkapnya.

Jalan Keluar: Komunikasi, Ekonomi, Kepemimpinan, dan Kelembagaan


Dalam kesimpulannya, Dr. Yudhi menegaskan bahwa demokrasi Indonesia masih bisa bertahan jika empat pilar utama diperkuat:

1. Komunikasi publik yang jujur, terbuka, dan konsisten untuk meredam misinformasi.
2. Stabilitas ekonomi agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh isu sektoral.
3. Kepemimpinan tegas dan konsisten yang mampu memberi arah jelas di tengah badai politik.
4. Kelembagaan ringkas namun tangguh, sehingga sistem politik tidak mudah digoyang oleh kepentingan sesaat.

Harapan untuk Bangsa

Budi Wahyuni, penulis ulasan atas analisis Dr. Yudhi, menegaskan bahwa tulisan ini lebih dari sekadar wacana akademis. “Ini adalah refleksi sekaligus peringatan. Semoga solusi yang ditawarkan dapat menjadi bahan renungan dan pijakan nyata bagi semua pihak yang kini sedang memainkan peran di panggung politik Indonesia,” tutupnya.

Advertisement

Tinggalkan Komentar