cerpen marlin dinamikanto
Aku sang Raja. Sebelumnya bukan siapa-siapa. Hanya bocah kurus yang tinggal di bantaran sungai. Tidak punya bakat istimewa. Saat sekolah sejak sekolah dasar hingga menyandang titel Bachelor of Science (BSc) nilaiku biasa-biasa saja, bahkan sedikit di bawah rata-rata. Tapi di Karanglo gelar doktorandus disematkan di depan namaku. Aku pun bingung. Di Jayakarta gelarku berubah lagi jadi insinyur. Padahal mestinya hanya BSc.
Sekarang aku dikejar-kejar soal ijazah yang katanya palsu. Kenapa bisa begitu? Aku tidak akan mengatakan ijazah itu asli atau palsu. Namun sekedar mengenang jalan hidup yang aku sendiri kaget, bisa sangat luar biasa seperti ini. Semua itu dimulai dari mimpi, beludru merah terang bercahaya yang jatuh di wuwungan rumahku. Sebagai orang jawadwipa aku percaya, mimpi bukan sekedar kembang tidur, melainkan sasmita yang aku terjemahkan sebagai jalan kemuliaan yang terang bercahaya.
Betul juga. Tidak lama setelah itu perusahaan mebelku diundang oleh Pak Menteri ikut pameran produk-produk furniture di Abudaby, lanjut ke Zurich dan beberapa kota besar di Eropa Sejak itu kehidupan keluargaku membaik. Ekspor furniture lancar. Mas Wiwit, begitu aku biasa dipanggil, bukan lagi juragan mebel kecil-kecilan. Melainkan berkat bantuan Pak Menteri sudah go international.
Pak Menteri yang sudah pensiun rupanya secara informal meeting ditetapkan sebagai Koordinator Para Ndoro. Dalam pembicaraan rahasia yang hanya tercatat dalam ingatan, suatu saat Pak Koordinator menyuruhku bersiap diri menggantikan Pak Wali yang paketannya sudah mau habis. Nanti, katanya, aku didampingi ketua partai terbesar di kota Karanglo yang karena pemeluk agama minoritas tidak bisa menjadi Walikota.
“Siap ya dik?” kata Pak Koordinator Para Ndoro.
“Sendika dhawuh. Selalu always tidak pernah never pokoknya,” jawabku membuat Pak Koordinator terbahak-bahak.
Itu lah stairway to heaven. Beludru merah terang terhampar. Meskipun ngomong masih kagok, terkesan plonga-plongo dan imbas-imbis, tapi justru itulah yang menjadi kekuatanku. Dunia sedang bergolak. Masyarakat pada umumnya tidak percaya lagi tampang priyayi yang pekerjaannya hanya ngapusi dan mbagusi.
***
Aku adalah kita. Bukan Le ‘etat c’est moi ucapan Raja Louis XIV yang pada praktiknya ditiru oleh beberapa presiden di Republik Karangkadempel. Itulah pesan kebersahayaan yang menempel begitu lekat di kepala para pemilih. Aku sendiri bingung bagaimana orang-orang itu berdatangan. Mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok relawan di seluruh pelosok Karangkadempel.
Rekam jejakku saat menjabat Walikota Karanglo memang moncer. Penertiban pedagang yang selalu gagal dilakukan oleh walikota sebelumnya dapat aku selesaikan dalam waktu 3 minggu. Meskipun negosiasi terkesan alot sesungguhnya hanya semacam dramaturgi yang harus aku mainkan. Supaya dunia kagum atas hadirnya bintang politik berpenampilan sederhana, public speaking yang kacau balau, dan inilah Harapan Baru sebagaimana ditulis majalah Time.
Karangkadempel memiliki ikon baru dengan chasing sederhana, pekerja keras dan selalu blusukan untuk memastikan program kerja dijalankan hingga level birokrasi terbawah. Kemana-mana aku kendarai motor bebek merah mendatangi warga yang kebanjiran atau menjadi korban kebakaran. Nama Pak Wiwit menggelora bukan hanya di sekitaran eks Karesidenan Karanglo Raya. Melainkan sudah menyebar ke kota-kota lain di Republik Karangkadempel.
Beludru merah semakin kinclong. Grup musik rock Led Zappelin menyebutnya Stairway to Heaven. Untuk itu sang koordinator para ndoro menyuruh aku pura-pura sebagai penggemar berat lagu-lagu rock. Biar tidak terkesan ndesa seperti wajahku yang memang tidak bisa diubah oleh tekhnologi artificial inteligency generasi awal. Photoshop hanya bisa membuat wajahku lebih cerah, tidak kumal, tapi selalu gagal memoles wajah pasaran ini menjadi lebih ganteng dan indah.
Sesuai plot yang harus aku mainkan, antrian di pelayanan umum dibuat seperti nasabah mengantri di bank swasta terbesar di Republik ini. Ribuan unit AC didrop ke kantor-kantor kelurahan, kecamatan, dukcapil, BPJS dan sebagainya. Warga tidak perlu berpanas-panas, tinggal ambil nomer antrian dan duduk manis di ruang tunggu yang sejuk dan nyaman. Itu semua bukan dari anggaran kota. Melainkan dari CSR perusahaan swasta di seluruh Republik Karangkadempel.
Jalanan di Kota Karanglo mulus. Bagaimana tidak mulus? Setiap ada lobang tinggal telepon ke nomer tertentu jalanan segera diperbaiki. Katanya sih bantuan dari dunia usaha. Sejujurnya semua itu sudah ada dalam plot berjudul Rodmap Beludru Merah menuju Erka Satu. Aku, Pak Wiwit, hanya sekedar menjalani peran yang seketika membuatku spektakuler, dielu-elukan warga melebihi penghormatan kepada siapapun public figur yang datang ke Karanglo.
Singkat cerita Walikota Karanglo segera mendapatkan pujian dari berbagai kalangan. Majalah Tempe dengan moto enak digoreng dan perlu mentahbiskan aku masuk 10 Kepala Daerah Terbaik 2010. Dengan sekejap kota yang tadinya kumuh menjadi kota yang begitu bercahaya. Aku sendiri kaget, kok bisa? Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak punya cita-cita menjadi ini itu.
“Ya ndak tahu. Kok tanya saya,” jawabku kepada wartawan.
“Terus, tanya siapa dong?”
“Kata mas Ebiet kan sudah jelas. Tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang,” jawabku mulai pandai berkelit yang selanjutnya dinarasikan oleh pemujaku pandai berdiplomasi. Jarak antara ngapusi dan diplomasi menjadi sangat kabur.
Orang-orang itu tentu saja tidak tahu. Saat aku didatangi Pak Luhur Budi Paramarta selaku koordinator para ndoro. Persisnya aku lupa. Tapi dia berpesan agar aku menjalani semacam ritual. Apa itu?:Tapa Asu, bertapa laksana anjing. Tidur tidak boleh lebih dari tiga jam. Pasang pendengaran agar gerakan anti priyayi tidak menyasar ke para ndoro yang jumlahnya kecil tapi sangat berkuasa. Biar suatu saat nanti aku selalu ingat kepada siapa membalas jasa. Anjing tidak pernah melupakan siapa yang memberi makan.
Padahal dari sisi fisik aku bukan jenis anjing mahal seperti Tibetan Mastiff, Samoyed, Rottweiler, Akita, atau Bernese Mountain Dog. Aku hanya anjing kampung yang biasa dijadikan tongseng asu oleh warga Karanglo. Tapi aku sangat setia kepada para ndoro yang hidupnya semakin kaya raya.
Dari Karanglo ke Jayakarta. Berkendara mobil Esemku. Beritanya headline (belum ada istilah viral) di semua media mapan. Laksana vampire, berita itu menggigit banyak isi pikiran orang-orang di Republik Karangkadempel. Dalam tempo sesingkat-singkatnya, drakula pemujaku terus membesar dan menyebar hingga pelosok-pelosok terpencil Republik Karangkadempel. Mereka tidak tahu, aku hanya seekor anjing yang menjaga kawanan domba seperti dalam film Shaun the Sheep.
Tidak perlu ke Gunung Kawi. Tidak perlu pula mencari tahu keberadaan Nyi Blorong. Pesugihan itu datang sendiri. Membawa beludru merah terang. Satu tangga, dua tangga, hingga tinggal tangga terakhir yang mesti dilintasi menuju Puncak Keprabon. Banyak kepala yang mesti diinjak. Tapi mereka justru menyambut dengan riang gembira. Semacam lirik lagu Led Zappelin, dalam situasi eforia di sana ada perempuan yang menganggap semua yang bercahaya itu emas. Itu tangga ke surga.
***
“Oh ya, ya nasib. Nasibku bukan nasibmu.”
Tiba-tiba saja aku tertawa. Pundakku yang kurus seperti jerangkong bergoyang-goyang mendengar lagu Iwan Fals dari dashboard mobil. Bukan mobil Esemku tentunya. Karena esemku, atau dalam bahasa Indonesia senyumku, kata orang tidak begitu bagus. Maka aku tidak akan pernah mau ikut-ikutan kursus soft skill, kepribadian dan public speaking di John Robert Power cabang Republik Karangkadempel.
Semua itu bukan kebetulan. Sudah ada plot. Termasuk beternak orang-orang miskin melalui rupa-rupa bantuan sosial. Mereka tidak boleh pintar. Bahaya bagi para ndoro yang memberikan aku dan keluargaku kemuliaan yang luar biasa. Beludru merah terang menjadi sangat bercahaya berkat sentuhan midas para ndoro lewat beragam platform media sosial dengan jutaan akun sarang lebah. Mereka militan, rajin patroli membunuh karakter orang-orang skeptis yang mulai meragukan kepemimpinanku.
Terus terang aku tidak tahu siapa persisnya yang memfasilitasi jutaan akun sarang lebah itu. Tapi aku tahu itu pasti datang dari kantor-kantor gelap para ndoro yang kabarnya membentuk Satgasus Merah Terang Bercahaya. Kadang kala seperti jaman Kaisar Roma, sesuai plot yang aku mainkan mesti pandai selain bagi-bagi roti juga harus pandai bermain sirkus.
Rakyat sepertinya terhibur saat ada pejabat yang ditangkap dalam kasus korupsi. Itu lah Taman Hiburan Rakyat (THR) era millenial. Bukan lagi kedai ndangdutan, bukan lagi lawak Srimulat, bukan lagi konser musik atau tarian striptis yang sering digeruduk kaum puritan. Melainkan dengan menangkap koruptor di berbagai lapisan pejabat. Kalau itu dijalankan rakyat senangnya bukan main. Karena suasana rata-rata penduduk dunia anti priyayi atau kata Sulis, stafku sejak di Karanglo, gejala itu lazim disebut populisme.
Namun di sisi lain, aku harus pandai-pandai merawat kepentingan para ndoro yang ternyata tidak selalu sama antara yang satu dan lainnya, dan masing-masing pula ingin mendapatkan pelayanan prioritas. Akibatnya, kesenjangan sosial, kata mendiang ekonom Universitas Karangkadempel, semakin melebar. Utang negara semakin bongso dan apa yang harus aku lakukan? Terus bermain drama sebab kalau aku tidak menyiapkan anak sulungku situasinya akan bertambah gawat.
Bisa-bisa aku menjadi presiden pertama Republik Karangkadempel yang diadili dengan banyak pasal: ada penipuan, pemalsuan dokumen, dugaan korupsi dan masih banyak lagi. Dan itu hanya bisa dilakukan kalau aku sendiri yang memainkan peran koordinator para ndoro.
Pak Luhur Budi Paramarta yang rambut dan kumisnya dicat hitam legam biar tidak terlihat tua, tampaknya oke-oke saja asal aku selalu ingat bahwa aku sudah menjalani ritual tapa asu. Kenikmatan dunia yang aku reguk berasal dari ritual itu. Meskipun aku juga tahu sedang dihujat kaum cerdik pandai di seluruh wilayah Republik Karangkadempel.
***
Republik Karangkadempel terus bergolak. Sarang lebah tidak bisa diandalkan lagi mengusir para pembangkang yang makin banyak berjejal menguasai media sosial. Presiden baru yang pamornya semakin bercahaya sulit ditebak arahnya. Kadang membiarkan kericuhan terus terjadi. Tapi kadang pula tampak membela anak sulungku yang sebenarnya tidak perform tapi dipaksa jadi wakilnya Pak Presiden yang sekarang berkuasa.
Sebagai koordinator para ndoro pun aku sudah menempatkan petugas jagabaya di semua lini. Tapi sekarang arahnya tampak semakin kacau. Aku curiga koordinator para ndoro yang lama diam-diam masih ikut cawe-cawe sehingga apa pun plot yang aku buat lewat produk legislasi hancur berantakan, malah muncul garuda biru dan demonstrasi 22 Agustus 2024 yang membesar hampir di sekujur Karangkadempel.
Belum lagi tudingan penggunaan dokumen palsu yang membuat beludru merah tidak lagi bercahaya. Yang ada justru sambaran petir yang menghancurkan patung-patung di kantor Walikota Karanglo semakin membuatku cemas. Mungkin aku ada utang dengan Nyi Blorong sehingga kulitku mengelupas?
Aku bukan lagi sang raja. Kalau aku sang raja pasti sudah dibuatkan patungnya di satu di antara pulau palsu yang berserak di Teluk Jayakarta. Ya, mungkin saja paketan sudah habis dan aku tidak ada jalan lagi membelinya. Atau sesungguhnya aku ini tumbal Nyi Blorong? Oh, semua sudah di luar kendaliku. Tidak ada lagi orkestra yang dimainkan. Selain hanya numpang berteduh dari badai dan gejolak di ketiak kekuasaan presiden yang baru.
Proklamasi, 18 Juli 2025
Advertisement