Oleh: Sobirin Malian
Dosen FH UAD, Yogyakarta

Hari ini, 10 Desember 2025, dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, upacara megah digelar sambil negara terus melegalkan genosida ekologis di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Banjir bandang plus longsor akhir November lalu merenggut 600-an nyawa, 402 orang hilang, dan 156 ribu jiwa mengungsi. Bukan sekadar musibah alam, tapi pelanggaran sistematis Hak Asasi Alam (HAA)—deforestasi 1,4 juta hektare hutan sejak 2016 via 631-639 izin tambang, sawit, kehutanan, hingga PLTA yang merampas hak ekosistem untuk regenerasi, resapan air, dan pencegahan bencana. Ironi pahit: negara klaim lindungi Pasal 28G UUD 1945 soal hak lingkungan sehat, tapi hutan Hulu DAS dibabat habis demi oligarki. Kapan perizinan destruktif ini dihentikan?

Cuaca ekstrem memang pemicu langsung, tapi siapa dalang sebenarnya? WALHI ungkap 13 korporasi hancurkan 889 ribu hektare Daerah Aliran Sungai (DAS), ditambah 31 izin PBPH seluas 1 juta hektare—Sumut paling parah 592 ribu hektare—plus tambang liar di Sumbar dan sawit masif di Aceh. 954 DAS Aceh rusak parah, 60% di hutan lindung, ubah hulu sungai jadi zona maut. Hak hidup (Pasal 28A UUD), kesehatan (28H), dan tempat tinggal layak (28C) rakyat hilang begitu saja tanpa HAA terpenuhi. Peringatan HAM hari ini terasa munafik: doa dan pidato doang, besok izin baru tetap keluar. Manusia tanpa alam sehat ibarat mayat berjalan.

Lebih dalam lagi, negara pelanggar HAM struktural. Omnibus Law dan Proyek Strategis Nasional (PSN) jadi alat struktur pembunuh, langgar Deklarasi HAM PBB Pasal 25 soal standar hidup memadai. Pasal 33 UUD 1945—cabang bumi dan air untuk kesejahteraan rakyat—diludahi demi ekspor nikel dan sawit. Menteri pusat plus gubernur daerah berubah jadi preman lingkungan: izinkan HGU di zona rawan tanpa Free Prior Informed Consent (FPIC) masyarakat adat. HAM manusia yang “gendut” tapi abaikan HAA cuma ilusi semu—alam mati, manusia punah pelan-pelan lewat banjir berulang.

Tanggung jawab negara, pemerintah tak bisa dielakan. Pemerintah pusat—Kemenhut, ESDM, Bappenas—langgar Konvensi HAM Ekonomi Sosial Budaya sambil omong kosong net zero 2060. Daerah tutup mata aktivitas ilegal demi naikkan PDRB. Di Hari HAM ini, Komnas HAM wajib menyidik pelanggaran sistematis: bencana bukan kebetulan, tapi pembunuhan negara via deforestasi. Mereka harus dari pelaku jadi tersangka genosida ekologis.

Solusi radikal tak bisa ditawar. Pertama, eksekusi hukum HAM lewat class action Pasal 87 UU Lingkungan Hidup plus Pasal 28 UUD, tagih triliunan ganti rugi ekologis, cabut PBPH di DAS kritis sekarang juga. Kedua, revolusi hutan adat pakai Putusan MK 35/PUU-X/2012 untuk rebut 1,4 juta hektare, moratorium permanen PSN ekstraktif. Ketiga, peringatan 10 Desember harus nyata: sidang Komnas HAM korporasi pelaku, sanksi berat menteri, gubernur pelanggar HAM lingkungan. Keempat, integrasikan HAA sebagai HAM baru via revisi UUD—alam jadi subjek hukum sungguhan.

Peringatan HAM 2025 akan jadi pengkhianatan abadi jika negara tak anggap HAA ekstensi HAM manusia. Sumatra buktikan: tanpa alam hidup, HAM manusia cuma mayat berjalan. Eksekusi korporasi pelaku, reformasi konstitusional, atau Sumatra jadi kuburan nasional selanjutnya. HAM Sedunia atau Hari Alam Mati? Pilih sekarang!.

Advertisement
Previous article149 Juta Paragraf
Next articleKepada Tan Malaka

Tinggalkan Komentar