100 Tahun Ahmadiyah
Oleh : Denny JA
Pagi 17 Agustus 2024, di Mataram. Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi suara anak-anak kecil sudah menggema di halaman sempit barak pengungsian.
Mereka berdiri rapi, mengenakan seragam putih-merah lusuh yang telah bertahun mereka jaga sebaik mungkin.
Dengan suara lantang dan penuh semangat, mereka hormat bendera. Lalu menyanyikan lagu kebangsaan.
Dinyanyikan pula lagu itu:
“Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya…”
Namun di mata sebagian orang dewasa, air mata jatuh pelan. Lagu itu mereka nyanyikan dari sebuah kamp pengungsian.
Mereka terusir dari tanah milik mereka sendiri, bukan karena bencana alam, bukan karena perang. Tapi karena keyakinan. Karena mereka Ahmadiyah.
Lebih dari 16 tahun mereka terusir dari kampungnya sendiri di Lombok Timur. Mereka tidak membunuh, tidak mencuri. Hanya karena mereka meyakini Ahmadiyah, paham agama yang kini meluas di 100 negara lebih, mereka diusir.
Dalam upacara itu, bendera merah putih tetap berkibar gagah. Di tanah yang menolak mereka. Di negeri yang mereka cintai, tapi belum sepenuhnya mencintai mereka kembali.
-000-
Inilah ironi yang mematahkan hati: ketika nasionalisme dan demokrasi tak mampu memeluk semua warganya.
Nasionalisme seharusnya mengajarkan cinta tanah air tanpa syarat identitas sosial. Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi semua keyakinan, selama tak melukai. Tapi di banyak tempat, seperti di Mataram itu, keduanya belum selesai belajar menjadi adil.
Ini bukan hanya cerita Indonesia. Di Eropa, Islam yang menjadi minoritas juga sering disalahpahami. Masjid-masjid dilempari. Perempuan berjilbab dicurigai.
Di Timur Tengah, Kristen Koptik Mesir yang sudah ribuan tahun hidup berdampingan, kerap dibakar gerejanya.
Di manapun, ketika mayoritas lupa diri, minoritas menjadi korban. Yang kita suka lupa, agama apapun dapat menjadi minoritas di satu negara.
Lebih ironis lagi, kita memprotes perlakuan mereka terhadap agama kita (ketika minoritas), tapi ketika kita yang mayoritas kita perlakukan minoritas dengan cara sama.
-000-
Tiga Akar Diskriminasi di Negeri Demokratis
Mengapa masih terjadi diskriminasi di negara yang mengaku demokratis?
Pertama, karena mayoritarianisme. Demokrasi yang mestinya menyejahterakan semua, kadang jatuh ke tangan tirani mayoritas. Jika 51 persen memaksakan kehendak atas 49 persen tanpa ruang kompromi, demokrasi kehilangan jiwa.
Kedua, karena butanya sejarah. Banyak masyarakat tak tahu bahwa Ahmadiyah sudah hadir sejak 1925 di Indonesia, bahkan sebelum republik ini lahir. Mereka turut menyumbang pemikiran, pendidikan, dan semangat kemerdekaan.
Ketiga, karena ketakutan pada yang berbeda. Diskriminasi lahir dari rasa ancaman yang tak selalu nyata. Dan agama, sering dijadikan alasan untuk membenarkan ketakutan itu.
Seratus tahun sudah Ahmadiyah hadir di bumi Nusantara. Dari Yogjakarta, Batavia hingga ke pelosok Sumatera, Kalimantan, hingga Lombok.
Mereka mendirikan sekolah. Membuka layanan kesehatan gratis. Menyalurkan bantuan saat bencana. Ketika Tsunami Aceh melanda, Ahmadiyah termasuk yang pertama hadir membantu.
Mereka mendirikan Humanity First, lembaga global kemanusiaan. Mereka aktif menyumbang darah. Membantu para lansia. Dan semuanya dilakukan tanpa membedakan: yang dibantu bisa Muslim, Kristen, Hindu, atau yang tak beragama sekalipun.
-000-
Yang paling menggetarkan dari komunitas ini bukan hanya ketabahannya, tapi juga kesetiaannya untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.
Mengapa?
Karena mereka memegang erat satu ajaran utama: “Love for All, Hatred for None.” (1)
Cinta untuk semua. Kebencian untuk tak seorang pun. Itu bukan sekadar slogan. Itu dijalankan dalam diam, dalam kesabaran yang radikal.
Mereka percaya bahwa kekerasan tak pernah memperbaiki, hanya memperpanjang luka. Mereka percaya bahwa sejarah akan memihak kebenaran.
Bahwa suatu hari nanti, negeri ini akan cukup dewasa untuk memeluk anak-anaknya tanpa syarat.
Seratus tahun Ahmadiyah di Indonesia adalah kisah tentang cinta yang tak bersyarat. Tentang komunitas kecil yang terusir, namun tetap menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh harap.
Tentang mereka yang dibakar rumahnya, tapi tak membakar balik. Tentang nasionalisme yang belum tuntas dan demokrasi yang belum matang.
Namun di tengah semua luka itu, mereka memilih untuk tetap memeluk negeri ini. Tetap membentangkan bendera merah putih di tanah pengungsian.
Karena cinta mereka bukan cinta yang minta dibalas—tapi cinta yang tetap menyala, bahkan di tengah api diskriminasi.*
Jakarta 15 April 2025
Advertisement